Archives for posts with tag: KMB

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA RINGAN

Konsep Dasar

A.       Pengertian

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

B.       Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi, energi yang dihasilkan di dalam sel – sel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma, kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan tubuh, sehingga bila kadar oksigen plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolisme anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan oksidasi metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metababolik. Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow (CBF) adalah 50 – 60 ml / menit 100 gr. Jaringan otak yang merupakan 15 % dari cardiac output.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktifitas atypical myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udema paru.

Perubahan otonim pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P aritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel serta takikardi.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler akan menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

1.         Klasifikasi cidera kepala

a.         Cidera kepala primer

Akibat langsung pada mekanisme dinamik ( acceselarsi – descelerasi rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.

Pada cidera primer dapat terjadi :

1). Geger kepala ringan

2). Memar otak

3). Laserasi.

b.         Cedera kepala sekunder : timbul gejala seperti :

1). Hipotensi sistemik

2). Hiperkapnea

3). Hipokapnea

4). Udema otak

5). Komplikasi pernapasan

6). Infeksi komplikasi pada organ tubuh yang lain.

2.         Jenis perdarahan yang sering ditemui pada cidera kepala :

a.         Epidural hematoma

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media yang terdapat diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena sangat berbahaya . Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.

Gejala – gejalanya :

1). Penurunan tingkat kesadaran

2). Nyeri kepala

3). Muntah

4). Hemiparese

5). Dilatasi pupil ipsilateral

6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )

7). Penurunan nadi

8). Peningkatan suhu

b.         Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Bingung

3). Mengantuk

4). Menarik diri

5). Berfikir lambat

6). Kejang

7). Udem pupil.

  1. Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler dan vena.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Penurunan kesadaran

3). Komplikasi pernapasan

4). Hemiplegi kontra lateral

5). Dilatasi pupil

6). Perubahan tanda – tanda vital

d.        Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.

Gejala – gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Penurunan kesadaran

3). Hemiparese

4). Dilatasi pupil ipsilateral

5). Kaku kuduk.

3.         Hubungan cedera kepala terhadap munculnya masalah keperawatan

Asuhan Keperawatan

1.         Pengkajian

  1. Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan sistem persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
  2. Identitas  klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah, penghasilan, hubungan klien dengan penanggungjawab.
  3. Riwayat kesehatan

Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.

Riwayat penyakit dahulu barulah diketahui dengan baik yang berhubungan dengan sistem persyarafan maupun penyakit sistem – sistem lainnya, demikian pula riwayat penyakit keluarga yang mempunyai penyakit menular.

  1. Pemeriksaan Fisik
1)        Aktifitas / istirahat

S    : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan

O   : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,goyah dalam berjalan ( ataksia ), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot.

2)        Sirkulasi

O   : Tekanan darah  normal atau berubah, nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.

3)        Integritas ego

S    : Perubahan tingkah laku / kepribadian

O   : Mudah tersinggung, bingung, depresi dan impulsive

4)        Eliminasi

O   : bab / bak inkontinensia / disfungsi.

5)        Makanan / cairan

S    : Mual, muntah, perubahan selera makan

O   : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).

6)        Neuro sensori :

S    : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan pengecapan / pembauan.

O   : Perubahan kesadara, koma.

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap sentuhan / gerakan.

7)        Nyeri / rasa nyaman

S    : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.

O   : Wajah menyeringa, merintih.

8)        Repirasi

O   : Perubahan pola napas ( apnea, hiperventilasi ), napas  berbunyi, stridor , ronchi dan wheezing.

9)        Keamanan

S    : Trauma / injuri kecelakaan

O   : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam,perubahan regulasi temperatur tubuh.

10)    Intensitas sosial

O   : Afasia, distarsia

  1. Pemeriksaan penunjang
1)        CT- Scan ( dengan tanpa kontras )

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan jaringan otak.

2)        MRI

Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

3)        Cerebral Angiography

Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

4)        Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.

5)        X – Ray

Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur )  perubahan struktur garis ( perdarahan / edema ), fragmen tulang.

6)        BAER

Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.

7)        PET

Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.

8)        CFS

Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

9)        ABGs

Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan ( oksigenisasi ) jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.

10)    Kadar elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intrakranial.

11)    Screen Toxicologi

Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

  1. Penatalaksanaan

Konservatif :

–            Bedres total

–            Pemberian obat – obatan

–            Observasi tanda – yanda vital ( GCS dan tingkat kesadaran).

Prioritas Masalah :

1).   Memaksimalkan perfusi / fungsi otak

2).   Mencegah komplikasi

3).   Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal.

4).   Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga

5).   Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana, pengobatan dan rehabilitasi.

Tujuan :

1).   Fungsi otak membaik, defisit neurologis berkurang/ tetap

2).   Komplikasi tidak terjadi

3).   Kebutuhan sehari – hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu oleh orang lain

4).   Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan

5).   Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi.

Diagnosa Keperawatan

  1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
  2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum
  3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udema pada otak.
  4. Keterbatasan aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (Soporous koma)
  5. Resiko gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasai, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
  6. Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis pada pasien.

Daftar Putaka

Asikin Z. (1991). Simposium Keperawatan Penderita Cidera kepala Penatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas. (Jakarta).

Doenges. M. E. (1989). Nursing Care Plan. Guidelines For Planning Patient Care (2 nd ). Philadelpia, F.A. Davis Company

Harsono. (1993) Kapita Selekta Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Kariasa I Made. (1997). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.

Long; BC and Phipps WJ. (1985). Essensial of Medical Surgical Nursing : A Nursing process Approach St. CV. Mosby Company.

Tabrani. (1998). Agenda Gawat Darurat. Penerbit Alumni. Bandung.

TINJAUAN KASUS

Tanggal Pengkajian                     : 8 April 2002

Tanggal Masuk Rumah Sakit      : 7 April 2002

Ruangan / Tempat                       : Ruangan Bedah F RS Dr. Soetomo

Diagnosa Masuk                          : COS + Fraktur Basis Cranii, Fraktur Maksilla  F II – F III

I.          Identitas

Nama                                       : Tn Cahyono

Umur                                       : 21 tahun

Suku / bangsa                          : Jawa / Indonesia

Agama                                     : Islam

Pendidikan/pekerjaan              : Mahasiswa

Alamat                                                : Kedaton / Jombang

Penannggung jawab   :

Nama                                       : Sumiatun

Umur                                       : 45 tahun

Suku / bangsa                          : Jawa / Indonesia

Agama                                     : Islam

Pendidikan/pekerjaan              : SMP / Wiraswasta

Hubungan dengan klien          : Orang tua / ibu kandung

Alamat                                                : Kedaton / Jombang

II.       Alasan Masuk Rumah Sakit

Alasan di rawat : Tidak sadarkan diri setelah terjatuh dari kendaraan sepeda motor

Upaya yang dilakukan :

Langsung membawa klien ke IRD RSUD Dr. Soetomo.

Klien baru pertama kali di opname di Rumah Sakit

III.    Riwayat Kesehatan

1.1.        Riwayat Penyakit sebelumnya

Klien sebelumnya tidak pernah menderita penyakit yang kronis / penyakit keturunan. Asthma Bronchiale tidak ada, Diabetes Mellitus tidak ada, klien selama ini hanya menderita penyakit panas, batuk dan pilek saja.

3.2                    Riwayat penyakit sekarang

Klien tidak sadarkan diri / pingsan setelah jatuh ke selokan karena menghindar dari truk yang berkecepatan tinggi pada tanggal 7 April 2002. Posisi jatuh tidak diketahui , selanjutnya klien pingsan dan temannya yang minta bantuan pada orang yang lewat. Kemudian klien di bawa ke IRD RSUD Dr. Soetomo, GCS pada saat di IRD ExV4M6.

3.3                    Riwayat Kesehatan Keluarga

Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit genetic maupun penyakit menular yang berbahaya.

3.4.   Keadaan kesehatan lingkungan    : Tidak dikaji.

3.5.      Genogram

Keterangan

= Laki – laki                                           = Klien

=  Perempuan                                          = Tinggal dalam satu rumah.

IV.    Observasi dan Pemeriksaan Fisik

1.2.Keadaan Umum

Kesadaran baik, GCS E3V4M6. Badan klien nampak bersih, gizi cukup, agak gelisah, terpasang infus DS – ½ – NS 1500 cc / 24 jam dan manitol 4 x 100 cc pada tangan kiri dan terpasang Dower kateter

1.3.Tanda Vital

Tekanan darah      : 90/60 mm Hg

Nadi                     : 84 x / menit

Suhu                     : 36,8 0C

Pernapasan           : 20 x / menit

1.4.Body Sistem

a)         Pernapasan

Hidung                : Nampak kotor karena adanya sisa darah yang kering

Trakhea                : Dalam Batas normal

Dada                    : Bentuk simetris, gerakan simetris, jejas tidak ada

Suara napas          : Vesikuler, tidak ada suara tambahan, batuk tidak ada, sputum tidak ada, cyanosis tidak.

Frekuensi napas : 20 x / menit

b)        Kardiovaskuler

Nyeri dada tidak ada, pusing tidak ada, kram kaki tidak ada, sakit kepala sebelah kanan, palpitasi tidak ada, Clubbing finger tidak ada.

c)         Persyarafan

Kesadaran                     : baik, GCS E3V4M6

Kepala dan wajah         : Deformitas wajah  baik, edema palpebra S/D : +/+

Mata                             :Mata agak sulit dibuka karena pada daerah palpebra oedema dan nampak kebiruan.

Mulut                            : Bengkak pada daerah bibir, gigi depan atas dan bawah keluar sebanyak 4 dan 3, terdapat darah yang mengering pada daerah mulut.

Leher                            : Dalam batas normal

Refleks fisiologis          : Normal

Refleks Pathologis        : Babinski negatif

Pendengaran                 : kanan / kiri normal

Penciuman                    : Normal

Pengecapan                   : Tidak dikaji

Penglihatan                   : Tidak dikaji

Perabaan                       : Tidak dikaji

Lainnya                         : Tidak ada.

d)        Perkemihan / eliminasi urine

Produksi urine                 : kurang lebih 1300 cc / 24 jam

Warna urine                     : Kuning agak kemerahan

Gangguan saat kencing : Tidak ada

Lainnya                            : Terpasang kateter sejak tanggal 7 April 2002.

e)         Makan dan minum        :

Mulut                               : Tampak kotor dengan darah yang mongering, tidak dapat menutup mulut dengan rapat, udem pada daerah bibir. Klien tidak dapat mengunyah dengan sempurna, makanan yang diberikan adalah bubur saring dan susu. Porsi yang diberikan dapat dihabiskan.

Tenggorokan                    : Tidak ada kelainan

Abdomen                         : jejas tidak ada, peristaltik baik, simetris

BAB                                : Selama 2 hari ini klien belum BAB

Obat pencahar                 : belum digunakan

Lavamen                          : Belum dilakukan

Lain – lain                        : Tidak ada.

f)         Tulang otot dan integumen
5          5

5          5

Kemampuan pergerakan sendi

Parese tidak ada, paralise, tidak, hemiparese tidak ada.

Ekstremitas atas               : Tidak terdapat kelainan

Ekstremitas bawah          : Terdapat luka lecet pada lutut kanan yang mengering.

Warna kulit                      : Sawo matang

Akral                                : Hangat

Turgor kulit                      : Baik

ADL                                : Klien saat ini masih berbaring di tempat tidur.

g)        Sistem Endokrin

Terapi hormon                   :tidak ada Riwayat pertumbuhan dan perkembangan fisik            :normal

Perubahan ukuran kepala :tidak mengalami kelainan

Rambut dan kulit              : Tidak nampak kering

Exopthalmus                     : Tidak ada

Goiter                                : Tidak ada

Hipoglikemia                     : Tidak ada

Toleransi terhadap panas   : Ya

Toleransi terhadap dingin : Ya

Polidipsi                            : Tidak ada

Poliuri                                : Tidak ada

Polipagi                             : Tidak ada

Postural hipotensi              : Tidak ada

Kelemahan                        : Tidak ada.

h)        Sistem Hemopoitik

Diagnosa penyakit hemopoitik yang lalu : Tidak ada

Anemia                                                       : Tidak ada

Kecenderungan perdarahan                        : Tidak ada

Transfusi darah                                           : Tidak pernah

Golongan darah                                          : O.

i)          Reproduksi

Laki – laki                                                   : Testis ada, penis normal.

j)          Psikososial

Klien dapat berinteraksi dengan baik kepada petugas kesehatan.

k)        Spritual

Sewaktu belum sakit klien menjalankan sholat 5 waktu secara teratur, dan selama sakit klien tidak lagi melaksanakannya.

V.       Pemeriksaan Penunjang

  1. Tanggal 8 April 2002

Hb                : 13,4 gr %

Leuko           : 20.600

Trombo         : 181.000

  1. BGA  :

PH                            : 7,392                         ( N  : 7,35 – 7,45 )

PCO2                       : 34,2                           ( N  : 35 – 45 )

PO2                          : 217,9                         ( N  : 80 – 104 )

HCO3                      : 20,4                           ( N  : 21 – 25 )

BE                            : – 4,6                           ( N  : – 3,3 – +1,2 )

  1. CT- Scan

ICH Parieto Occipital dextra, Fronto parietal dextra, Fraktur Zygoma Dextra, dinding lateral orbita dextra

Analisa : COS + SFBC + FR. Maxilla LF II – III + Hematosinus dextra dan sinistra.

Rencana Acara         : Operasi fraktur maxilla

VI.    Therapy

–            Voltaren 3 x 1 amp

–            Rantin 3 x 1 amp

–            Cedantron 3 x 1 amp

–            Dilantin 3 x 1 amp

–            Manitol 4 x 100 cc

–            Infus DS ½ – NS

VII. Diagnosa Keperawatan Sesuai Prioritas.

1.         Gangguan perfusi darah otak berhubungan dengan oedema serebri dengandata penunjang :

–            Sewaktu kecelakaan pasien tidak sadarakan diri

–            GCS ExV4M5

–            CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra, fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.

–            Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC Pernapasan 20 x / menit.

–            Pemberian manitol 4 x 100 cc

2.         Resiko terjadinya peningkatan TIK berhubungan dengan gangguan oksigenisasi ke otak dengan data penunjang :

–            GCS ExV4M5

–            CT – Scan : ditemukan Intra cranial Hematoma parieto occipital dextra, fraktur zygoma dextra dinding lateral dextra.

–            Tekanan darah : 90/ 60 mmHg, Nadi : 84 x / menit, Suhu : 36,8 OC Pernapasan 20 x / menit.

–            Pemberian Dilantin 3 x 1 amp

3.         Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dan infus dengan data penunjang :

–            Terpasang kateter sejak tanggal 7 April 2002

–            Terpasang infus sejak tanggal 7 April 2002

–            Pengeluaran urine sebanyak 1300 cc/ 24 jam melalui selang kateter.

–            Pemberian cedantion 3 x 1 amp

–            Pemberian voltaren 3 x 1 amp

4.         Gangguan oral hygiene berhubungan dengan perawatan mulut yang tidak optimal dengan data penunjang :

–            Klien mengatakan rasa nyeri sewaktu membuka mulut

–            Oedema pada daerah mulut

–            Gigi tanggal sebanyak 7 buah

–            Terdapatnya darah kering sekitar mulut dan hidung

STUDY KASUS

I.     Pengkajian ( 1 – 4 – 2002 )

  1. Identitas

Nama               : Ny. Id                           Tgl MRS : 31 – 3 – 2002

Umur               : 31 tahun

Jenis Kelamin  : Perempuan

Suku/bangsa    : Jawa/Indonesia

Agama             : Islam

Pekerjaan         : Tidak bekerja ( Ibu Rumah tangga )

Pendidikan      : SMA ( tamat )

Nama Suami    : Tn. As

Umur               : 38 tahun

Pendidikan      : SMU ( tamat )

Pekerjaan         : Kuli Batu

Alamat                        : Banyu urip I / 24 A Surabaya

Alasan dirawat: Nyeri luka operasi

Keluhan Utama sebelumnya   :  Nyeri  hebat perut kanan bawah

Upaya yang telah dilakukan   : Periksa ke IRD RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan dilakukan operasi ( Apendiktomy ) tanggal 31-3-2002 jam 23.35 WIB.

  1. Riwayat Keperawatan

2.1              Riwayat Penyakit sebelumnya :

Klien mengatakan :

– Sering mengalami tekanan darah rendah

–                      – Waktu SMA pernah sakit typhus dan sakit kuning, dengan berobat jalan sembuh

2.2              Riwayat Penyakit Sekarang :

Nyeri luka operasi daerah perut kanan bawah. Nyeri bertambah hebat terutama bila   bergerak, agak berkurang bila miring kekanan. Kepala pusing sejak keluar dari kamar operasi dan merasa nek serta mual, belum kentut ( flatus ), karena kepala pusing, nyeri luka operasi dan mual tidur sering terbangun.

2.3              Riwayat Kesehatan Keluarga :

Dari keluarga ayah maupun ibunya tidak ada yang menderita sakit kencing manis, ataupun sakit berat yang lainnya.

A.    Genogram

Keterangan :

=  Laki-laki                                                       = Ikatan Perkawainan     

=  Perempuan                                                    = Anak

=   Klien                                                            = Tinggal satu rumah

2.4  Riwayat Kesehatan lainnya :

–          Klien ikut KB suntik

–          Klien dirawat tanpa menggunakan alat bantu

2.5.Aktivitas hidup sehari-hari

Aktivitas sehari-hari Sebelum Sakit Di Rumah Sakit
  1. Makan dan minum
  1. Eliminasi
  1. Istirahat dan tidur
  1. Aktivitas
  1. Kebersihan diri
  1. Rekreasi
Makan 3 kali sehari, nasi, sayur dan ikan, buah kadang-kadang, tidak ada makanan pantangan, semua makanan yang ada disukai. Minum air putih, sehari 1500-2000 cc.

BAK lancar 5 – 6 kali sehari, warna kuning jernih, jumlah 1500-2000 cc / hari. BAB setiap 4 hari sekali, konsistensi lunak.

Tidur siang  jam 12.00-14.00

Malam jam 22.00-05.00

Sebagai ibu rumah tangga, jam 05.00 mulai memasak, mempersiapkan seragam anak-2 nya yang akan sekolah, mencuci dan membersihkan rumah 2 kali sehari.

Mandi dan gosok gigi 2 kali sehari, mencuci rambut 2 kali seminggu, memotong kuku bila sudah panjang, tidak ada jadwal khusus, ganti baju setiap sore.

Bila ada waktu senggang antara jam 20-00 – 22.00 menonton TV bersama suami dan anak-2nya, tidak pernah ketempat rekreasi.

Masih puasa

BAK lancar 5 kali sehari warna kuning agak gelap, belum BAB

Tidak bisa tidur siang, tidur malam sering terbangun

Ditempat tidur

Mandi 2 kali sehari diseka suaminya, tidak gosok gigi

  1. Pemeriksaan Fisik :

–          Keadaan umum :

Klien terbaring terlentang dengan posisi tangan kiri memegang perut saat bergerak, mengernyitkan dahi dan menggigit bibir.

–          Tanda Vital :

Suhu axilla 36 º C   Nadi 88 x/menit,  Tensi 100/80 mmHg, RR 18 x/menit

  1. Pengkajian Sistem :

4.1 Sistem Pernafasan :

Hidung bersih, pernafasan spontan, bentuk dada bulat datar tidak ditemukan tarikan  otot bantu pernafasan saat bernafas, suara nafas vesikuler, tidak ditemukan suara nafas tambahan.

4.2 Sistem Cardiovaskuler :

Klien mengeluh pusing sejak keluar dari kamar operasi, Suara jantung S1 S2 suara tunggal lupdub. Ictus Cordis teraba 1 cm pada ICS med Clavicula kiri, percusi sonor, tidak ditemukan oedema pada palpebrae maupun extremitas, KRT kembali dalam detik pertama. Tensi : 110/80 mmHg, Nadi : 92 x/menit, Suhu 36º C.

4.2 Sistem Persyarafan :

-Kesadaran Composmentis, GCS : E 4  V 5  M 6 dengan total nilai 15.

-Kepala dan Wajah :

Mata : Konjungtiva merah muda , Sklera : Warna putih terdapat gambaran tipis pembuluh darah, Pupil isocor.

-Leher : Pergerakan bebas, tidak ditemukan pembesaran/bendungan vena yugolaris, pembesaran kelenjar gondok maupun limphe.

-Persepsi Sensori :

Klien mampu mendengar suara berbisik, mampu membedakan rasa manis, asin dan pahit, penglihatan sampai tak terhingga, ambang rasa raba terhadap hangat, dingin dan raba masih mampu membedakan.

4.3 Sistem Perkemihan :

Bak lancar warna kuning jernih 5-6 kali sehari, jumlah  ± 1500-200 cc perhari , baik sebelum sakit maupun selama dirawat dirumah sakit, tidak ada keluhan nyeri saat BAK.

4.4 Sistem Pencernaan :

–          Mulut dan tenggorok :

Bibir dan lidah kering tidak ditemukan stomatitis maupun aptea, gigi bersih tidak ada caries, tonsil/ovula warna merah muda tidak ada oedema.

–          Abdomen :

Saat bergerak, klien menahan perut , Bentuk datar flat, terdapat luka operasi  pada pertengahan inguinal kanan dan umbilikus dengan panjang ± 5 cm, luka bersih dengan jahitan ( HZ 6 buah ).Luka tertutup oleh kasa steril, Auskultasi bising usus belum terdengar, Perkusi hypertimpani. Skibala -.

–          Rectum :

Bersih, tidak ditemukan haemorrhoid, BCR +, Nyeri RT disangkal.

Sebelum sakit BAB tiap 4 hari sekali konsistensi lunak, selama dirawat di rumah sakit belum BAB. Klien mendapat Flagyl suposutoria 3 x 1 sehari, masih puasa.

4.5 Sistem Tulang Otot – Integumen

–          Kemampuan pergerakan sendi bebas, ekstremitas bawah pergerakan bebas, ekstremitas atas ( tangan kiri terpasang infus RL 35 tetes / menit menetes lancar, tidak ada ekstrapasase. Kekuatan tot 5, Flaping tremor -, KRT dan turgor kulit kembali detik pertama. Akral hangat.

4.6 Sistem Endokren :

Klien mengatakan tidak pertumbuhan dan perkembangan fisiknya berjalan sebagaimana orang lainnya. Tidak mempunyai keluhan yang berkaitan dengan hormonal misalnya poluri, polidipsi maupun kelemahan.

  1. Sosial / Interaksi :

Klien mendapat dukungan aktif dari keluarga, reaksi saat interaksi sangat kooperatif, kien mengatakan konflik yang pernah dialami adalah saat suaminya di PHK dari tempat kerjanya.

  1. Spiritual :

Klien mengatakan bahwa sakit yang dialami adalah ujian dari sang pencipta, dan ia bersama suaminya hanya berusaha dan Tuhan yang menyembuhkan. Selama sakit tidak berhenti berdo’a untuk kesembuhannya.

Pemeriksaan Penunjang :

Hb        10,3 gr % ( 11,4 – 15,1 )

Leuko   14,8 x 10.9 / l ( 4,3 – 11,3 )

Trombo 258 x 10.9 /l ( 150 – 350 )

PCV      0,33  ( 0,38 – 0,42 )

Terapi :

Infus RD 5   = 2 :  3

Kedacillin 3 x 1 gram

Antrain 3 x 1 amp

Mahasiswa yang mengkaji,

(  S u p a n i k   )

Analisa Data

Pengelompokan data K. Penyebab Masalah
Subyektif :

–          Klien mengeluh nyeri luka operasi daerah perut kanan bawah, nyeri bertambah hebat terutama bila bergerak, agak berkurang bila miring kekanan.

–          Mual, tidur sering terbangun

Obyektif :

–          Saat bergerak tangan kiri menahan perut, mengernyitkan dahi dan menggigit bibir.

–          Post operasi hari I

–          Luka operasi bersih, HZ VI

Subyektif : Klien mengatakan

–          Tidur malam sering terbangun, siang tidak bisa tidur

–          Kepala pusing, mual sejak keluar dari kamar operasi

Obyektif :

– Conjunctiva relatif merah muda

– Hb 10,3 gr %

– Tensi 100/80 mmHg

Subyektif : Klien mengatakan :

–          Masih puasa sejak keluar dari kamar operasi

–          Haus, mual, pusing

–          BAK lancar warna kuning gelap.

Obyektif :

–          Membrane mukosa lidah dan bibir kering

–          Turgor kulit dan KRT kembali detik pertama

–          Tangan kiri terpasang infus RL 35 tetes/menit

–          Tensi 100/80 mmHg

Hypoxia apendix

Apendictomy

Discontinuitas jaringan/syaraf

Nyeri

Discontinuitas jaringan/syaraf

Nyeri

Aktivitas tidak adequat

Perubahan posisi

Tidur terganggu

Fungsi GI tract turun

Puasa/intake kurang

Hidrasi tidak adequat

Nyeri akut

Pola tidur (terganggu )

Volume cairan kurang ( resiko tinggi )

Rumusan Diagnose Keperawatan :

  1. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) b/d discontinuitas jaringan/syaraf sekunder dari apendictomy ditandai dengan mengeluh nyeri luka operasi perut kanan bawah, bertambah hebat bila bergerak, saat bergerak mengernyitkan dahi, menggigit bibir dan memegang perut.
  2. Gangguan pola tidur b/d nyeri luka operasi, tidak adequatnya aktivitas ditandai dengan tidak bisa tidur siang, tidur malam sering terbangun, mual, tensi 100/80 mmHg, Hb 10,3 gr %.
  3. Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b/d intake kurang/puasa sekunder dari fungsi GI tract menurun.

Rencana Tindakan Keperawatan

Dix. Kep dan hasil yang diharapkan Rencana Tindakan Rasional Nama mahasiswa
Gangguan rasa nyaman ( Nyeri ).

Kriteria hasil :

–          Nyeri hilang/terkontrol

–          Tampak rileks, mampu istirahat dengan tenang

Gangguan pola tidur..

Kriteria hasil :

–          Tidur dengan pola sesuai kebiasaan dirumah

–          Mengidentifikasi tehnik untuk menginduksi tidur

–          Beradaptasi terhadap faktor yang menghambat tidur.

Resiko tinggi kekurangan cairan

Kriteria hasil :

–          Membrane mukosa lembab

–          Turgor kulit baik

–          Tanda vital stabil

–          Urine stabil

  1. Kaji nyeri, catat lokasi,        karakteristik, beratnya

( skala 0-10 )

  1. Dorong ambulasi dini
  1. Berikan aktivitas hiburan

Lakukan program kolaborasi :

  1. Pertahankan puasa pade fase awal
  1. Berikan analgesik sesuai indikasi
  1. Kurangi kebisingan
  1. Organisasikan prosedur untuk memberikan jumlah terkecil gangguan selama periode tidur.
  2. Tetapkan bersama klien jadwal untuk program aktivitas sepanjang hari.
  1. Diskusikan dengan klien tentang cara menggunakan waktu serileks mungkin sebelum tidur.

1.Awasi tekanan darah dan nadi

2. Observasi membrane mukosa, kaji turgor kulit dan pengisian kapiler

3. Auskultasi bising usus,  catat      kelancaran flatus dan, gerakan usus.

4. Awasi intake dan output, catat warna urine/konsentrasi, berat jenis.5.

.

  1. Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukan peroral dimulai dan lanjutkan diit sesuai toleransi.
  1. Berikan perawatan mulut dengan perhatian khusus pada perlindungan bibir.
  1. Lakukan program kolaborasi cairan IV dan elektrolit
Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan penyembuhan.

Meningkatkan normalisasi fungsi organ ( merangsang peristaltik dan flatus, menurunkan ketidaknyamanan abdomen

Meningkatkan relaksasi dan kemampuan koping

Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini dan iritasi gaster/muntah.

Menghilangkan nyeri, mempermudah kerjasamna dengan intervensi terapi lain.

Kebisingan yang minimal merupakan stimulus yang efektif untuk menurunkan ambang seseorang untuk terjaga.

Meminimalkan stimulus

Aktivitas yang adequat sesuai kemampuan akan meningkatkan keinginan untk tidur o/k sel-2 perlu istirahat.

Merangsang otot mata untuk beraktivitas dan pada periode tertentu akan mengalami kelelahan sehingga ada keinginan untuk tidur.

Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume intravaskuler.

Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.

Indikator kembalinya peristaltik, kesiapan untuk pemasukan oral

Penurunan pengeluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga dehydrasi/kebutuhan cairan meningkat.

Menurunkan iritasi gaster/muntah untuk meminimalkan kehilangan cairan.

Dehydrasi menyebabkan bibir dan mulut kering dan pecah-2.

Peritonium bereaksi terhadap iritasi dengan menghasilkan sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah mengakibatkan hipovolemia.

Supanik

Supanik

Supanik

Tindakan Keperawatan

Tanggal / Jam Tindakan Keperawatan Nama Perawat
1 – 4 – 2002

09.30

10.00

10.30

11.00

12.00

13.00

2 – 4 – 2002

07.00

07.30

09.00

10.00

12.00

12.30

13.00

13.30

3        – 4 – 2002

08.00

10.00

Mengobservasi : Tensi 100/80 mmHg, Nadi 88/mnt, RR 18x/mnt, Suhu 36˚ C, Luka bersih.

Mengobati luka dengan Larutan Savlon, BWC dan Betadin oles. Luka tampak bersih tidak ada oedema.

Memberikan injeksi pada pasien : Kedacillin 1 gram dan Antrain 1 amp Iv. Tidak ada reaksi allergie.

Memasukkan Flagyl Suposutoria

Memberi penjelasan pada klien tentang :

–          Penyebab nyeri dan sulit tidur nyenyak

–          Upaya untuk mengatasi nyeri dan gangguan tidur

–          Upaya untuk mencegah kekurangan cairan

Mengajari klien cara mengatasi nyeri dan kesulitan tidur dengan cara mobilisasi dan menarik nafas panjang saat bergerak

Mengobservasi : Tensi 100/80 mmHg, Nadi 92x/mnt, Suhu 36² ° C, RR 16x/mnt. Bising usus +  2x/mnt, klien belum flatus.

Mengganti cairan infus D 5 35 tetes/mnt, menetes lancar.

Observasi bising usus 5x/mnt, Klien flatus, Abdomen soepel.

Memesan pada klien agak minum secara bertahap dan makan cair.

Membantu klien makan bubur halus, habis 1 porsi, minum air putih 250 cc.

Membersihkan lingkungan klien

Mengobservasi : Tensi 110/80 mmHg, Nadi 88/mnt, RR 18x/mnt, Suhu 36˚ C, Luka bersih. Klien mengatakan BAK lancar.

Mengobati luka dengan Larutan Savlon, BWC dan Betadin oles. Luka tampak bersih tidak ada oedema.

Memberikan injeksi pada pasien : Kedacillin 1 gram dan Antrain 1 amp Iv. Tidak ada reaksi allergie.

Mengganti cairan infus RL 35 tetes/mnt, menetes lancar, tidak ada tanda ekstravasase.

Membantu klien makan bubur halus habis 1 porsi, minum air putih 250 cc.

Observasi Tensi 110/80 mmHg, Nadi 84x/mnt, RR 16x/mnt, Suhu 36° C.

Melepas infus dan memesan pada klien agar banyak minum.

Memberi penjelasan pada klien cara mium obat peroral.

Memindahkan klien ke ruang Bedah G

Mengobservasi : Tensi 110/80 mmHg. RR 16x/mnt, Nadi 80x/mnt, Suhu 36° C, Luka jahitan mulai kering.

Memesan pada klien agar tetap minum obat secara teratur, mempertahankan daerah luka tetap steril, banyak minum  terutama air putih.

Mengantarkan klien pulang sampai pintu ruangan.

Supanik

Evaluasi

Tanggal Diagnosa Catatan perkembangan Nama Perawat
2-4-2002

3-4-2002

Nyeri…

Pola tidur….

Cairan

Nyeri…

S. Klien menyatakan nyeri perut sudah berkurang

O. Memegang perut saat bergerak, Tensi 110/80 mmhg, Nadi 84x/mnt, RR 18x/mnt, Luka mulai kering, tanda infeksi –

A.Masalah teratasi sebagian

P. Lanjutkan rencana

Terapi ganti peroral Metafera acid 3×500 mg.

S. Klien mengatakan sudah dapat tidur seperti biasa, tidak mual dan pusing

O. Tensi 110/80 mmHg

A.Masalah teratasi

P. Rencana dihentikan, lanjutkan observasi

S. Klien mengatakan sudah minum air putih ± 1500 cc/hari, makan bubur halus habis, BAK lancar warna kuning jernih.

O. Membrane mukosa bibir dan lidah lembab, Tensi 110/80 mmHg, Nadi 84x/mnt.

A.Masalah tidak menjadi aktual

P. Pertahankan masukan peroral.

S. Klien mengatakan nyeri banyak berkurang dan bila nyeri menarik nafas panjang.

O. Klien nampak rileks saat bergerak, luka bersih dan mulai mengering.

A.Masalah teratasi sebagian

P. Pesan pada klien agar tetap mempertahankan kesterilan luka bila sudah pulang.

Supanik

II.       DEFENISI

Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis.

III.

IV.                 FISIOLOGI / ANATOMI

Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian t[R1] erjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.

V.

VI.    KLASIFIKASI

Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :

  1. Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan kapsula.
  • Melalui kepala femur (capital fraktur)
  • Hanya di bawah kepala femur
  • Melalui leher dari femur

[R2]

  1. Fraktur Ekstrakapsuler;
  • Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
  • Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter kecil.

[R3]

VII. PATOFISIOLOGI

A. Penyebab fraktur adalah trauma

Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa

yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu :

  • Osteoporosis Imperfekta
  • Osteoporosis
  • Penyakit metabolik

1. TRAUMA

Dibagi menjadi dua, yaitu :

Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah   trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).

Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi pada orangtua.

TANDA DAN GEJALA

  • Nyeri hebat di tempat fraktur
  • Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
  • Rotasi luar dari kaki lebih pendek
  • Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

PENATALAKSANAAN MEDIK

  • X.Ray
  • Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
  • Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
  • CCT kalau banyak kerusakan otot.

TRAKSI

Penyembuhan fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin

Metode Pemasangan traksi:

Traksi Manual

Tujuan : Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency.

Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.

Traksi Mekanik

Ada dua macam, yaitu :

Traksi Kulit

Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit terbatas

untuk 4 minggu dan beban < 5 kg.

Untuk anak-anak waktu beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi definitif, bila tidak diteruskan dengan pemasangan gips.

Traksi Skeletal

Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.

KEGUNAAN PEMASANGAN TRAKSI

Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :

  • Mengurangi nyeri akibat spasme otot
  • Memperbaiki dan mencegah deformitas
  • Immobilisasi
  • Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk  nyeri tulang sendi).
  • Mengencangkan pada perlekatannya.

MACAM – MACAM TRAKSI

Traksi Panggul

Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka.

Traksi Ekstension (Buck’s Extention)

Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi spasme otot.

Traksi Cervikal

Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.

Traksi Russell’s

Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.

Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.

Traksi khusus untuk anak-anak

Penderita tidur terlentang 1-2 jam,  di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman pen, dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang  atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2 minggu atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

KASUS

Saudara adalah seorang perawat di ruang bedah yang diberi tanggung jawab untuk memberikan asuhan keperawatan kepada Tn. Muria, usia 40 tahun dengan fraktur femur kanan 1/3 distal comunited. Saat ini pasien masih menggunakan Back slab sambil menunggu jadwal operasi untuk tandur (cangkok) tulang dan pemasangan eksterna traksi.

Dari balutan yang ada pada Back slab merembes darah cukup banyak, pasien mengeluh nyeri berat. Pasien semenjak kecelakaan 24 jam yang lalu tidak bisa tidur karena menahan nyeri. Ibu jari dan jari-jari kaki kanan terasa baal.

SOAL : Buatlah rencana asuhan keperawatan disertai rasionalisasinya !

JAWAB:

RENCANA KEPERAWATAN

Prioritas Masalah

  • Mengatasi perdarahan
  • Mengatasi nyeri
  • Mencegah komplikasi
  • Memberi informasi tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONALISASI

1.

Potensial terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak

INDENPENDEN:

a) Observasi tanda-tanda vital.

b)Mengkaji sumber, lokasi, dan banyak- nya per darahan

c) Memberikan posisi supinasi

d)Memberikan banyak cairan (minum)

KOLABORASI:

e) Pemberian cairan per infus

f) Pemberian obat koa-gulan sia (vit.K, Adona) dan peng- hentian perdarahan dgn fiksasi.

g) Pemeriksaan laborato- rium (Hb, Ht)

a) Untuk mengetahui tanda-tanda syok se- dini mungkin

b)Untuk menentukan tindak an

c) Untuk mengurangi per darahan dan men- cegah kekurangan darah ke otak.

d)Untuk mencegah ke- kurangan cairan

(mengganti cairan yang hilang)

e) Pemberian cairan per-infus.

f) Membantu proses pem-bekuan darah dan untuk menghentikan perda-rahan.

g) Untuk mengetahui ka-dar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.

2.

Gangguan rasa nyaman:

Nyeri  s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemas

INDEPENDEN:

a)        Mengkaji karakteris- tik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan meng- gunakan skala nyeri (0-10)

b)       Mempertahankan im- mobilisasi (back slab)

c)        Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.

d)       Menjelaskan seluruh prosedur di atas

KOLABORASI:

e)        Pemberian obat-obatan analgesik

a)        Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat me- nentukan jenis tindak annya.

b)       Mencegah pergeser- an tulang dan pe- nekanan pada jaring- an yang luka.

c)        Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan me- ngurangi nyeri.

d)       Untuk mempersiap- kan mental serta agar pasien berpartisipasi pada setiap tindakan yang akan dilakukan.

e)        Mengurangi rasa nyeri

3.

Potensial infeksi se- hubungan dengan luka terbuka.

INDEPENDEN:

a)        Kaji keadaan luka (kontinuitas dari kulit) terhadap ada- nya: edema, rubor, kalor, dolor, fungsi laesa.

b)       Anjurkan pasien untuk tidak memegang bagian yang luka.

c)        Merawat luka dengan menggunakan tehnik aseptik

d)       Mewaspadai adanya keluhan nyeri men- dadak, keterbatasan gerak, edema lokal, eritema pada daerah luka.

KOLABORASI:

e)        Pemeriksaan darah : leokosit

f)        Pemberian obat-obatan :

antibiotika dan TT (Toksoid Tetanus)

g)        Persiapan untuk operasi sesuai indikasi

a)        Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.

b)       Meminimalkan terjadinya kontaminasi.

c)        Mencegah kontami- nasi dan kemungkin- an infeksi silang.

d)       Merupakan indikasi adanya osteomilitis.

e)        Lekosit yang me- ningkat artinya sudah terjadi proses infeksi

f)        Untuk mencegah ke- lanjutan terjadinya infeksi. dan pencegah an tetanus.

g)        Mempercepat proses penyembuhan luka dan dan penyegahan peningkatan infeksi.

4.

Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri, immobilisasi.

INDEPENDEN:

a)        Kaji tingkat im- mobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien tentang immobilisasi ter- sebut.

b)       Mendorong parti- sipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca kora, dll ).

c)        Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun yang tidak.

d)       Membantu pasien dalam perawatan diri

e)        Auskultasi bising usus, monitor kebiasa an eliminasi dan menganjurkan agar b.a.b. teratur.

f)        Memberikan diit tinggi protein , vitamin ,  dan mi-  neral.

KOLABORASI :

g)        Konsul dengan bagi- an fisioterapi

a)        Pasien akan mem- batasi gerak karena salah persepsi (persepsi tidak pro- posional)

b)       Memberikan ke- sempatan untuk me- ngeluarkan energi, memusatkan per- hatian, meningkatkan perasaan mengontrol diri pasien dan membantu dalam mengurangi isolasi sosial.

c)        Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk me- ningkatkan tonus otot, mempertahankan mobilitas sendi, men- cegah kontraktur / atropi dan reapsorbsi Ca yang tidak digunakan.

d)       Meningkatkan ke- kuatan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam me- ngontrol situasi, me- ningkatkan kemauan pasien untuk sembuh.

e)        Bedrest, penggunaan analgetika dan pe- rubahan diit dapat menyebabkan penurunan peristaltik usus dan konstipasi.

f)        Mempercepat proses penyembuhan, mencegah penurunan BB, karena pada immobilisasi biasanya terjadi penurunan BB (20 – 30 lb).

Catatan : Untuk sudah dilakukan traksi.

g)        Untuk menentukan program latihan.

5.

Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengo- batan sehubungan dengan kesalahan dalam pe- nafsiran, tidak familier dengan sumber in-  formasi.

INDEPENDEN:

a)        Menjelaskan tentang kelainan yang muncul  prognosa, dan harap- an yang akan datang.

b)       Memberikan dukung an cara-cara mobili- sasi dan ambulasi sebagaimana yang dianjurkan oleh bagi- an fisioterapi.

c)        Memilah-milah aktif- itas yang bisa mandiri dan yang harus dibantu.

d)       Mengidentifikasi pe- layanan umum yang tersedia seperti team rehabilitasi, perawat keluarga (home care)

e)        Mendiskusikan tentang perawatan lanjutan.

a)        Pasien mengetahui kondisi saat ini dan hari depan sehingga pasien dapat menentu kan pilihan.

b)       Sebagian besar fraktur memerlukan penopang dan fiksasi selama proses pe- nyembuhan sehingga keterlambatan pe- nyembuhan disebab- kan oleh penggunaan alat bantu yang kurang tepat.

c)        Mengorganisasikan kegiatan yang diperlu kan dan siapa yang perlu menolongnya. (apakah fisioterapi, perawat atau ke- luarga).

d)       Membantu meng- fasilitaskan perawa- tan mandiri memberi support untuk man- diri.

e)        Penyembuhan fraktur tulang kemungkinan lama (kurang lebih 1 tahun) sehingga perlu disiapkan untuk perencanaan perawatan lanjutan dan pasien koopratif.

VIII.  FRAKTUR FEMUR

IX.    DEFINISI

Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang / osteoporosis.

X.

XI.                 FISIOLOGI / ANATOMI

Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar dan kecil, trokhanter dan batang, bagian t[R4] erjauh dari femur berakhir pada kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior, nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.

XII.

XIII.       KLASIFIKASI

Ada 2 type dari fraktur femur, yaitu :

  1. Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul dan kapsula.
  • Melalui kepala femur (capital fraktur)
  • Hanya di bawah kepala femur
  • Melalui leher dari femur

[R5]

  1. Fraktur Ekstrakapsuler;
  • Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih besar/yang lebih kecil/pada daerah intertrokhanter.
  • Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trokhanter kecil.

[R6]

XIV.       PATOFISIOLOGI

B. Penyebab fraktur adalah trauma

Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma yang disebabkan oleh suatu proses, yaitu :

  • Osteoporosis Imperfekta
  • Osteoporosis
  • Penyakit metabolik

2. TRAUMA

Dibagi menjadi dua, yaitu :

Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah   trokhanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).

Trauma tak langsung, yaitu titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi pada orangtua.

TANDA DAN GEJALA

  • Nyeri hebat di tempat fraktur
  • Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
  • Rotasi luar dari kaki lebih pendek
  • Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

PENATALAKSANAAN MEDIK

  • X.Ray
  • Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
  • Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
  • CCT kalau banyak kerusakan otot.

TRAKSI

Penyembuhan fraktur bertujuan mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin

Metode Pemasangan traksi:

Traksi Manual

Tujuan : Perbaikan dislokasi, Mengurangi fraktur, Pada keadaan Emergency.

Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.

Traksi Mekanik

Ada dua macam, yaitu :

Traksi Kulit

Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit terbatas

untuk 4 minggu dan beban < 5 kg.

Untuk anak-anak waktu beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai fraksi definitif, bila tidak diteruskan dengan pemasangan gips.

Traksi Skeletal

Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.

KEGUNAAN PEMASANGAN TRAKSI

Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul, kegunaannya :

  • Mengurangi nyeri akibat spasme otot
  • Memperbaiki dan mencegah deformitas
  • Immobilisasi
  • Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk  nyeri tulang sendi).
  • Mengencangkan pada perlekatannya.

MACAM – MACAM TRAKSI

Traksi Panggul

Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka.

Traksi Ekstension (Buck’s Extention)

Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi spasme otot.

Traksi Cervikal

Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.

Traksi Russell’s

Traksi ini digunakan untuk frakstur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.

Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.

Traksi khusus untuk anak-anak

Penderita tidur terlentang 1-2 jam,  di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman pen, dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang tungkai bawah ditopang  atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2 minggu atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.

PENGKAJIAN

  1. Riwayat keperawatan
    1. Riwayat Perjalanan penyakit

–          Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan

–          Apa penyebabnya, kapan terjadinya kecelakaan atau trauma

–          Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll

–          Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan

–          Kehilangan fungsi

–          Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis

  1. Riwayat pengobatan sebelumnya

–          Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis kortikosteroid dalam jangka waktu lama

–          Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama pada wanita

–          Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut

–          Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir

  1. Proses pertolongan pertama yang dilakukan

–          Pemasangan bidai sebelum memindahkan dan pertahankan gerakan diatas/di bawah tulang yang fraktur sebelum dipindahkan

–          Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi edema

  1. Pemeriksaan fisik
    1. Mengidentifikasi tipe fraktur
    2. Inspeksi daerah mana yang terkena

–          Deformitas yang nampak jelas

–          Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera

–          Laserasi

–          Perubahan warna kulit

–          Kehilangan fungsi daerah yang cidera

  1. Palpasi

–          Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran

–          Krepitasi

–          Nadi, dingin

–          Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur

KASUS

Saudara adalah seorang perawat di ruang bedah yang diberi tanggung jawab untuk memberikan asuhan keperawatan kepada Tn. Muria, usia 40 tahun dengan fraktur femur kanan 1/3 distal comunited. Saat ini pasien masih menggunakan Back slab sambil menunggu jadwal operasi untuk tandur (cangkok) tulang dan pemasangan eksterna traksi.

Dari balutan yang ada pada Back slab merembes darah cukup banyak, pasien mengeluh nyeri berat. Pasien semenjak kecelakaan 24 jam yang lalu tidak bisa tidur karena menahan nyeri. Ibu jari dan jari-jari kaki kanan terasa baal.

SOAL : Buatlah rencana asuhan keperawatan disertai rasionalisasinya !

JAWAB:

RENCANA KEPERAWATAN

Prioritas Masalah

  • Mengatasi perdarahan
  • Mengatasi nyeri
  • Mencegah komplikasi
  • Memberi informasi tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONALISASI

1.

Potensial terjadinya syok s/d perdarahan yg banyak

INDENPENDEN:

a)Observasi tanda-tanda vital.

b)Mengkaji sumber, lokasi, dan banyak- nya per darahan

c)Memberikan posisi supinasi

d)Memberikan banyak cairan (minum)

KOLABORASI:

e)Pemberian cairan per infus

f)Pemberian obat koa-gulan sia (vit.K, Adona) dan peng- hentian perdarahan dgn fiksasi.

g)Pemeriksaan laborato- rium (Hb, Ht)

a)Untuk mengetahui tanda-tanda syok se- dini mungkin

b)Untuk menentukan tindak an

c)Untuk mengurangi per darahan dan men- cegah kekurangan darah ke otak.

d)Untuk mencegah ke- kurangan cairan

(mengganti cairan yang hilang)

e)Pemberian cairan per-infus.

f)Membantu proses pem-bekuan darah dan untuk menghentikan perda-rahan.

g)Untuk mengetahui ka-dar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.

2.

Gangguan rasa nyaman:

Nyeri  s/d perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemas

INDEPENDEN:

a)      Mengkaji karakteris- tik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan meng- gunakan skala nyeri (0-10)

b)      Mempertahankan im- mobilisasi (back slab)

c)      Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.

d)     Menjelaskan seluruh prosedur di atas

KOLABORASI:

e)      Pemberian obat-obatan analgesik

a)      Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat me- nentukan jenis tindak annya.

b)      Mencegah pergeser- an tulang dan pe- nekanan pada jaring- an yang luka.

c)      Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan me- ngurangi nyeri.

d)     Untuk mempersiap- kan mental serta agar pasien berpartisipasi pada setiap tindakan yang akan dilakukan.

e)      Mengurangi rasa nyeri

3.

Potensial infeksi se- hubungan dengan luka terbuka.

INDEPENDEN:

a)      Kaji keadaan luka (kontinuitas dari kulit) terhadap ada- nya: edema, rubor, kalor, dolor, fungsi laesa.

b)      Anjurkan pasien untuk tidak memegang bagian yang luka.

c)      Merawat luka dengan menggunakan tehnik aseptik

d)     Mewaspadai adanya keluhan nyeri men- dadak, keterbatasan gerak, edema lokal, eritema pada daerah luka.

KOLABORASI:

e)      Pemeriksaan darah : leokosit

f)       Pemberian obat-obatan :

antibiotika dan TT (Toksoid Tetanus)

g)      Persiapan untuk operasi sesuai indikasi

a)      Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.

b)      Meminimalkan terjadinya kontaminasi.

c)      Mencegah kontami- nasi dan kemungkin- an infeksi silang.

d)     Merupakan indikasi adanya osteomilitis.

e)      Lekosit yang me- ningkat artinya sudah terjadi proses infeksi

f)       Untuk mencegah ke- lanjutan terjadinya infeksi. dan pencegah an tetanus.

g)      Mempercepat proses penyembuhan luka dan dan penyegahan peningkatan infeksi.

4.

Gangguan aktivitas sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri, immobilisasi.

INDEPENDEN:

a)      Kaji tingkat im- mobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien tentang immobilisasi ter- sebut.

b)      Mendorong parti- sipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca kora, dll ).

c)      Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun yang tidak.

d)     Membantu pasien dalam perawatan diri

e)      Auskultasi bising usus, monitor kebiasa an eliminasi dan menganjurkan agar b.a.b. teratur.

f)       Memberikan diit tinggi protein , vitamin ,  dan mi-  neral.

KOLABORASI :

g)      Konsul dengan bagi- an fisioterapi

a)      Pasien akan mem- batasi gerak karena salah persepsi (persepsi tidak pro- posional)

b)      Memberikan ke- sempatan untuk me- ngeluarkan energi, memusatkan per- hatian, meningkatkan perasaan mengontrol diri pasien dan membantu dalam mengurangi isolasi sosial.

c)      Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk me- ningkatkan tonus otot, mempertahankan mobilitas sendi, men- cegah kontraktur / atropi dan reapsorbsi Ca yang tidak digunakan.

d)     Meningkatkan ke- kuatan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam me- ngontrol situasi, me- ningkatkan kemauan pasien untuk sembuh.

e)      Bedrest, penggunaan analgetika dan pe- rubahan diit dapat menyebabkan penurunan peristaltik usus dan konstipasi.

f)       Mempercepat proses penyembuhan, mencegah penurunan BB, karena pada immobilisasi biasanya terjadi penurunan BB (20 – 30 lb).

Catatan : Untuk sudah dilakukan traksi.

g)      Untuk menentukan program latihan.

5.

Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosa, dan pengo- batan sehubungan dengan kesalahan dalam pe- nafsiran, tidak familier dengan sumber in-  formasi.

INDEPENDEN:

a)      Menjelaskan tentang kelainan yang muncul  prognosa, dan harap- an yang akan datang.

b)      Memberikan dukung an cara-cara mobili- sasi dan ambulasi sebagaimana yang dianjurkan oleh bagi- an fisioterapi.

c)      Memilah-milah aktif- itas yang bisa mandiri dan yang harus dibantu.

d)     Mengidentifikasi pe- layanan umum yang tersedia seperti team rehabilitasi, perawat keluarga (home care)

e)      Mendiskusikan tentang perawatan lanjutan.

a)      Pasien mengetahui kondisi saat ini dan hari depan sehingga pasien dapat menentu kan pilihan.

b)      Sebagian besar fraktur memerlukan penopang dan fiksasi selama proses pe- nyembuhan sehingga keterlambatan pe- nyembuhan disebab- kan oleh penggunaan alat bantu yang kurang tepat.

c)      Mengorganisasikan kegiatan yang diperlu kan dan siapa yang perlu menolongnya. (apakah fisioterapi, perawat atau ke- luarga).

d)     Membantu meng- fasilitaskan perawa- tan mandiri memberi support untuk man- diri.

e)      Penyembuhan fraktur tulang kemungkinan lama (kurang lebih 1 tahun) sehingga perlu disiapkan untuk perencanaan perawatan lanjutan dan pasien koopratif.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.


I.          FRAKTUR OS.MANDIBULARIS

II.       DEFiNISI

Rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma  baik secara langsung atau tidak langsung.

III.    PATOFISIOLOGI

A. Penyebab fraktur adalah trauma

Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu :

  • Osteoporosis Imperfekta
  • Osteoporosis
  • Penyakit metabolik

1.

2. TRAUMA

Trauma, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi dagu langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).

TANDA DAN GEJALA

  • Nyeri hebat di tempat fraktur
  • Tak mampu menggerakkan dagu bawah
  • Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

  • X.Ray
  • Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
  • Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
  • CCT kalau banyak kerusakan otot.

PENATALAKSANAAN MEDIK

  • Konservatif : Immobilisasi, mengistirahatkan daerah fraktur.
  • Operatif : dengan pemasangan Traksi, Pen, Screw, Plate, Wire ( tindakan Asbarg)

RENCANA KEPERAWATAN

Prioritas Masalah

  • Mengatasi perdarahan
  • Mengatasi nyeri
  • Mencegah komplikasi
  • Memberi informasi tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan
NO DX. KEPERAWATAN INTERVENSI RASIONALISASI
1. Potensial terjadinya syok sehubungan dengan perdarah-an yang banyak INDENPENDEN:

  • Observasi tanda-tanda vital.
  • Mengkaji sumber, lokasi, dan banyaknya per darahan
  • Memberikan posisi supinasi
  • Memberikan banyak cairan (minum)

KOLABORASI:

  • Pemberian cairan per infus
  • Pemberian obat koagulan sia (vit.K, Adona) dan penghentian perdarahan dengan fiksasi.
  • Pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht)
  • Untuk mengetahui tanda-tanda syok sedini mungkin
  • Untuk menentukan tindakan
  • Untuk mengurangi per darahan dan mencegah kekurangan darah ke otak.
  • Untuk mencegah kekurangan cairan

(mengganti cairan yang hilang)

  • Pemberian cairan per infus.
  • Membantu proses pembekuan darah dan untuk meng hentikan perdarahan.
  • Untuk mengetahui kadar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.
2. Gangguan rasa nyaman:

Nyeri  sehubungan dengan perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pemasangan back slab, stress, dan cemas

INDEPENDEN:

  • Mengkaji karakteristik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan meng-gunakan skala nyeri (0-10)
  • Mempertahankan immobilisasi (back slab)
  • Berikan sokongan (support) pada ektremitas yang luka.
  • Menjelaskan seluruh prosedur di atas

KOLABORASI:

  • Pemberian obat-obatan analgesik
  • Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan jenis tindak annya.
  • Mencegah pergeseran tulang dan penekanan pada jaringan yang luka.
  • Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan me ngurangi nyeri.
  • Untuk mempersiapkan mental serta agar pasien be-partisipasi pada setiap tindakan yang akan dilakukan.
  • Mengurangi rasa nyeri
3. Potensial infeksi sehubungan dengan luka terbuka. INDEPENDEN:

  • Kaji keadaan luka (kontinuitas dari kulit) terhadap adanya: edema, rubor, kalor, dolor, fungsi laesa.
  • Anjurkan pasien untuk tidak memegang bagian yang luka.
  • Merawat luka dengan meng-gunakan tehnik aseptik
  • Mewaspadai adanya keluhan nyeri mendadak, keterbatasan gerak, edema lokal, eritema pada daerah luka.

KOLABORASI:

  • Pemeriksaan darah : leokosit

Pemberian obat-obatan :

  • antibiotika dan TT (Toksoid Tetanus)
  • Persiapan untuk operasi sesuai indikasi
  • Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.
  • Meminimalkan terjadinya kontaminasi.
  • Mencegah kontaminasi dan kemungkinan infeksi silang.
  • Merupakan indikasi adanya osteomilitis.
  • Lekosit yang meningkat artinya sudah terjadi proses infeksi
  • Untuk mencegah kelanjutan terjadinya infeksi dan pencegahan tetanus.
  • Mempercepat proses penyembuhan luka dan dan penyegahan peningkatan infeksi.
4. Gangguan aktivitas s/d keru-sakan neuromuskuler skeletal, nyeri, immobilisasi. INDEPENDEN:

  • Kaji tingkat immobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien tentang immobilisasi tersebut.
  • Mendorong partisipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca koran dll ).
  • Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun yang tidak.
  • Membantu pasien dalam perawatan diri
  • Auskultasi bising usus, monitor kebiasaan eliminasi dan menganjurkan agar b.a.b. teratur.
  • Memberikan diit tinggi protein , vitamin ,  dan mineral.

KOLABORASI :

  • Konsul dengan bagian fisioterapi
  • Pasien akan membatasi gerak karena salah persepsi (persepsi tidak proporsional)
  • Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memusatkan perhatian, meningkatkan perasaan me-ngontrol diri pasien dan membantu dalam mengurangi isolasi sosial.
  • Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan mobilitas sendi, mencegah kontraktur / atropi dan reapsorbsi Ca yang tidak digunakan.
  • Meningkatkan kekuatan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam mengontrol situasi, meningkatkan kemauan pasien untuk sembuh.
  • Bedrest, penggunaan analgetika dan perubahan diit dapat menyebabkan penu-runan peristaltik usus dan konstipasi.
  • Mempercepat proses penyembuhan, mencegah penurunan BB, karena pada immobilisasi biasanya terjadi penurunan BB
  • Untuk menentukan program latihan.
5. Kurangnya pengetahuan ttg kondisi, prognosa, dan pengo- batan sehubungan dengan kesalahan dalam pe- nafsiran, tidak familier dengan sumber in-  formasi. INDEPENDEN:

  • Menjelaskan tentang kelainan yg muncul  prognosa, dan harapan yang akan datang.
  • Memberikan dukungan cara-cara mobilisasi dan ambulasi sebagaimana yang dianjurkan oleh bagian fisioterapi.
  • Memilah-milah aktifitas yg bisa mandiri dan yang harus dibantu.
  • Mengidentifikasi pelayanan umum yang tersedia seperti team rehabilitasi, perawat keluarga (home care)
  • Mendiskusikan tentang perawatan lanjutan.
  • Pasien mengetahui kondisi saat ini dan hari depan sehingga pasien dapat menentu kan pilihan..
  • Sebagian besar fraktur memerlukan penopang dan fiksasi selama proses pe- nyembuhan shg keterlambatan penyembuhan disebabkan oleh penggunaan alat bantu yang kurang tepat.
  • Mengorganisasikan kegiatan yang diperlu kan dan siapa yang perlu menolongnya (apakah fisioterapist, perawat atau ke- luarga).
  • Membantu mengfasilitasi perawatan mandiri memberi support untuk mandiri.
  • Penyembuhan fraktur tulang kemungkinan lama (kurang lebih 1 tahun) sehingga perlu disiapkan untuk perencanaan perawatan lanjutan dan pasien kooperatif.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

  1. Pengertian.

Adalah terputuisnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berubah trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berubah trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.

Akibat trauma pada tulang tergantuing pada jenis trauma,kekuatan, dan arahnya.Taruma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan  luka terbuka  sampai ketulang  yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang yang didekat sendi atau yang mengenai sendi dapat menyebabkan  patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.

III.       Patofisiologi.

Patah Tulang

Beban lama / Trauma ringan yang kontinyu

Terbuka                                                                                      Tertutup

Infeksi                                                      Potensial infeksi,adanya emboli lemak dari  fraktur tulang panjang & sindroma kompatemen .

Trauma Penetrasi

Perdarahan              Cidera Vaskuler                         Trombosis Pembuluh

Komplikasi

Penyebab kematian dini                                      Penyebab lambat kematian(Stl 3 hr)

Hemoragi & Cidera Kepala           Gangguan Organ Multipel       Sepsis

Terjadi ARDS &  DIC                                                              Pelepasan Toksin

Syok Hipovolemik                                                                    Dilatasi pemb. Darah

Penurunan Perfusi  organ                                                       Terkumpulnya Venosa

Peningkatan Curah jantung        Penurunan tahanan

Vaskular sistemik

Penurunan Curah Jantung,Tensi, Perfusi

Syok Sepsis

( Tirah baring, Ulkus, Emboli pulmunal, penyusutan Otot )

  1. Klasifikasi patah tulang.

Patah tulang dapat dibagi menurut  ada tidanya hubungan antara patahan tulang  denga dunia luar, yaitu patah tulang tertutup dan patah tulang terbuka yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk kedalam luka  sampai ke tulang yang patah.

Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya  luka dan berat ringannya patah tulang.

Patang tulang juga  dapat dibagi menurut garis fraktrunya misanya fisura, patah tulang sederhana, patah tulang kominutif ( pengecilan, patah tulang segmental,patah tulang impaksi ),  patah tulang kompresi,   impresi dan patah tulang patologis.

Derajat patah tulang  terbuka  terbagi atas 3 macam yaitu :

  1. laserasi < 2 cm bentuknya sederhana, dislokasi,fragmen, minimal.
  2. Laserasi > 2 cm  kontusi otot diserkitarnya bentuknya dislokasi, fragmen jelas
  3. Luka lebar, rusak hebat atau hilangnya jaringan disekitarnya bentuknya kominutif, segmental,fragmen tulang ada yang hilang

Jenis patah tulang dapat digolongkan  menjadi :

  1. Visura ( Diafisis metatarsal
  2. Serong sederhana ( Diaphisis metacarpal )
  3. Lintang sederhana ( diafisis tibia )
  4. Kominutif ( Diafisis femur )
  5. Segmental ( Diafisis tibia )
  6. Dahan hijau ( diafisis radius pada anak )
  7. Kompresi ( Korpus vertebral  th. XII )
  8. Impaksi ( epifisis radius distal,kolum femur lateral )
  9. Impresi ( tulang tengkorak )

10.  Patologis ( Tomur diafisi humerus,kurpus  vertebral)

  1. Komplikasi patah tulang .

Komplikasi patah tulang meliputi :

  1. Komplikasi segera

Lokal :

  • Kulit( abrasi l;acerasi, penetrasi)
  • Pembuluh darah ( robek )
  • Sistem saraf ( Sumssum tulang belakang, saraf tepi motorik dan   sensorik)
  • Otot
  • Organ dalam ( jantung,paru,hepar, limpha(pada Fr.kosta),kandung kemih (Fr.Pelvics)

Umum :

  • Ruda paksa multiple
  • Syok ( hemoragik, neurogenik )
  1. Komplikas Dini :

Lokal  :

  • Nekrosis kulit, gangren, sindroma kopartemen,trombosis vena, infeksi sendi,osteomelisis )

Umum :

  • ARDS,emboli paru, tetanus.
  1. Kompliasi lama

Lokal :

  • Sendi (ankilosis fibrosa, ankilosis osal )
  • Tulang ( gagal taut/lama dan salah taut,distropi reflek,osteoporosisi paskah    trauma,ggn pertumbuhan,osteomelisis,patah tulang ulang)
    • Otot atau tendon ( penulangan otot, ruptur tendon )
    • Saraf ( kelumpuhan saraf lambat

Umum :

  • Batu ginjal ( akibat mobilisasi lama ditempat tidur)
  1. Penatalaksanaan patah tulang.

Penatalaksanaan patah tulang mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada umumnya yang meliputi :

  1. Jangan ciderai pasien( Primum  Non Nocere).
  2. Pengobatan yang tepat berdasarkanb diagnosis dan prognosisnya
  3. Sesuai denga hokum alam
  4. Sesuai dengan kepribadian individu

Khusus untuk patah tulang meliputi :

  1. Reposisi
  2. Imobilisasi
  3. Mobilisasi berupa latihan seluruh system tubuh.
  1. Asuhan keperawatan.

ASUHAN KEPERAWATAN

  1. Riwayat perjalanan penyakit.
  2. Riwayat pengobatan sebelumnya.
  3. Pertolongan pertama yang dilakukan
  1. Pemeriksaan fisik :
  • Identifikasi fraktur
  • Inspeksi
  • Palpasi (bengkak, krepitasi, nadi, dingin)
  • Observasi spasme otot.
  1. Pemeriksaan diagnostik :
  • Laboratorium (HCt, Hb, Leukosit, LED)
  • CT-Scan
  1. Obat-obatan : golongan antibiotika gram (+) dan gram (-)
  • Penyakit yang dapat memperberat dan mempermudah terjadinya fraktur :
  1. Osteomyelitis acut
  2. Osteomyelitis kronik
  3. Osteomalacia
  4. Osteoporosis
  5. Gout
  6. Rhematoid arthritis

PENGKAJIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL

DATA SUBYEKTIF

  • Data biografi
  • Adanya nyeri, kekakuan, kram, sakit pinggang, kemerahan, pembengkakan, deformitas, ROM, gangguan sensasi.
  • Cara PQRST :
    • Provikatif (penyebab)
    • Quality (bagaimana rasanya, kelihatannya)
    • Region/radiation (dimana dan apakah menyebar)
    • Severity (apakah mengganggu aktivitas sehari-hari)
    • Timing (kapan mulainya)
  • Pengkajian pada sistem lain
    • Riwayat sistem muskuloskeletal, tanyakan juga tentang riwayat kesehatan masa lalu.
    • Riwayat dirawat di RS
    • Riwayat keluarga, diet.
    • Aktivitas sehari-hari, jenis pekerjaan, jenis alas kaki yang digunakan
    • Permasalahan dapat saja baru diketahui setelah klien ganti baju, membuka kran dll.

DATA OBYEKTIF

  • Inspeksi dan palpasi ROM dan kekuatan otot
  • Bandingakan dengan sisi lainnya.
  • Pengukuran kekuatan otot (0-5)
  • Duduk, berdiri dan berjalan kecuali ada kontra indikasi.
  • Kyposis, scoliosis, lordosis.

PROSEDUR DIAGNOSTIK

  1. X-ray dan radiography
  2. Arthrogram (mendiagnosa trauma pada kapsul di persendian atau ligamen). Anestesi lokal sebelum dimasukkan cairan kontras/udara ke daerah yang akan diperiksa.
  3. Lamnograph (untuk mengetahui lokasi yang mengalami destruksi atau mengevaluasi bone graf).
  4. Scanograph (mengetahui panjang dari tulang panjang, sering dilakukan pada anak-anak sebelum operasi epifisis).
  5. Bone scanning (cairan radioisotop dimasukkan melalui vena, sering dilakukan pada tumor ganas, osteomyelitis dan fraktur).
  6. MRI
  7. Arthroscopy (tindakan peneropongan di daerah sendi)
  8. Arthrocentesis (metode pengambilan cairan sinovial)

MASALAH-MASALAH YANG UMUM TERJADI

  1. Gangguan dalam melakukan ambulasi.
  • Berdampak luas pada aspek psikososial klien.
  • Klien membutuhkan imobilisasi → menyebabkan spasme otot dan kekakuan sendi
  • Perlu dilakukan ROM untuk menguragi komplikasi :

–  Kaki (fleksi, inverse, eversi, rotasi)

–  Pinggul (abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi)

–  Lutut (ekstensi)

–  Jari-jari kaki (ektensi, fleksi)

  1. Nyeri; tindakan keperawatan :
  • Merubah posisi pasien
  • Kompres hangat, dingin
  • Pemijatan
  • Menguragi penekanan dan support social
  • Apabila nyeri di sendi, perlu dikaji :

–          Kejadian sebelum terjadinya nyeri

–          Derajat nyeri pada saat nyeri pertama timbul

–          Penyebaran nyeri

–          Lamanya nyeri

–          Intensitas nyeri, apakah menyertai pergerakan

–          Sumber nyeri

–          Hal-hal yang dapat mengurangi nyeri.

  1. Spasme otot
  • Spasme otot (kram/kontraksi otot involunter)
  • Spasme otot dapat disebabkan iskemi jaringan dan hipoksia.
  • Tindakan keperawatan :
  1. Rubah posisi
  2. Letakkan guling kecil di bawah pergelangan kaki dan lutut
  3. Berikan ruangan yang cukup hangat
  4. Hindari pemberian obat sedasi berat → dapat menurunkan aktivitas pergerakan selama tidur
  5. Beri latihan aktif dan pasif sesuai program

INTERVENSI

  1. Istirahat
  • Istirahat adalah intervensi utama
  • Membantu proses penyembuhan dan meminimalkan inflamasi, pembengkakan dan nyeri.
  • Pemasangan bidai/gips.
  1. Kompres hangat
  • Rendam air hangat/kantung karet hangat
  • Diikuti dengan latihan pergerakan/pemijatan
  • Dampak fisiologis dari kompres hangat adalah :
    • Perlunakan jaringan fibrosa
    • Membuat relaks otot dan tubuh
    • Menurunkan atau menghilangkan nyeri
    • Meningkatkan suplai darah/melancarkan aliran darah.
  1. Kompres dingin
  • Metoda tidak langsung seperti cold pack
  • Dampak fisiologis adalah vasokonstriksi dan penerunan metabolic
  • Membantu mengontrol perdarahan dan pembengkakan karena trauma
  • Nyeri dapat berkurang, dapat menurunkan aktivitas ujung saraf pada otot
  • Harus hati-hati, dapat menyebabkan jaringan kulit nekrosis
  • Tidak sampai > 30 menit.

Asuhan Keperawatan  TRAUMA BLADDER

A.    Definisi

Trauma tumpul atau penetrasi perlukaan pada bladder yang mungkin dapat/tidak dapat menyebabkan ruptur bladder. Trauma bladder sering berhubungan dengan kecelakaan mobil saat sabuk pengaman menekan bladder, khususnya bladder yang penuh.

B.     Etiologi dan faktor resiko

Kandung kencing yang penuh dengan urine dapat mengalami rupture oleh tekanan yang kuat pada perut bagian bawah. Cidera ini umumnya terjadi karena pemakaian sabuk pengaman pada klitis.

Manifestasi klinik

Trauma bladder selalu menimbulkan nyeri pada abdomen bawah dan hematuria. Jika klien mempunyai riwayat trauma pada abdomen, itu merupakan faktor predisposisi trauma bladder. Klien dapat menunjukkan gejala kesulitan berkemih.

Test diagnostik  pada trauma bladder meliputi IVP dengan lateral views atau CT scan saat bladder kosong dan penuh, atau csytogram. Jika darah keluar dari meatus, disrupsi uretral mungkin telah terjadi. Pada kasus ini, klien tidak boleh dikateterisasi sampai dilitis.

C.    Manifestasi klinik

Trauma bladder selalu menimbulkan nyeri pada abdomen bawah dan hematuria. Jika klien mempunyai riwayat trauma pada abdomen, itu merupakan faktor predisposisi trauma bladder. Klien dapat menunjukkan gejala kesulitan berkemih.

Test diagnostik  pada trauma bladder meliputi IVP dengan lateral views atau CT scan saat bladder kosong dan penuh, atau csytogram. Jika darah keluar dari meatus, disrupsi uretral mungkin telah terjadi. Pada kasus ini, klien tidak boleh dikateterisasi sampai disrupsi tersebut teratasi.

D.    Manajemen medis

Tindakan pertama pada trauma bladder adalah insersi kateter foley atau kateter suprapubik untuk memonitor hematuria dan menjaga agar bladder tetap kosong sampai sembuh. Cidera karena contusio atau perforasi kecil dapat diperbaiki dengan pembedahan.

E.     Manajemen keperawatan

Pengkajian terhadap klien yang dicurigai mengalami trauma bladder merupakan hal yang penting. Perawat harus selalu memonitor urine output klien untuk mengetahui jumlah atau adanya hematuria. Perawat harus mencatat penurunan urine output yang berhubungan dengan intake cairan klien. Insersi kateter harus dilakukan secara hati-hati pada klien yang dicurigai mengalami trauma bladder.

F.     Manajemen keperawatan pada klien bedah

Pada pasien post operative, perawat harus mempertahankan drainase urine untuk mencegah tekanan pada jaritan kandung kemih. Karena klien memakai cateter uretra atau suprapubik maka penting diberikan informasi kepada klien tentang perawatan kateter. Kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya harus ditingkatkan sehingga mampu merawat dirinya di rumah. Rujuk untuk perawatan setelah keteter dicabut. Berikan pula informasi mengenai latihan untuk memulihkan fungsi otot-otot kandung kemih.

b. TRAUMA URETRA

Uretra, sama seperti bladder, dapat mengalami cidera/trauma karena fraktur pelvic. Terjatuh dengan benda membentur selangkangan (stradle injury) dapat menyebabkan contusio dan laserasi pada uretra. Misalnya saat jatuh dari sepeda. Trauma dapat juga terjadi saat intervensi bedah. Luka tusuk dapat pula menyebabkan kerusakan pada uretra.

Kerusakan uretra ini diindikasikan bila pasien tidak mampu berkemih, penurunan pancaran urine, atau adanya darah pada meatus. Karena kerusakan uretra, saat urine melewati uretra, proses berkemih dapat menyebabkan ekstravasasi saluran urine yang menimbulkan pembengkakan pada scrotum atau area inguinal yang mana akan menyebabkan sepsis dan nekrosis. Darah mungkin keluar dari meatus dan mengekstravasasi jaringan sekitarnya sehingga menyebabkan ekimosis. Komplikasi dari trauma uretra adalah terjadinya striktur uretra dan resiko impotent. Impotensi terjadi karena corpora kavernosa penis, pembuluh darah, dan suplay syaraf pada area ini mengalami kerusakan.

Penatalaksanaan trauma uretra meliputi pembedahan dengan pemakaian kateter uretra atau suprapubik sebelum sembuh, atau pemasangan kateter uretra/suprapubik dan membiarkan urethra sembuh sendiri selama 2 – 3 minggu tanpa pembedahan. Selama periode tersebut pasien dimonitor untuk terjadinya infeksi atau ekstravasasi urine.

TRAUMA URETER

Lokasi ureter berada jauh di dalam rongga abdomen dan dilindungi oleh tulang dan otot, sehingga cidera ureter karena trauma tidak umum terjadi. Cidera pada ureter kebanyakan terjadi karena pembedahan. Perforasi dapat terjadi karena insersi intraureteral kateter atau instrumen medis lainnya. Luka tusuk dan tembak juga dapat juga membuat ureter mengalami trauma. Dan meskipun tidak umum, tumbukan atau decelerasi tiba-tiba seperti pada kecelakaan mobil dapat merusak struktur ureter. Tindakan kateterisasi ureter yang menembus dinding ureter atau pemasukan zat asam atau alkali yang terlalu keras dapat juga menimbulkan trauma ureter.

Trauma ini kadang tidak ditemukan sebelum manifestasi klinik muncul. Hematuria dapat terjadi, tapi indikasi umum adalah nyeri pinggang atau manifestasi ekstravasasi urine. Saat urine merembes masuk ke jaringan, nyeri dapat terjadi pada abdomen bagian bawah dan pinggang. Jika ekstravasasi berlanjut, mungkin terjadi sepsis, ileus paralitik, adanya massa intraperitoneal yang dapat diraba, dan adanya urine pada luka terbuka. IVP dan ultrasound diperlukan untuk mendiagnose trauma ureter ini. Pembedahan merupakan tindakan utama untuk memperbaiki kerusakan, mungkin dengan membuat anastomosis. Kadang-kadang prosedur radikal seperti uterostomy cutaneus, transureterotomy, dan reimplantasi mungkin dilakukan.

DIAGNOSA PERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL (Post operatif)

  1. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya stoma, aliran/rembesan urine dari stoma, reaksi terhadap produk kimia urine.
  2. Gangguan body image berhubungan dengan adanya stoma, kehilangan kontrol eliminasi urine, kerusakan struktur tubuh ditandai dengan menyatakan perubahan terhadap body imagenya, kecemasan dan negative feeling terhadap badannya.
  3. Nyeri berhubungan dengan disrupsi kulit/incisi/drains, proses penyakit (cancer/trauma), ketakutan atau kecemasan ditandai dengan menyatakan nyeri, kelelahan, perubahan dalam vital signs.
  4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan inadekuatnya pertahanan tubuh primer (karena kerusakan kulit/incisi, refluk urine).
  5. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan trauma jaringan, edema postoperative ditandai dengan urine output sedikit, perubahan karakter urine, retensi urine.
  6. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan struktur body dan fungsinya, response pasangan yang tidak adekuat, disrupsi respon seksual misalnya kesulitan ereksi.
  7. Deficit pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk menangkap informasi, misinterpretasi terhadap informasi ditandai dengan menyatakan miskonsepsi/misinterpretasi, tidak mampu mengikuti intruksi secara adekuat.

Glomerulonephritis akut

Nefritis atau peradangan ginjal, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering ditemui. Gejala utamanya adalah tampaknya elemen seperti albumin di dalam air seni. Kondisi ini disebut albuminuria. Sel-sel darah merah dan darah putih dan serpihan granular yang kesemuanya tampak dalam pemeriksaan mikroskopik pada air seni.

Gejala ini lebih sering nampak terjadi pada masa kanak-kanak dan dewasa dibanding pada orang-orang setengah baya. Bentuk yang paling umum dijumpai dari nefritis adalah glomerulonefritis. Seringkali terjadi dalam periode 3 sampai 6 minggu setelah infeksi streptokokus.

Penderita biasanya mengeluh tentang rasa dingin, demam, sakit kepala, sakit punggung, dan udema (bengkak) pada bagian muka biasanya sekitar mata (kelopak), mual dan muntah-muntah. Sulit buang air kecil dan air seni menjadi keruh.

Prognosis biasanya dapat menyembuhkan dan penderita sembuh total. Namun pada beberapa orang gejala ini berkembang menjadi kronis. Pada keadaan ini proses kerusakan ginjal terjadi menahun dan selama itu gejalanya tidak tampak. Akan tetapi pada akhirnya orang-orang tersebut dapat menderita uremia (darah dalam air seni.Red) dan gagal ginjal.

Ginjal merupakan salah satu organ paling vital dimana fungsi ginjal sebagai tempat membersihkan darah dari berbagai zat hasil metabolisme tubuh dan berbagai racun yang tidak diperlukan tubuh serta dikeluarkan sebagai urine dengan jumlah setiap hari berkisar antara 1-2 liter. Selain fungsi tersebut, ginjal berfungsi antara lain mempertahankan kadar cairan tubuh dan elektrolit (ion-ion), mengatur produksi sel-darah merah. Begitu banyak fungsi ginjal sehingga bila ada kelainan yang mengganggu ginjal, berbagai penyakit dapat ditimbulkan.

Glomerulonefritis merupakan berbagai kelainan yang menyerang sel-sel penyerang ginjal (sel glomerulus). Glomerulonefritis menahun adalah penyakit paling sering menimbulkan gagal ginjal dikemudian hari. Kelainan ini terjadi akibat gangguan utama pada ginjal (primer) atau sebagai komplikasi penyakit lain (sekunder), misalnya komplikasi penyakit diabetes mellitus, keracunan obat, penyakit infeksi dan lain-lain. Pada penyakit ini terjadi kebocoran protein atau kebocoran eritrosit

Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa. Sebagian besar glomerulonefritis bersifat kronik dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar tampak bersifat imunologis.Glomerulonefritis menunjukkan kelainan yang terjadi pada glomerulus,bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain seperti misalnya tubulus, jaringan interstitial maupun sistem vaskulernya.

Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. Hasil penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.

A. Definisi

Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis.

B. Etiologi

Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe 12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alas an timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina,diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik akut yang ditandai dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Gejala-gejala ini timbul setelah infeksi kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit. Glomerulonefritis akut pasca streptococcus terutama menyerang pada anak laki-laki dengan usia kurang dari 3 tahun. Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5 % diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga pencegahan dan pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan kejadian penyakit ini. Dengan perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit ini dapat dikurangi.
Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis, keracunan seperti keracunan timah hitam tridion, penyakitb amiloid, trombosis vena renalis, purpura anafilaktoid dan lupus eritematosus.

C. Patogenesis

Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut. Beberapa ahli mengajukan hipotesis sebagai berikut :

1.  Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.

2.  Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan auto-imun yang merusak glomerulus.

3.  Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis ginjal.

D. Klasifikasi

a.  Congenital (herediter)

1.  Sindrom Alport

Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya glomerulonefritis progresif familial yang seing disertai tuli syaraf dankelainan mata seperti lentikonus anterior. Diperkirakan sindrom alport merupakan penyebab dari 3% anak dengan gagal ginjal kronik dan 2,3% dari semua pasien yang mendapatkan cangkok ginjal. Dalam suatu penelitian terhadap anak dengan hematuria yang dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal, 11% diantaranya ternyata penderita sindrom alport. Gejala klinis yang utama adalah hematuria, umumnya berupa hematuria mikroskopik dengan eksasarbasi hematuria nyata timbul pada saat menderita infeksi saluran nafas atas. Hilangnya pendengaran secara bilateral dari sensorineural, dan biasanya tidak terdeteksi pada saat lahir, umumnya baru tampak pada awal umur sepuluh tahunan.

2.  Sindrom Nefrotik Kongenital
Sinroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum lahir. Gejala proteinuria massif, sembab dan hipoalbuminemia kadang kala baru terdeteksi beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian. Proteinuria terdapat pada hamper semua bayi pada saat lahir, juga sering dijumpai hematuria mikroskopis. Beberapa kelainan laboratories sindrom nefrotik (hipoproteinemia, hiperlipidemia) tampak sesuai dengan sembab dan tidak berbeda dengan sindrom nefrotik jenis lainnya.

b.  Glomerulonefritis Primer

1.  Glomerulonefritis membranoproliferasif

Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan gejala yang tidak spesifik, bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya menunjukkan gejala glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata dan sembab, sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala sindrom nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan bagian atas, sehingga penyakit tersebut dikira glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.

2.  Glomerulonefritis membranosa

Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau setelah pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus eritematosus sistemik. Glomerulopati membranosa jarang dijumpai pada anak, didapatkan insiden 2-6% pada anak dengan sindrom nefrotik. Umur rata-rata pasien pada berbagai penelitian berkisar antara 10-12 tahun, meskipun pernah dilaporkan awitan pada anak dengan umur kurang dari 1 tahun. Tidak ada perbedaan jenis kelamin. Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik merupakan 80% sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan hematuria terdapat pada 50-60%, dan hipertensi 30%.

3.  Nefropati IgA (penyakit berger)
Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis akut, sindroma nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada kasus dengan gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati IgA asimtomatis dan terdiagnosis karena kebetulan ditemukan hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria makroskopik biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau non infeksi misalnya olahraga dan imunisasi.

c.  Glomerulonefritis sekunder
Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu glomerulonefritis pasca streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah streptococcus beta hemolitikus grup A yang nefritogenik terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah. Glomerulonefritis pasca streptococcus datang dengan keluhan hematuria nyata, kadang-kadang disertai sembab mata atau sembab anasarka dan hipertensi.

E. Manifestasi Klinis

Penyakit ginjal biasanya dibagi menjadi kelainan glomerulus dan non glomerulus berdasarkan etiologi, histology, atau perubahan faal yang utama. Dari segi klinis suatu kelainan glomerulus yang sering dijumpai adalah hipertensi, sembab, dan penurunan fungsi ginjal. Meskipun gambaran klinis biasanya telah dapat membedakan berbagai kelainan glomerulus dan non glomerulus, biopsi ginjal masih sering dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis pasti.
Tanda utama kelainan glomerulus adalah proteinuria, hematuria, sembab, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal, yang dapat terlihat secara tersendiri atau secara bersama seperti misalnya pada sindrom nefrotik, gejala klinisnya terutama terdiri dari proteinuria massif dan hipoalbuminemia, dengan atau tanpa sembab.

Riwayat Penyakit
Sebagian besar anak dengan kelainan glomrulus menunjukkan proteinuria atau hematuria yang ditemukan pada saat pemeriksaan urine atau hipertensi yang ditemukan pada saat pemeriksaan fisik. Sebagian kecil pasien menunjukkan tanda sembab sebagai gejala awal, sehingga diperlukan perhatian riwayat penyakit pasien dan keluarganya.
Gejala yang sering ditemukan adalah hematuria atau kencing seperti merah daging, kadang-kadang disertai sembab ringan disekitar mata atau seluruh tubuh. Umumnya sembab berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan glomerulonefritis akut pada hari pertama, kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Hipertensi timbul karena vasospasme atau iskemia ginjal, suhu badan tidak tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama.
Riwayat yang spesifik pada anak dengan proteinuria, misalnya sembab periorbital, pratibial, skrotum atau anasarka pada sindroma nefrotik yang pada awalnya berupa sembab muka pada waktu bangun tidur dan menghilang pada siang hari, tetapi kemudian sembab akan menetap bila bertambah hebat atau menjadi anasarka. Hal ini sering dikira sebagai reaksi alergi, bertambahnya berat badan dengan cepat akibat ekspansi cairan ekstraseluler (dengan keluhan pakaian menjadi sempit atau perut buncit) jumlah urine berkurang. Pada kasus yang lebih berat terdapat anoreksia, sakit kepala, muntah dan bahkan kejang kadang disertai tanda penurunan fungsi ginjal seperti anoreksia, apatis, mudah lelah, lambat tumbuh, dan anemia.

Pemeriksaan Fisik
Pada pasien glomerulonefritis akut sangat dianjurkan untuk melakukan pengukuran berat dan tinggi badan, tekanan darah, adanya sembab atau asites. Melakukan pemeriksaan kemungkinan adanya penyakit sistemik yang berhubungan dengan kelainan ginjal seperti atritis, ruam kulit, gangguan kardiovaskular, paru dan system syaraf pusat.
Selama fase akut terdapat vasokonstriksi arteriola glomerulus yang mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi glomerulus juga berkurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat-zat lainnya berkurang dan sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin dalam darah meningkat. Fungsi tubulus relative kurang terganggu, ion natrium dan air diresorbsi kembali sehingga diuresis berkurang (timbul oliguria dan anuria) dan ekskresi natrium juga berkurang. Ureum diresorbsi kembali lebih dari pada biasanya, sehingga terjadi insufiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hidrema dan asidosis metabolik.

Pemeriksaan Laboratorium
Bila ditemukan proteinuria tersendiri (isolated proteinuria), hematuria mikroskopik atau ipertensi ringan pada anak yang tampak sehat, harus dilakukan evaluasi lebih lanjut. Hematuria mikroskopik dan hipertensi ringan biasanya hanya bersifat sementara. Hematuria nyata tanpa gejala lain biasanya berasal dari glomerulus dan bila telah diketahui adanya kelainan yang bermakna, harus segera dilakukan pemeriksaan selanjutnya.
Laju enap darah meninggi, kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air). Pada pemeriksaan urine didapatkan jumlah urine berkurang dan berat jenis urine meninggi. Hematuria makroskopik ditemukan pada 50% penderita, ditemukan juga adanya albumin, eritrosit leukosit, silinder leokosit dan hialin.
Albumin serum sedikit menurun demikian juga komplemen serum (globulin beta-1C) serta ureum dan kreatinin darah meningkat. Anemia sering dijumpai pada gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronik. Hematuria harus diukur pada semua anak. Sebanyak 90% anak dengan glomerulonefritis akut menunjukkan peningkatan streptozim dan penurunan komplemen C3. Kadar C3 biasanya normal kembali dalam waktu 4-8 minggu dan steptozim dalam waktu 4-6bulan. Uji fungsi ginjal normal pada 50% penderita.
Biopsi ginjal diperlukan untuk menegakkan diagnosis penyakit glomerulus, sebelum biopsy dilakukan pengukuran besar ginjal dan strukturnya untuk memastikan adanya dua buah ginjal dan menyingkirkan kemungkinan tumor dan kelainan lain yang merupakan indikasi kontra biopsy ginjal.

F. Pengobatan

Pengobatan terpenting adalah suportif, hipertensi dapat diatasi secara efektif dengan vasodilator perifer (hidralasin, nifedipin). Diuretik diperlukan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. Sebagian pasien hanya memerlukan terapi anti hipertensi jangka pendek (beberapa hari sampai beberapa minggu). Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedative untuk menenangkan pasien sehingga dapat cukup beristirahat. Pasien dengan gejala encelopati hipertensif memerlukan terapi anti hipertensi yang agresif, diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgBB secara intramuskuler. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian maka selanjutnya reserpin diberikan per oral dengan dosis 0,03 mg/kgBB/hari.
Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialysis peritoneum atau hemodialisis. Diuretikum dulu tidak diberikan pada glomeruloefritis akut tetapi akhir-akhir ini pemberian furosemid (lasix) 1mg/kgBB/kali secara intra vena dalam 5-10 menit berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
Pemberian penicillin pada fase akut akan mengurangi menyebarnya infeksi streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian antibiotika ini dianjurkan hanya untuk 10 hari. Pasien glomerulonefritis akut dengan gagal ginjal akut memerlukan terapi yang tepat, pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kortikosteroid dan imunosupresan tidak diberikan oleh karena tidak terbukti berguna untuk pengobatan.
Pada Fase akut diberikan makanan rendah protein (1g/kgBB/hari) dan rendah garam (1g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi, dan oliguria maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.

G. Komplikasi

  1. Glomerulonefritis kronik sebagai kelanjutan dari glomerulonefritis akut yang tidak mendapat pengobatan secara tuntas.
  2. Gagal ginjal akut dengan manifestasi oliguria sampai anuria yang dapat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufiiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hiperkalemia. Walaupun oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, jika hal ini terjadi diperlukan peritoneum dialysis (bila perlu).
  3. Enselopati hipertensi merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan karena spasme pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak.
  4. Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya ronkhi basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang buka saja disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
  5. Anemia yang timbul karena adanya hipovolemia disamping sintesis eritropoetik yang menurun.

H. Prognosis

Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% diantaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal(ureum dan kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu.
Potter dan kawan-kawan menemukan kelainan sediment urine yang menetap (proteinuria dan hematuria) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di Trinidad.Gejala fisis menghilang dalam minggu ke 2 atau ke 3, kimia darah menjadi normal pada minggu ke 2 dan hematuria mikroskopik atau makroskopik dapat menetap selama 4-6 minggu. LED meninggi terus sampai kira-kira 3 bulan, protein sedikit dalam urine dan dapat menetap untuk beberapa bulan.
Eksaserbasi kadang-kadang terjadi akibat infeksi akut selama fase penyembuhan, tetapi umumnya tidak mengubah proses penyakitnya. Penderita yang tetap menunjukkan kelainan urine selama 1 tahun dianggap menderita penyakit glomerulonefritis kronik, walaupun dapat terjadi penyembuhan sempurna. LED digunakan untuk mengukur progresivitas penyakit ini, karena umumnya tetap tinggi pada kasus-kasus yang menjadi kronis. Diperkirakan 95 % akan sembuh sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari penyakit ini dan 2% menjadi glomerulonefritis kronis.

DAFTAR PUSTAKA

Staf Pengajar IKA UI., Ilmu Kesehatan Anak. Buku 2, Jakarta, Fak Kedokteran UI., 1985

1.  Staf Pengajar IKA UGM., Standar Pelayanan Medis RSUP DR. SARDJITO., Yogyaskarta , Fak Kedokteran UGM, 1999

2.  Dr.Merdias Alinatsir, Buku Saku Segi-Segi Praktis IKA, Jakarta, 1984

3.  Ikatan Dokter Anak Indonesia, Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2, Jakarta, 2002

4.  Staf Pengajar IKA UI, Standar Pelayanan Medis IDAI, Jakarta, 2004

5.  Mansjoer dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Jakarta, 2000

6.  Nini Soemyarso dan kawan kawan, lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RSU Dr.Soetomo, Surabaya. http://www.yahoo.com

  1. A. PENGERTIAN

Meningitis adalah radang dari selaput otak (arachnoid dan piamater). Bakteri dan virus merupakan penyebab utama dari meningitis.

  1. B. ETIOLOGI

Meningitis disebabkan oleh berbagai macam organisme, tetapi kebanyakan pasien dengan meningitis mempunyai faktor predisposisi seperti fraktur tulang tengkorak, infeksi, operasi otak atau sum-sum tulang belakang. Seperti disebutkan diatas bahwa meningitis itu disebabkan oleh virus dan bakteri, maka meningitis dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : meningitis purulenta dan meningitis serosa.

Meningitis Bakteri

Bakteri yang paling sering menyebabkan meningitis adalah haemofilus influenza, Nersseria,Diplokokus pnemonia, Sterptokokus group A, Stapilokokus Aurens, Eschericia colli, Klebsiela dan Pseudomonas. Tubuh akan berespon terhadap bakteri sebagai benda asing dan berespon dengan terjadinya peradangan dengan adanya neutrofil, monosit dan limfosit. Cairan eksudat yang terdiri dari bakteri, fibrin dan lekosit terbentuk di ruangan subarahcnoid ini akan terkumpul di dalam cairan otak sehingga dapat menyebabkan lapisan yang tadinya tipis menjadi tebal. Dan pengumpulan cairan ini akan menyebabkan peningkatan intrakranial. Hal ini akan menyebabkan jaringan otak akan mengalami infark.

Meningitis Virus

Tipe dari meningitis ini sering disebut aseptik meningitis. Ini biasanya disebabkan oleh berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, seperti; gondok, herpez simplek dan herpez zoster. Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh koteks cerebri dan lapisan otak. Mekanisme atau respon dari jaringan otak terhadap virus bervariasi tergantung pada jenis sel yang terlibat.

  1. C. MANIFESTASI KLINIS
  • Tergantung pada luasnya penyebaran dan umur anak
  • Dipengaruhi oleh type  dari organisme keefektifan dari terapi

CHILDREN AND ADOLESCENT

  • Sakitnya tiba-tiba, adanya demam, sakit kepala, panas dingin, muntah, kejang-kejang
  • Anak menjadi irritable dan agitasi dan dapat  berkembang photopobia, delirium, halusinasi, tingkah laku yang agresif atau mengantuk stupor dan koma
  • Gejala pada respiratory atau gastrointestinal
  • Adanya tahanan pada kepala jika difleksikan
  • Kekakuan pada leher (Nuchal Rigidity)
  • Tanda kernig dan brudzinki (+)
  • Kulit dingin dan sianosis
  • Peteki/adannya purpura pada kulit à infeksi meningococcus (meningo cocsemia)
  • Keluarnya cairan dari telinga à meningitis peneumococal
  • Congenital dermal sinus à infeksi E. Colli

INFANT AND CHILDREN

  • Manifestasi klinisnya biasanya tampak pada anak umur 3 bulan sampai 2 tahun
  • Adanya demam, nafsu makan menurun, muntah, iritabel, mudah lelah dan kejang-kejang, dan menangis meraung-raung.
  • Fontanel menonjol
  • Nuchal Rigidity à tanda-tanda brudzinki dan kernig dapat terjadi namun lambat

NEONATUS

  • Sukar untuk diketahui à manifestasinya tidak jelas dan tidak spesifik

à ada kemiripan dengan anak yang lebih tua, seperti:

  • Menolak untuk makan
  • Kemampuan menelan buruk
  • Muntah dan kadang-kadang ada diare
  • Tonus otot lemah, pergerakan melemah dan kekuatan menangis melemah
  • Hypothermia/demam, joundice, iritabel, mengantuk, kejang-kejang, RR yang tidak teratur/apnoe, sianosis dan kehilangan BB.
  • Ketegangan , fontanel menonjol mungkin ada atau tidak
  • Leher fleksibel
  • Kolaps kardiovaskuler, kejang-kejang dan apnoe terjadi bila tidak diobati/ditangani

D. WOC

Invasi kuman ke selaput otak

Gangguan fungsi sistem regulasi                                              Peningkatan TIK

Hipertemia                                        Gangguan persefsi      Gangguan kesadaran

↓                                                           sensori                               ↓

Gangguan metabolisme otak      Gangguan rasa                                   Gangguan mobilitas

↓                                nyaman                                                       fisik

Perubahan keseimbangan

dan sel netron

Difusi ion kalium dan natrium                 Gangguan perfusi

↓                                              jaringan

Lepas muatan listrik

Kejang

Berkurangnya koordinasi otot

Resiko trauma fisik

Cemas (ortu)

  1. D. PEMERIKSAAN
    1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan otak. Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan tintra kranial. Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi glukosa. Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya meningkat diatas nilai normal. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi. Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.

  1. Pemeriksaan Radiografi

CT-Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah

  1. Lumbal pungsi
    1. Cairannya  diukur dan diambil sample untuk mendapatkan culture, gram stain, jumlah sel darah merah dan untuk mengetahui adanya glukosa  dan protein
    2. Culture dan stain à mengidentifikasi organisme penyebab
    3. Jumlah sel darah merah meningkat
    4. Glukosa menurun
    5. Kensentrasi protein meningkat
    6. Culture darah
    7. Culture hidung dan tenggorokan

  1. E. PENCEGAHAN

Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor presdis posisi seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana dapat menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan tuntas (antibiotik) walaupun gejala-gejala infeksi tersebut telah hilang.

Setelah terjadinya meningitis penanganan yang sesuai harus cepat diatasi. Untuk mengidentifikasi faktor atau janis organisme penyebab dan dengan cepat memberikan terapi sesuai dengan organisme penyebab untuk melindungi komplikasi yang serius.

  1. F. KOMPLIKASI
    1. Dapat dikurangi dikurangi dengan diagnosis yang awal dan pemberian terapi antimikrobial dengan cepat.
    2. Bila infeksi meluas ke ventrikel, pus yang banyak (kental), adanya penekatan pada  bagian yang sempit à obstruksi cairan cerebrospinal à hydrocephalus
    3. Perubahan yang dekstruktif ada pada kortex serebral dan adanya abses otak à infeksi langsung. Atau melalui penyebaran pembuluh darah.
    4. Ketulian, kebutaan, kelemahan/paralysis dari otot-otot wajah atau otot-otot yang lain pada kepala dan leher à penyebaran infeksi pada daerah syaraf cranial
    5. Kompl;ikasi yang serius biasanya diakibatkan oleh infeksi : meningococcal sepsis atau meningococcemia
    6. Syndrom water haouse-Friderichsen
  • Overwhelming septic shock
  • DIC
  • Perdarahan
  • Purpura
  1. SIADH, subdural effusion, kejang-kejang, edema serebral, herniasi dan hydrocephalus.
  2. Komplikasi post meningitis pada neonatus:
  • Ventriculitis (yang menghasilkan  kista, daerah yang dibatasi oleh akumulasi cairan dan tekanan pada otak)
  • Gangguan yang menetap dan penglihatan, pendengaran dan kelemahan nervus yang lain
  • Cerebral palsy, cacat mental, gangguan belajar, penurunan perhatian, gangguan hiperaktivitas dan adanya kejang.
  • Hemiparesis dan quadriparesis à arthritis/thrombosis

G. ASUHAN KEPERAWATAN

  1. Identitas

Umur                  :  dapat menyerang semua kelompok umur.

Jenis Kelamin     :  tidak terdapat perbedaan.

Status ekonomi  : sering terjadi keadaan nutrisi yang buruk, karena faktor ekonomi.

Lingkungan tempat tinggal yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan menunjang juga terjadinya penyakit ini.

  1. Riwayat Keperawatan
    1. a.    Keluhan Utama.

Kejang-kejang dapat disertai dengan penurunan kesadaran,tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial  (kaku            kuduk,.

  1. Riwayat Penyakit Sekarang

Anak menjadi lesu atau terjadi kelemahan secara umum, nyeri ekstremitas, mudah terangsang/irritable, demam (39°- 41°C), nafsu makan menurun, muntah-muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, pucat, gelisah,

  1. c.    Riwayat Penyakit Dahulu

Anak pernah menderita penyakit yan disebabkan oleh virus, seperti virus influenza, varisella,adenovirus, coxsachie, echovirus atau parainfluenza, infeksi bakteri, parasit satu sel, cacing, fungus, riketsia.

  1. Riwayat Penyakit Keluarga

Anggota keluarga ada yang menderita penyakit yang dapat menular kepada anak.

3. Riwayat Tumbuh Kembang

Anak usia todler adalah masa anak mulai berjalan dan merupakan masa yang paling hebat dalam tumbuh kembang, yaitu pada usia 12-36 bulan. Pada usia ini anak mengeksplorasi secara giat tentang lingkungannya sepereti berusaha mengetahui bagaimana sersuatu bekerja, apa kata-kata dan bagaimana mengontrolnya dengan tuntunan, negativisme dan berkeras kepala.

Masa ini merupkan masa yang penting terhadap perkembangan kepandaian dan pertumbuhan intelektual.

Perkembangan Biologis.

Rata-rata penambahan berat badan sekitar 1,8 – 2,7 kg atau kurang lebih 2,5 kg/tahun. Pada usia 2 tahun rata-rata BB 12 kg dan pada usia 2,5 tahun menjadi 4 kali berat badan waktu lahir. Penambahan TB juga melambat kurang lebih 7,5 cm/tahun.

Perekembangan fungsi Mental/intelektual mulai lahir – 2 tahun.

Pada masa ini  anak berkembang dari aktif refleks ke pengulangan tingkah laku sederhana, anak juga mulai merasakan penyebab sesuatu dan akibatnya. Keingintahuan anak besar dan memcoba memperoleh kesenangan. Dan mulai menyadari dirinya dan obyek yang menarik diluar dirinya. Pada tahap akhir dari masa ini kemampuan bahasa  anak mulai berkembang.

Perkembangan Psikososial/Emosional

Bayi setelah lahir tidak berdaya terhadap lingkungannya, sehingga ia harus dibantu untuk mempertahankan hidupnya, seperti sewaktu masih dalam kandungan dimana hidupnya secara teratur dan nyaman serta semua kebutuhannya dipenuhi.

4. Pola-pola Fungsi Kesehatan

  1. Pola persepsi dan tatlaksana hidup sehat

Riwayat imunisasi yang telah diberikan

  1. Pola Nutrisi dan Metabolisme

Terjadi perubahan dalam kebiasaan atau jenis makanan yang diberikan akibat dari kondisi penyakitnya

  1. Pola Eliminasi

Terjadi perubahan dari karakteristik faeses dan urine (warna , konsistensi, bau), dapat terjadi inkontinensia atau retensi dari urin atau alvi, nyeri tekan abdomen.

  1. Pola Tidur dan Istirahat

Anak menjadi mudah terangsang/irritable, terjadi kejang spastik, penurunan kesadaran (apatis-koma).

  1. Pola Aktivitas

Dapat ditemukan gerakan-gerakan yang involunter, hipotonia, keterbatasan dalam rentang gerak, ataksia, kelumpuhan, masalah dalam hal berjalan atau keterbatsan akibat dari kondisi penyakitnya.

  1. Pola Hubungan dan Peran

Terjadi perubahan status mental sehingga

  1. Pola Persepsi dan Konsep diri

Pada anak usia Toddler tidak dapat diikuti

  1. Pola Sensori dan Kognitif

Pada anak usia toddler dengan keadaan terjadi penurunan tingkat kesadaran terjadi penurunan status mental, bisa terjadi letargi sampai kebingungan yang sangat berat hinggga koma, delusi atau halusinasi/psikosis organik.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial

2. Resiko terjadi kejang ulang berhubungan dengan hipertermi.

3. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi

4. Resiko terjadinya injuri sehubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran

5. Kurangnya pengetahuan keluarga sehubungan keterbataaan informasi

I. INTERVENSI

1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial

Tujuan

  • Pasien kembali pada,keadaan status neurologis sebelum sakit
  • Meningkatnya kesadaran pasien dan fungsi sensoris

Kriteria hasil

  • Tanda-tanda vital dalam batas normal
  • Rasa sakit kepala berkurang
  • Kesadaran meningkat
  • Adanya peningkatan kognitif dan tidak ada atau hilangnya tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat.

Rencana Tindakan

INTERVENSI RASIONALISASI
Pasien bed rest total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal Perubahan pada tekanan intakranial akan dapat meyebabkan resiko untuk terjadinya herniasi otak
Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS. Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjt
Monitor tanda-tanda vital seperti TD, Nadi, Suhu, Resoirasi dan hati-hati pada hipertensi sistolik Pada keadaan normal autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler cerebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diiukuti oleh penurunan tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.
Monitor intake dan output Hipertermi dapat menyebabkan peningkatan IWL dan meningkatkan resiko dehidrasi terutama pada pasien yang tidak sadra, nausea yang menurunkan intake per oral
Bantu pasien untuk membatasi muntah, batuk. Anjurkan pasien untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat tidur. Aktifitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau merubah posisi dapat melindungi diri dari efek valsava
Kolaborasi

Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.

Meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan tekanan intrakranial, vetriksi cairan dan cairan dapat menurunkan edema cerebral

Monitor AGD bila diperlukan pemberian oksigen Adanya kemungkinan asidosis disertai dengan pelepasan oksigen pada tingkat sel dapat menyebabkan terjadinya iskhemik serebral
Berikan terapi sesuai advis dokter seperti: Steroid, Aminofel, Antibiotika. Terapi yang diberikan dapat menurunkan permeabilitas kapiler.

Menurunkan edema serebri

Menurunka metabolik sel / konsumsi dan kejang.

2. Resiko terjadi kejang ulang berhubungan dengan hipertermi.

Tujuan : Klien tidak mengalami kejang selama berhubungan dengan hiperthermi

Kriteria hasil             :

  • Tidak terjadi serangan kejang ulang.
  • Suhu 36,5 – 37,5 º C (bayi), 36 – 37,5 º C (anak)
  • Nadi 110 – 120 x/menit (bayi)

100-110 x/menit (anak)

  • Respirasi 30 – 40 x/menit (bayi)

24 – 28 x/menit (anak)

  • Kesadaran composmentis

Rencana Tindakan :

INTERVENSI RASIONALISASI
Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat.
Berikan kompres dingin perpindahan panas secara konduksi
Berikan ekstra cairan (susu, sari buah, dll) saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat
Observasi kejang  dan tanda vital tiap 4 jam Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan
Batasi aktivitas selama anak panas aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas
Berikan anti piretika dan pengobatan sesuai advis Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis

3. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi.

Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi

Kriteria hasil :

  • Suhu tubuh 36 – 37,5º C, N ; 100 – 110 x/menit,
  • RR : 24 – 28 x/menit, Kesadaran composmentis, anak tidak rewel.

Rencana Tindakan :

INTERVENSI RASIONALISASI
Kaji faktor – faktor terjadinya hiperthermi mengetahui penyebab terjadinya hiperthermi karena penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu tubuh
Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan keperawatan yang selanjutnya.
Pertahankan suhu tubuh normal suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan, kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh
Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara
Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap keringat
Atur sirkulasi udara ruangan Penyediaan udara bersih
Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat
Batasi aktivitas fisik aktivitas meningkatkan metabolismedan meningkatkan panas

4. Resiko terjadinya injuri sehubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran

Tujuan:

Pasien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran

Rencana Tindakan

INTERVENSI RASIONALISASI
Independent

monitor kejang pada tangan, kaki, mulut dan otot-otot muka lainnya

Gambaran tribalitas sistem saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat pasien. Melindungi pasien bila kejang terjadi
Pertahankan bedrest total selama fae akut Mengurangi resiko jatuh / terluka jika vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi

Berikan terapi sesuai advis dokter seperti; diazepam, phenobarbital, dll.

Untuk mencegah atau mengurangi kejang.

Catatan : Phenobarbital dapat menyebabkan respiratorius depresi dan sedasi.

5. Kurangnya pengetahuan keluarga sehubungan keterbataaan informasi.

Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.

Kriteria hasil:

  • Keluarga tidak sering bertanya tentang  penyakit anaknya.
  • Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.
  • keluarga mentaati setiap proses keperawatan.

Rencana Tindakan :

INTERVENSI RASIONALISASI
Kaji tingkat pengetahuan keluarga Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran informasi yang didapat
Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan keluarga
Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan
Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang, antara lain :

1.  Jangan panik saat kejang

2.  Baringkan anak ditempat rata dan lembut.

3.  Kepala dimiringkan.

4.  Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu dimasukkan ke mulut.

5.  Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat tunggu sampai keadaan tenang.

6.  Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak minum

sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri dalam mengatasi masalah kesehatan
Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak panas mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang
Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan menghindari orang atau teman yang menderita penyakit menular sehingga tidak mencetuskan kenaikan suhu sebagai upaya preventif serangan ulang
Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar memberitahukan kepada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah menderita kejang demam imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang demam

Oleh: Harry wahyudhy Utama, S.ked

I.1 Definisi
Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial 1,2,3,4
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya. 1,2,5

I.2 Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh. Tetapi, rumah sakit selain untuk mencari kesembuhan, juga merupakan depot bagi berbagai macam penyakit yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier. Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit, seperti; udara, air, lantai, makanan dan benda-benda medis maupun non medis. Terjadinya infeksi nosokomial akan menimbulkan banyak kerugian, antara lain :
• lama hari perawatan bertambah panjang
• penderitaan bertambah
• biaya meningkat
Dari hasil studi deskriptif Suwarni, A di semua rumah sakit di Yogyakarta tahun 1999 menunjukkan bahwa proporsi kejadian infeksi nosokomial berkisar antara 0,0% hingga 12,06%, dengan rata-rata keseluruhan 4,26%. Untuk rerata lama perawatan berkisar antara 4,3 – 11,2 hari, dengan rata-rata keseluruhan 6,7 hari. Setelah diteliti lebih lanjut maka didapatkan bahwa angka kuman lantai ruang perawatan mempunyai hubungan bermakna dengan infeksi nosokomial.8
Selama 10-20 tahun belakang ini telah banyak perkembangan yang telah dibuat untuk mencari masalah utama terhadap meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial di banyak negara, dan dibeberapa negara, kondisinya justru sangat memprihatinkan. Keadaan ini justru memperlama waktu perawatan dan perubahan pengobatan dengan obat-obatan mahal, serta penggunaan jasa di luar rumah sakit. Karena itulah, dinegara-negara miskin dan berkembang, pencegahan infeksi nosokomial lebih diutamakan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan pasien dirumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.7
Di beberapa bagian, terutama di bagian penyakit dalam dalam, terdapat banyak prosedur dan tindakan yang dilakukan baik untuk membantu diagnosa maupun memonitor perjalanan penyakit dan terapi yang dapat menyebabkan pasien cukup rentan terkena infeksi nosokomial. Pasien dengan umur tua, berbaring lama, atau beberapa tindakan seperti prosedur diagnostik invasif, infus yang lama dan kateter urin yang lama, atau pasien dengan penyakit tertentu yaitu penyakit yang memerlukan kemoterapi, dengan penyakit yang sangat parah, penyakit keganasan, diabetes, anemia, penyakit autoimun dan penggunaan imuno supresan atau steroid didapatkan bahwa resiko terkena infeksi lebih besar.2.,3,5
Sumber penularan dan cara penularan terutama melalui tangan dan dari petugas kesehatan maupun personil kesehatan lainnya, jarum injeksi, kateter iv, kateter urin, kasa pembalut atau perban, dan cara yang keliru dalam menangani luka. Infeksi nosokomial ini pun tidak hanya mengenai pasien saja, tetapi juga dapat mengenai seluruh personil rumah sakit yang berhubungan langsung dengan pasien maupun penunggu dan para pengunjung pasien.4
I.3 Epidemiologi
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0%.3
Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat pesat pada 3 dekade terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi semakin meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit immunocompromised, bakteri yang resisten antibiotik, super infeksi virus dan jamur, dan prosedur invasif, masih menyebabkan infeksi nosokomial menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus setiap tahunnya walaupun.4
Selain itu, jika kita bandingkan kuman yang ada di masyarakat, mikroorganisme yang berada di rumah sakit lebih berbahaya dan lebih resisten terhadap obat, karena itu diperlukan antibiotik yang lebih poten atau suatu kombinasi antibiotik. Semua kondisi ini dapat meningkatkan resiko infeksi kepada si pasien.2,3,5

BAB II
ISI

II.1 Faktor Penyebab Perkembangan Infeksi Nosokomial

II.1.1 Agen Infeksi

Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia rawat di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada:3
• karakteristik mikroorganisme,
• resistensi terhadap zat-zat antibiotika,
• tingkat virulensi,
• dan banyaknya materi infeksius.

Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal.3

1. Bakteri

Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat. Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli paling banyak dijumpai sebagai penyebab infeksi saluran kemih.
Bakteri patogen lebih berbahaya dan menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya :
• Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan gangren
• Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung dapat menyebabkan gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi pembuluh darah serta seringkali telah resisten terhadap antibiotika.
• Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering sekali ditemukan di air dan penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram negatif ini bertanggung jawab sekitar setengah dari semua infeksi di rumah sakit.
• Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius pada luka bekas jahitan, paru, dan peritoneum.

2. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai macam virus, termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi. Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang ditularkan dari kontak tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rute penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme lainnya. Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, penyakit kulit dan dari darah. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan.3,11

3. Parasit dan Jamur
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke orang dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat antibiotika bakteri dan obat immunosupresan, contohnya infeksi dari Candida albicans, Aspergillus spp, Cryptococcus neoformans, Cryptosporidium.

II.1.2 Respon dan toleransi tubuh pasien
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh pasien dalam hal ini adalah: 3,9
• Umur
• status imunitas penderita
• penyakit yang diderita
• Obesitas dan malnutrisi
• Orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan dan steroid
• Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi.

Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi.3,9

Tabel 1. Resiko terjadinya infeksi nosokomial pada pasien
Resiko infeksi Tipe pasien
Minimal Tidak immunocompromised, tidak ditemukan terpapar suatu penyakit
Sedang Pasien yang terinfeksi dan dengan beberapa faktor resiko
Berat Pasien dengan immunocompromised berat, (5 µm. Contohnya bacterial meningitis, dan diphtheria memerlukan hal sebagai berikut; Ruangan tersendiri untuk tiap pasiennya. Masker untuk petugas kesehatan. Pembatasan area bagi pasien; pasien harus memakai masker jika meninggalkan ruangan.

4 Infection by direct or indirect contact
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit dan baju, seperti golongan staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan yang diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis dan HIV. Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya cross infection.3,9

II.1.4 Resistensi Antibiotika
Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun 1950-1970, banyak penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan disembuhkan. Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan penggunaan berlebihan dan pengunsalahan dari antibiotika. Banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten. Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama terhadap pasien yang immunocompromised. Resitensi dari bakteri di transmisikan antar pasien dan faktor resistensinya di pindahkan antara bakteri. Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini justru meningkatkan multipikasi dan penyebaran strain yang resistan. Penyebab utamanya karena:
• Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol
• Dosis antibiotika yang tidak optimal
• Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat
• Kesalahan diagnosa

Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen yang resisten terhadap antibiotika, mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman terhadap obat-obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-besaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi. Banyak strains dari pneumococci,
staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten terhadap banyak antibiotikaa, begitu juga klebsiella dan pseudomonas aeruginosa juga telah bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat nyata terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana antibiotika lini kedua belum ada atau tidak tersedia.
Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit, dan menjadi sangat penting karena:
• Meningkatnya jumlah penderita yang dirawat
• Seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur
• Mikororganisme yang baru (mutasi)
• Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika

II.1.5 Faktor alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial tertama disebabkan infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti. Diruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi. Komplikasi tersebut berupa:3,5
Ekstravasasi infiltrat : cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi kanula
Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa dapat dideteksi adanya gangguan lain
Flebitis : Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang vena
Trombosis : Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena yang menghambat aliran infus
Kolonisasi kanul : Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian kanula yang ada dalam pembuluh darah
Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen dari kanul
Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul

Beberapa faktor dibawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan pronsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia.

II.2 Macam penyakit yang disebabkan oleh infeksi nosokomial
II.2.1 Infeksi saluran kemih
Infeksi ini merupakan kejadian tersering, sekitar 40% dari infeksi nosokomial, 80% infeksinya dihubungkan dengan penggunaan kateter urin. Walaupun tidak terlalu berbahaya, tetapi dapat menyebabkan terjadinya bakteremia dan mengakibatkan kematian. Organisme yang biaa menginfeksi biasanya E.Coli, Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, atau Enterococcus. Infeksi yang terjadi lebih awal lebih disebabkan karena mikroorganisme endogen, sedangkan infeksi yang terjadi setelah beberapa waktu yang lama biasanya karena mikroorganisme eksogen.4,9,11
Sangat sulit untuk dapat mencegah penyebaran mikroorganisme sepanjang uretra yang melekat dengan permukaan dari kateter. Kebanyakan pasien akan terinfeksi setelah 1-2 minggu pemasangan kateter. Penyebab paling utama adalah kontaminasi tangan atau sarung tangan ketika pemasangan kateter, atau air yang digunakan untuk membesarkan balon kateter. Dapat juga karena sterilisasi yang gagal dan teknik septik dan aseptik.9

II.2.2 Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial dapat muncul, terutama pasien yang menggunakan ventilator, tindakan trakeostomi, intubasi, pemasangan NGT, dan terapi inhalasi. Kuman penyebab infeksi ini tersering berasal dari gram negatif seperti Klebsiella,dan Pseudomonas. Organisme ini sering berada di mulut, hidung, kerongkongan, dan perut. Keberadaan organisme ini dapat menyebabkan infeksi karena adanya aspirasi oleh organisme ke traktus respiratorius bagian bawah.3,9
Dari kelompok virus dapat disebabkan olehcytomegalovirus, influenza virus, adeno virus, para influenza virus, enterovirus dan corona virus. 11
Faktor resiko terjadinya infeksi ini adalah:9
• Tipe dan jenis pernapasan
• Perokok berat
• Tidak sterilnya alat-alat bantu
• Obesitas
• Kualitas perawatan
• Penyakit jantung kronis
• Penyakit paru kronis
• Beratnya kondisi pasien dan kegagalan organ
• Tingkat penggunaan antibiotika
• Penggunaan ventilator dan intubasi
• Penurunan kesadaran pasien

Penyakit yang biasa ditemukan antara lain: respiratory syncytial virus dan influenza. Pada pasien dengan sistem imun yang rendah, pneumonia lebih disebabkan karena Legionella dan Aspergillus. Sedangkan dinegara dengan prevalensi penderita tuberkulosis yang tinggi, kebersihan udara harus sangat diperhatikan.

II.2.3 Bakteremi Nosokomial
Infeksi ini hanya mewakili sekitar 5 % dari total infeksi nosokomial, tetapi dengan resiko kematian yang sangat tinggi, terutama disebabkan oleh bakteri yang resistan antibiotika seperti Staphylococcus dan Candida. Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat seperti jarum suntik, kateter urin dan infus.
Faktor utama penyebab infeksi ini adalah panjangnya kateter, suhu tubuh saat melakukan prosedur invasif, dan perawatan dari pemasangan kateter atau infus.

II.2.4 Infeksi Nosokomial lainnya
1. Tuberkulosis11
Penyebab utama adalah adanya strain bakteri yang multi- drugs resisten. Kontrol terpenting untuk penyakit ini adalah identifikasi yang baik, isolasi, dan pengobatan serta tekanan negatif dalam ruangan.
2. diarrhea dan gastroenteritis11
Mikroorganisme tersering berasal dari E.coli, Salmonella, Vibrio Cholerae dan Clostridium. Selain itu, dari gologan virus lebih banyak disebabkan oleh golongan enterovirus, adenovirus, rotavirus, dan hepatitis A. Bedakan antara diarrhea dan gastroenteritis. Faktor resiko dari gastroenteritis nosokomial dapat dibagi menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
• Faktor intrinsik:
o abnormalitas dari pertahanan mukosa, seperti achlorhydria
o lemahnya motilitas intestinal, dan
o perubahan pada flora normal.
• Faktor ekstrinsik:
Pemasangan nasogastric tube dan mengkonsumsi obat-obatan saluran cerna.
3. Infeksi pembuluh darah11
Infeksi ini sangat berkaitan erat dengan penggunaan infus, kateter jantung dan suntikan. Virus yang dapat menular dari cara ini adalah virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan HIV.
Infeksi ini dibagi menjadi dua kategori utama:
• Infeksi pembuluh darah primer, muncul tanpa adanya tanda infeksi sebelumnya, dan berbeda dengan organisme yang ditemukan dibagian tubuhnya yang lain
• Infeksi sekunder, muncul sebagai akibat dari infeksi dari organisme yang sama dari sisi tubuh yang lain.
4. Dipteri, tetanus dan pertusis11
• Corynebacterium diptheriae, gram negatif pleomorfik, memproduksi endotoksin yang menyebabkan timbulnya penyakit, penularan terutama melalui sistem pernafasan.
• Bordetella Pertusis, yang menyebabkan batuk rejan. Siklus tiap 3-5 tahun dan infeksi muncul sebanyak 50 dalam 100% individu yang tidak imun.
• Clostridium tetani, gram positif anaerobik yang menyebabkan trismus dan kejang otot.

Infeksi kulit dan jaringan lunak. Luka terbuka seperti ulkus, bekas terbakar, dan luka bekas operasi memperbesar kemungkinan terinfeksi bakteri dan berakibat terjadinya infeksi sistemik. Dari golongan virus yaitu herpes simplek, varicella zooster, dan rubella. Organisme yang menginfeksi akan berbeda pada tiap populasi karena perbedaan pelayanan kesehatan yang diberikan, perbedaan fasilitas yang dimiliki dan perbedaan negara yang didiami.
Infeksi ini termasuk:1
• Infeksi pada tulang dan sendi
Osteomielitis, infeksi tulang atau sendi dan discus vertebralis
• Infeksi sistem Kardiovaskuler
Infeksi arteri atau vena, endokarditis, miokarditis, perikarditis dan mediastinitis
• Infeksi sistem saraf pusat
Meningitis atau ventrikulitis, absess spinal dan infeksi intra kranial
• Infeksi mata, telinga, hidung, dan mulut
Konjunctivitis, infeksi mata, otitis eksterna, otitis media, otitis interna, mastoiditis, sinusitis, dan infeksi saluran nafas atas.
• Infeksi pada saluran pencernaan
Gastroenteritis, hepatitis, necrotizing enterocolitis, infeksi intra abdominal
• Infeksi sistem pernafasan bawah
Bronkhitis, trakeobronkhitis, trakeitis, dan infeksi lainnya
• Infeksi pada sistem reproduksi
Endometriosis dan luka bekas episiotomi

II.3 Pencegahan terjadinya Infeksi Nosokomial
Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk:
• Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan.
• Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
• Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi.
• Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif.
• Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.

II.3.1 Dekontaminasi tangan
Transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga hiegene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai pentingnya hal ini, dan waktu mencuci tangan yang lama. Selain itu, penggunaan sarung tangan sangat dianjurkan bila akan melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien dengan penyakit-penyakit infeksi. Hal yang perlu diingat adalah: Memakai sarung tangan ketika akan mengambil atau menyentuh darah, cairan tubuh, atau keringat, tinja, urin, membran mukosa dan bahan yang kita anggap telah terkontaminasi, dan segera mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.

II.3.2 Instrumen yang sering digunakan Rumah Sakit
Simonsen et al (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50% suntikan yang dilakukan di negara berkembang tidaklah aman (contohnya jarum, tabung atau keduanya yang dipakai berulang-ulang) dan banyaknya suntikan yang tidak penting (misalnya penyuntikan antibiotika).7 Untuk mencegah penyebaran penyakit melalui jarum suntik maka diperlukan:
• Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan
• Pergunakan jarum steril
• Penggunaan alat suntik yang disposabel.
Masker, sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara. Begitupun dengan pasien yang menderita infeksi saluran nafas, mereka harus menggunakan masker saat keluar dari kamar penderita.
Sarung tangan, sebaiknya digunakan terutama ketika menyentuh darah, cairan tubuh, feses maupun urine. Sarung tangan harus selalu diganti untuk tiap pasiennya. Setelah membalut luka atau terkena benda yang kotor, sanrung tangan harus segera diganti.11
Baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian selama kita melakukan suatu tindakan untuk mencegah percikan darah, cairan tubuh, urin dan feses.11

II.3.3 Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit
Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan bahwa rumah sakit sangat bersih dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90 persen dari kotoran yang terlihat pasti mengandung kuman. Harus ada waktu yang teratur untuk membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai berkali-kali.
Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak fasilitas kesehatan. Usahakan adanya pemakaian penyaring udara, terutama bagi penderita dengan status imun yang rendah atau bagi penderita yang dapat menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan pengaturan udara yang baik akan lebih banyak menurunkan resiko terjadinya penularan tuberkulosis. Selain itu, rumah sakit harus membangun suatu fasilitas penyaring air dan menjaga kebersihan pemrosesan serta filternya untuk mencegahan terjadinya pertumbuhan bakteri. Sterilisasi air pada rumah sakit dengan prasarana yang terbatas dapat menggunakan panas matahari.11
Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit perawatan pasien diare untuk mencegah terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi disinfektan.11
Disinfektan akan membunuh kuman dan mencegah penularan antar pasien.
Disinfeksi yang dipakai adalah:
• Mempunyai kriteria membunuh kuman
• Mempunyai efek sebagai detergen
• Mempunyai efek terhadap banyak bakteri, dapat melarutkan minyak dan protein.
• Tidak sulit digunakan
• Tidak mudah menguap
• Bukan bahan yang mengandung zat yang berbahaya baik untuk petugas maupun pasien
• Efektif
• tidak berbau, atau tidak berbau tak enak

II.3.4 Perbaiki ketahanan tubuh
Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen oportunis, ada pula bakteri yang secara mutualistik yang ikut membantu dalam proses fisiologis tubuh, dan membantu ketahanan tubuh melawan invasi jasad renik patogen serta menjaga keseimbangan di antara populasi jasad renik komensal pada umumnya, misalnya seperti apa yang terjadi di dalam saluran cerna manusia. Pengetahuan tentang mekanisme ketahanan tubuh orang sehat yang dapat mengendalikan jasad renik oportunis perlu diidentifikasi secara tuntas, sehingga dapat dipakai dalam mempertahankan ketahanan tubuh tersebut pada penderita penyakit berat. Dengan demikian bahaya infeksi dengan bakteri oportunis pada penderita penyakit berat dapat diatasi tanpa harus menggunakan antibiotika. 6

II.3.5 Ruangan Isolasi
Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan membuat suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama untuk penyakit yang penularannya melalui udara, contohnya tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan virus, contohnya DHF dan HIV. Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi rendah eperti leukimia dan pengguna obat immunosupresan juga perlu diisolasi agar terhindar dari infeksi. Tetapi menjaga kebersihan tangan dan makanan, peralatan kesehatan di dalam ruang isolasi juga sangat penting. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi udara selalu menuju keluar. Sebaiknya satu pasien berada dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang terjadi kejadian luar biasa dan penderita melebihi kapasitas, beberapa pasien dalam satu ruangan tidaklah apa-apa selama mereka menderita penyakit yang sama.9

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

III.1 Kesimpulan

  1. Faktor- faktor yang menyebabkan perkembangan infeksi nosokomial tergantung dari agen yang menginfeksi, respon dan toleransi tubuh, faktor lingkungan, resistensi antibiotika, dan faktor alat.
  2. Agen Infeksi yang kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada: karakteristik mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat antibiotika, tingkat virulensi, dan banyaknya materi infeksius. Respon dan toleransi tubuh pasien dipengaruhi oleh: Umur, status imunitas penderita, penyakit yang diderita, obesitas dan malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan dan steroid, intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi. Faktor lingkungan dipengaruhi oleh padatnya kondisi rumah sakit, banyaknya pasien yang keluar masuk, penggabungan kamar pasien yang terkena infeksi dengan pengguna obat-obat immunosupresan, kontaminasi benda, alat, dan materi yang sering digunakan tidak hanya pada satu orang pasien. Resistensi Antibiotika disebabkan karena: Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat, dan kesalahan diagnosa. Faktor alat, dipengaruhi oleh pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti.
  3. Macam penyakit yang disebabkan oleh infeksi nosokomial, misalnya Infeksi saluran kemih. Infeksi ini merupakan kejadian tersering, dihubungkan dengan penggunaan kateter urin. Nosokomial pneumonia, terutama karena pemakaian ventilator, tindakan trakeostomy, intubasi, pemasangan NGT, dan terapi inhalasi. Nosokomial bakteremi yang memiliki resiko kematian yang sangat tinggi.
  4. Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit terutama dari dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai berkali-kali.

III.2 Saran
• Eliminasi dan kurangi perkembangan agen penyebab infeksi dan faktor lainnya yang menyebabkan perkembangan infeksi nosokomial.
• Penybaran infeksi nosokomial terutama dari udara dan air harus menjadi perhatian utama agar infeksi tidak meluas.
• Mengurangi prosedur-prosedur invasif untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
• Pencegahan terjadinya Infeksi Nosokomial memerlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program untuk mengawasi kejadian infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Olmsted RN. APIC Infection Control and Applied Epidemiology: Principles and Practice. St Louis, Mosby; 1996
2. anonymus. Infectious Disease Epidemiology Section. http://www.oph.dhh.louisiana.gov
3. Ducel, G. et al. Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd edition. World Health Organization. Department of Communicable disease, Surveillance and Response; 2002
4. Light RW. Infectious disease, noscomial infection. Harrison’s Principle of Internal Medicine 15 Edition.-CD Room; 2001
5. Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2001
6. Surono, A. Redaksi Intisari. agussur@hotmail.com
7. Anonymus. Preventing Nosocomial Infection.Louisiana; 2002
8. Suwarni, A. Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan Lingkungan Hubungannya dengan Rerata Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi Nosokomial Studi Kasus: Penderita Pasca Bedah Rawat Inap di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta; 2001
9. Babb, JR. Liffe, AJ. Pocket Reference to Hospital Acquired infection. Science Press limited, Cleveland Street, London; 1995
10. Pohan, HT. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine. Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta;2004
11. Wenzel. Infection control in the hospital,in International society for infectious diseases, second ed, Boston; 2002

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Akumulasi darah dalam dada , atau hematothorax adalah masalah yang relatif umum , paling sering akibat cedera untuk intrathoracic struktur atau dinding dada . hematothorax tidak berhubungan dengan trauma adalah kurang umum dan dapat disebabkan oleh berbagai penyebab . Identifikasi dan pengobatan traumatik gematothorax adalah bagian penting dari perawatan pasien yang terluka . Dalam kasus hematothorax tidak berhubungan dengan trauma , penyelidikan yang hati – hati untuk sumber yang mendasari harus dilakukan ketika perawatan terjadi .

Hematothorax mengacu pada koleksi darah dalam rongga pleura . Walaupun beberapa penulis menyatakan bahwa nilai hematokrit setidaknya 50 % diperlukan untuk mendefinisikan hematothorax ( dibandingkan dengan berdarah efusi pleura ) . Sebagian besar tidak setuju pada perbedaan tertentu . Meskipun etiologi paling umum adalah hematothorax tumpul atau trauma tembus , itu juga dapat hasil dari sejumlah nontraumatic menyebabkan atau dapat terjadi secara spontan .

Pentingnya evakuasi awal darah melalui luka dada yang ada dan pada saat yang sama , menyatakan bahwa jika perdarahan dari dada tetap , luka harus ditutup dengan harapan bahwa ada tekanan intrathoracic akan menghentikan perdarahan jika efek yang diinginkan tercapai , menyarankan agar luka dibuka kembali beberapa hari kemudian untuk evakuasi tetap beku darah atau cairan serosa .

Mengukur frekuansi hematothorax dalam populasi umum sulit . Hematothorax yang sangat kecil dapat dikaitkan dengan satu patah tulang rusuk dan mungkin tak terdeteksi atau tidak memerlukan pengobatan . karena sebagian besar terkait dengan hematothorax trauma , perkiraan kasar terjadinya mereka dapat dikumpulkan dari trauma statistik .

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.2.1 A            pa yang dimaksud dengan hematothorax ?

1.2.2 Apa saja etiologi dari hematothorax ?

1.2.3 Bagaimana patofisiologi dari hematothorax ?

1.2.4 Bagaimana manifestasi klinis dari hematothorax ?

1.2.5 Apa saja pemeriksaan dari hematothorax ?

1.2.6 Bagaimana perawatan dari hematothorax ?

1.3 TUJUAN

1.3.1 Untuk mengetahui tentang istilah hematothorax .

1.3.2 Untuk mengetahu tentang etiologi hematothorax .

1.3.3 Untuk mengetahui tentang patofisiologi hematothorax .

1.3.4 Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari hematothorax .

1.3.5 Untuk mengatahui tentang pemeriksaan dari hematothorax .

1.3.6 Untuk mengetahui tentang perawatan hematotohrax .

1.4 BATASAN MASALAH

Makalah yang kami buat terbatas pada pengertian hematothorax , etiologi hematothorax , patofisiologi hematothorax , manifestasi klinis hematotohrax , pemeriksaan penunjang dan perawatan dari hematothorax .

1.5 MANFAAT

Makalah yang kami buat dapat memberikan sedikit wacana kepada pembaca khususnya mahasiswa mengenai tentang apa saja hematotohrax .

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN

Hematothorax adalah adanya darah dalam rongga pleura . Sumber mungkin darah dinding dada , parenkim paru – paru , jantung atau pembuluh darah besar . kondisi diasanya merupakan konsekuensi dari trauma tumpul atau tajam . Ini juga mungkin merupakan komplikasi dari beberapa penyakit .( Puponegoro , 1995 ) .

.

2.2 ETIOLOGI

2.2.1 Traumatis

  • Trauma tumpul .
  • Penetrasi trauma .

2.2.2 Non traumatic atau spontan

  • Neoplasia ( primer atau metastasis ) .
  • Diskrasia darah , termasuk komplikasi antikoagulasi .
  • Emboli paru dengan infark .
  • Robek pleura adhesi berkaitan dengan pneumotorax spontan .
  • Emfisema .
  • Tuberkulosis .
  • Paru arteriovenosa fistula .

2.3 PATOFISIOLOGI

Perdarahan ke dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua gangguan  dari jaringan dinding dada dan pleura atau struktur intratoracic yang fisiologis terhadap pengembangan hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama hemodinamik dan pernapasan . Tingkat respons hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah .

Gerakan pernapasan normal mungkin terhambat oleh ruang efek menduduki akumulasi besar darah dalam rongga pleura . Dalam kasus trauma , kelainan ventilasi dan oksigen dapat mengakibatkan , terutama jika dikaitkan dengan cedera pada dinding dada . Dalam beberapa kasus nontraumatic asal usul , terutama yang berkaitan dengan pneumotorax dan jumlah terbatas perdarahan , gejala pernapasan dapat mendominasi .

Pohon Masalah

Trauma pada thorax
Perdarahan pada rongga pleura . hingga tahanan perifer darah paru meningkat
Cedera jaringan lunak/hilangnya kontinuitas structur tulang
Reabsorbsi darah oleh pleura tidak memadai / tidak optimal
Nyeri , adanya luka pasca trauma , pergeseran fragmen paru
Nyeri kerusakan intregitas jaringan , resiko tinggi infeksi
Akumulasi darah dikantong pleura
G3 ventilasi , pengembangan paru tidak optimal , g3 difusi . distribusi dan transportasi oksigen
Edema trakea/faringeal peningkatan produksi secret dan penurunan kemampuan batuk efektif
Ketidak efektifan jalan napas Terpasang WSD
Ketidak efektifan jalan napas
  • nyeri
    • perubahan pemenuhan nutrisi < dr kebutuhan
    • g3 mobilitas fisik
    • g3 pemenuhan ADL
    • cemas
    • ketidaktahuan/penurunan
Keluhan sistemik,mual,intake nutrisi tidak adekuat,malaise,kelemahan dan keletihan fisik,kecemasan,serta ketidaktahuan akan prognosis

2.4 MANIFESTASI KLINIS

2.4.1 Blunt trauma – hematothorax dengan dinding dada cedera tumpul .

2.4.1.1 Jarang hematothorax sendirian menemukan dalam trauma tumpul . Associated dinding dada atau cedera paru hampir selalu hadir .

2.4.1.2 Cedera tulang sederhana terdiri dari satu atau beberapa patah tulang rusak adalah yang paling umum dada cedera tumpul . Hematothorax kecil dapat berhubungan dengan bahkan satu patah tulang rusuk tetapi sering tetap diperhatikan selama pemeriksaan fisik dan bahkan setelah dada radiography . Koleksi kecil seperti jarang membutuhkan pengobatan .

2.4.1.3 Kompleks dinding dada cedera adalah mereka yang baik 4 / lebih secara berurutan satu patah tulang rusuk hadir atau memukul dada ada . Jenis cedera ini terkait dengan tingkat signifikan kerusakan dinding dada dan sering menghasilkan koleksi besar darah dalam rongga pleura dan gangguan pernapasan substansial . Paru memar dan pneumotorax yang umumnya terkait cedera . Mengakibatkan luka – luka lecet dari internal interkostal / arteri mamae dapat menghasilkan ukuran hematothorax signifikan dan hemodinamik signifikan kompromi . Kapal ini adalah yang paling umum perdarahan terus menerus sumber dari dada setelah trauma .

2.4.1.4 Delayed hematothorax can accur at some interval after blunt chest trauma . Dalam kasus tersebut evaluasi awal , termasuk dada radiography  , mengngkapkan temuan dari patah tulang rusuk yang menyertainya tanpa intrathoracic patologi , Namun jam untuk hari kemudian , seorang hematothorax terlihat . Mekanisme diyakini baik pecah terkait trauma dinding dada hematom ke dalam rongga pleura / perpindahan dari tulang rusuk patah ujungnya dengan interkostalis akhirnya gangguan terhadap kapal – kapal selama gerakan pernapasan atau batuk .

2.4.2 Intrathoracic cedera tumpul

2.4.2.1 Hematothorax besar biasanya berhubungan struktur vaskular cedera . Gangguan atau robekan besar struktur arteri / vena di dalam dada dapat menyebebkan perdarahan masif / exsanguinating .

2.4.2.2 Hemodinamik menifestasi terkait dengan hematothorax besar adalah mereka dari hemorrhagic shock . Gejala – gejala dapat berkisar dari ringan sampai mendalam , tergantung pada jumlah dan laju perdarahan ke dalam rongga dada dari sifat dan tingkat keparahan cedera terkait .

2.4.2.3 Karena koleksi besar darah akan menekan paru – paru ipsilateral , pernapasan terkait termasuk manifestasi tachypnea dan dlam beberapa kasus hypoxemia .

2.4.2.4 Berbagai temuan fisik seperti memar , rasa sakit , ketidakstabilan / krepitus pada palpasi atas rusuk retak , cacat dinding dada / gerakan dinding dada paradoksal dapat mengakibatkan kemungkinan hematothorax bersamaan dalam kasus cedera tumpul dinding dada . Ketumpulan pada perkusi diatas bagian yang terkena sering hemotorax dicatat dan lebih sering ditemukan selama lebih tergantung daerah torax jika pasien tegak . Berkurang / tidak hadir pada auskultasi bunyi napas dicatat di atas wilayah hemotothorax .

2.4.3 Trauma tembus

2.4.3.1 Hematothorax dari cedera penetrasi paling sering disebabkan oleh lecet langsung dari pembuluh darah . Sementara arteri dinding dada paling sering , sumber menembus hematothorax cedera , intrathoracic struktur  , termasuk jantung , juga harus dipertimbangkan .

2.4.3.2 Parenkim paru cedera sangat umum dalam kasus – kasus cedera menembus dan biasanya menghasilkan kombinasi hematothorax dan pneumothorax .

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.5.1 Laboratorium studi

  • Hematokrit dari cairan pleura
    • Pengukuran hematokrit hampir tidak pernah diperlakukan pada pasien dengan hematothorax traumatis .
    • Studi ini mungkin diperlakukan untuk analisis berdarah nontraumatik efusi dari penyebabnya . Dalam khusus tersebut , sebuah efusi pleura dengan hematokrit lebih dari 50 % dari yang hematokrit beredar deanggap sebagai hematothorax .

2.5.2 Imaging studi

  • Chest radiography
  • Dada yang tegak sinar rongent adalah ideal studi diagnostik utama dalam evaluasi hematothorax .
  • Dalam unscarred normal rongga pleura yang hemothtorax dicatat sebagai meniskus cairan menumpulkan costophiremic diafragmatik sudut atau permukaan dan pelacakan atas margin pleura dinding dada ketika dilihat pada dada tegak film sinar – x . Hal ini pada dasarnya sama penampilan radiography dada yang ditemukan dengan efusi pleura .
  • Dalam kasus – kasus dimana jaringan atau sisfisis pleura hadir , koleksi tidak dapat bebas untuk menempati posisi yang paling tergantung didalam dada tapi menempati posisi yang paling tergantung didalam dada , tapi akan mengisi ruang pleura bebas apapun tersedia . Situasi ini mungkin membuat penampilan klasik lapisan pluida pada dada x – ray film .
  • Sebanyak 400 – 500 ml darah diperlukan untuk melenyapkan costapherenic sudut seperti terlihat pada dada tegak sinar rongent .
  • Dalam pengaturan trauma akut , telentang portabel dada sinar rongent mungkin menjadi yang pertama dan satu – satunya pandangan tersedia dari yang untuk membuat keputusan mengenai terapi definitif , kehadiran dn ukuran hematothorax jauh lebih sulit untuk mengevaluasi pada film terlentang . sebanyak 1000 ml darah mungkin akan terjawab saat melihat dada terlentang portabel x – ray film . Hanya kekaburan umum yang terkena bencana hematothorax dapat dicatat .
  • Dalam kasus trauma hematothorax sering dikaitkan dengan dada lainnya , luka – luka terlihat di dada sinar rongent , seperti patah tulang iga , pneumotorax , atau pelebaran mediatinum superior .
  • Studi – studi tambahan seperti USG atau CT scan mungkin kadang – kadang diperlukan untuk identitas dan kualifikasi dari hematothorax dicatat disebuah dataran sinar rongent .
  • Ultrasonography
  • Ultrasonography USG digunakan dibeberapa pusat trauma dalam evaluasi awal pasien untuk hematothorax .
  • Salah satu kekurangan dari USG untuk identifikasi traumatis terkait hematothorax adalah bahwa luka – luka segera terlihat pada radiography dada pada pasien trauma , seperti cedera tulang , melebar mediastinum dan pneumothorax , tidak mudah diidentifikasi di dada Ultrasonograp gambar .
  • Ultrasonography lebih mungkin memainkan peran yang saling melengkapi dalam kasus – kasus tertentu dimana x –ray dada temuan hematothorax yang samar – samar .
    • CT
    • CT scan sangat akurat studi diagnostik cairan pleura / darah .
    • Dalam pengaturan trauma tidak memegang peran utama dalam diagnostik hematothorax tetapi melengkapi dada radiography . Karena banyak korban trauma tumpul melakukan rongrnt dada dan / CT scan perut evaluasi, tidak dianggap hematothorax didasarkan pada radiography dada awal dapat diidentifikasi dan diobati .
    • Saat ini CT scan adalah nilai terbesar kemudian dalam perjalanan trauma dada pasien untuk lokalisasi dan klasifikasi dari setiap koleksi mempertahankan gumpalan dalam rongga pleura .

2.6 PERAWATAN

  • Prehospital care in patients with hemothorax Perawatan pra-rumah sakit pada pasien dengan hemothorax
  • Assess airway, breathing, and circulation. Menilai Airway, pernapasan, dan sirkulasi. Evaluate for the possibility of tension pneumothorax. Evaluasi untuk kemungkinan ketegangan pneumotoraks. Assess vital signs and pulse oximetry. Menilai tanda-tanda vital dan denyut nadi oksimetri. Administer oxygen and establish an intravenous line. Administer oksigen dan membentuk garis intravena.
  • Dekompresi jarum dari pneumotoraks ketegangan mungkin diperlukan.
  • Perawatan awal diarahkan untuk cardiopulmonary stabilisasi dan evakuasi dari koleksi darah pleura.
  • Jika pasien hypotensive, membangun besar-garis intravena membosankan. Commence appropriate fluid resuscitation with blood transfusion as necessary. Resusitasi cairan dimulai sesuai dengan transfusi darah diperlukan.
  • Untuk evakuasi, tempat-besar membosankan tabung torakotomi costophrenic diarahkan ke sudut.
  • Jika dada tabung konvensional tidak mengeluarkan koleksi darah, langkah-langkah lebih lanjut mungkin diperlukan. Conventional treatment involves placement of a second thoracostomy tube. Pengobatan konvensional melibatkan penempatan thoracostomy kedua tabung. However, in many patients, this therapy is ineffective, necessitating further intervention. Namun, pada banyak pasien, terapi ini tidak efektif, sehingga perlu intervensi lebih lanjut.
  • Video-dibantu thoracoscopy (tong) adalah pengobatan alternatif yang memungkinkan pemindahan langsung dan tepat gumpalan dada penempatan tabung. VATS is associated with fewer postoperative complications and shorter hospital stays compared with thoracostomy. Tong-tong dikaitkan dengan komplikasi pascabedah lebih sedikit dan lebih pendek dibandingkan dengan rumah sakit tetap thoracostomy .
  • Emergency department care Perawatan gawat darurat
    • The patient should be sitting upright unless other injuries contraindicate this position. Pasien harus duduk tegak kecuali luka lain contraindicate posisi ini. Administer oxygen and reassess airway, breathing, and circulation. Administer oksigen dan menilai kembali jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.
    • Mendapatkan sinar rentgen dada tegak secepat mungkin.
    • Jika pasien hemodynamically tidak stabil, segera memulai resusitasi cairan (misalnya, 20 mL / kg Ringer lactated solusi).
    • The need for a chest tube in an asymptomatic patient is unclear, but if the patient has any respiratory distress, direct the large-bore chest tube toward the costophrenic angle as the chest radiograph indicates. Kebutuhan tabung di dada pasien yang asimtomatik tidak jelas, tetapi jika pasien mempunyai gangguan pernapasan, langsung besar-dada menanggung tabung menuju sudut costophrenic sebagai sinar rentgen menunjukkan dada.
    • Inovasi terbaru perawatan intrapleural fibrinolytic traumatis bergumpal hemothorax. Either 250,000 units of streptokinase or 100,000 units of urokinase was instilled daily into intrapleural space on 2-15 occasions. Entah streptokinase 250.000 unit atau 100.000 unit urokinase itu ditanamkan intrapleural harian ke ruang pada 2-15 kali. The overall success rate was 92%. 25 Tingkat keberhasilan secara keseluruhan adalah 92%.
    • Akhirnya, jika fibrothorax berkembang meskipun terapi modalitas yang telah disebutkan sebelumnya, suatu prosedur decortication mungkin diperlukan untuk memungkinkan ekspansi paru dan mengurangi risiko empiema.

2.7 ASUHAN KEPERAWATAN

2.7.1 Pengkajian

Point yang penting dalam riwayat keperawatan :

1. Umur : Sering terjadi usia 18 – 30 tahun.

2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu.

3. Pengobatan terakhir.

4. Pengalaman pembedahan.

5. Riwayat penyakit dahulu.

6. Riwayat penyakit sekarang.

7. Dan Keluhan.

2.7.2 pemeriksaan fisik

1. Sistem Pernapasan :

Sesak napas , Nyeri , batuk-batuk , Terdapat retraksi , klavikula / dada . Pengambangan paru tidak simetris. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain. Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor / hipersonor / timpani , hematotraks ( redup ) Pada asukultasi suara nafas , menurun , bising napas yang berkurang / menghilang . Pekak dengan batas seperti , garis miring / tidak jelas.
Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.  Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.

2. Sistem Kardiovaskuler :

Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
Takhikardia , lemah , Pucat , Hbturun / normal .Hipotensi.

3. Sistem Persyarafan :

Tidak ada kelainan.

4. Sistem Perkemihan.

Tidak ada kelainan.

5. Sistem Pencernaan :

Tidak ada kelainan.

6. Sistem Muskuloskeletal – Integumen.

Kemampuan sendi terbatas . Ada luka bekas tusukan benda tajam.
Terdapat kelemahan.Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.

7. Sistem Endokrine :

Terjadi peningkatan metabolisme. Kelemahan.

8. Sistem Sosial / Interaksi.

Tidak ada hambatan.

9. Spiritual :

Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

10. Pemeriksaan Diagnostik :

Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural. Pa Co2 kadang – kadang menurun. Pa O2 normal / menurun.
Saturasi O2 menurun (biasanya). Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,

2.7.3 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.

2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.

3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.

4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.

5. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.

6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.

7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.

2.7.4 Intevensi Keperawatan :

1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.

Tujuan : Pola pernapasan efektive.

Kriteria hasil :Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.

Intervensi :

  1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.

R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

b. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.

R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
c. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.

R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

d. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.

R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

e. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.

R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.

f. Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 – 2 jam :
1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.

R/ Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.

R/ Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.

3) Observasi gelembung udara botol penempung.

R/ gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.

4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.

R/ Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.

5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.

R/ Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.

g. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :

1) Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.Pemberian antibiotika.Pemberian analgetika.Fisioterapi dada.Konsul photo toraks.

R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.

Tujuan : Jalan napas lancar/normal

Kriteria hasil :

Menunjukkan batuk yang efektif. Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal.pernapasan.Klien nyaman.

Intervensi :

  1. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.

R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

b.  Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.

R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.

1)      Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin

R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.

2)      Lakukan pernapasan diafragma
R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.

3)      Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.

4)      Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat

R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.

  1. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.

R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.

  1. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi

R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.

  1. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.

R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.

  1. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :

Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
Pemberian expectoran. Pemberian antibiotika. Fisioterapi dada.Konsul photo toraks.

R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.

Kriteria hasil :Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.Pasien tidak gelisah.

Intervensi :

  1. Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.

R/ Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.

R/ Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.

2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

R/ Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.

  1. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.

R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.

  1. Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.

R/ Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

  1. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.

R/ Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

  1. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 – 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 – 2 hari.

R/ Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

Obtain an upright chest radiograph as quickly as possible.The need for a chest tube in an asymptomatic patient is unclear, but if the patient has any respiratory distress, direct the large-bore chest tube toward the costophrenic angle as the chest radiograph indicates

BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Akumulasi darah dalam dada , atau hematothorax adalah masalah yang relatif umum , paling sering akibat cedera untuk intrathoracic struktur atau dinding dada . hematothorax tidak berhubungan dengan trauma adalah kurang umum dan dapat disebabkan oleh berbagai penyebab . Identifikasi dan pengobatan traumatik gematothorax adalah bagian penting dari perawatan pasien yang terluka . Dalam kasus hematothorax tidak berhubungan dengan trauma , penyelidikan yang hati – hati untuk sumber yang mendasari harus dilakukan ketika perawatan terjadi .

Hematothorax mengacu pada koleksi darah dalam rongga pleura . Walaupun beberapa penulis menyatakan bahwa nilai hematokrit setidaknya 50 % diperlukan untuk mendefinisikan hematothorax ( dibandingkan dengan berdarah efusi pleura ) . Sebagian besar tidak setuju pada perbedaan tertentu . Meskipun etiologi paling umum adalah hematothorax tumpul atau trauma tembus , itu juga dapat hasil dari sejumlah nontraumatic menyebabkan atau dapat terjadi secara spontan .

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. (1997). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.

Doegoes, L.M. (1999). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian keperawatan. Jakarta : EGC.

Hudak, C.M. (1999) Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.

dokter-medis.blogspot.com

Pusponegoro , A . D (1995) . ilmu bedah . FK UI.Jakarta