Archives for posts with tag: Kesehatan

Semua manusia pasti merasakan yang namanya Buang air besar, itu pasti. Namun juga tidak sedikit di antara kita yang tidak tahu kapan tempat ketika merasakan keinginan untuk buang air besar entah itu di sekolahan, kantor, tempat belanja, bioskop dan tempat lain sebagainya. Kita setuju bahwa kalau menahan rasa ingin buang air besar itu rasanya sangat tidak nyaman bahkan beberapa dari kita kesakitan. Penyebab rasa ingin buang air besar pun bermacam – macam bisa karena memang sudah waktunya buang air atau bisa di karenakan penyakit, diare misalnya. Apakah dari kita sudah mengetahui dampak buruk dari menahan buang air besar, tentu tidak semua orang mengetahui dampak buruk dari pada menahan buang air besar.

Para Dokter bedah Gastro entestinal Mengungkapkan bahwa akhir – akhir ini pasien di RS tempat mereka praktek mengalami peningkatan jumlah pasien CA Colon atau bahasa umumnya kangker usus. Penyebab Kanker ini belum di ketahui secara pasti, akan tetapi dokter yakin bahwa penyebab kanker usus ini penyebab terbesarnya adalah menahan BAB. Bisa jadi seperti itu, kenapa ? Nah, pada saat kita ingin buang air besar dan menahannya. usus usus di dalam tubuh kita berkontraksi sebegitu kuatnya untuk menahan agar tinja ( kotoran manusia ) tidak nyelonong keluar begitu saja.

Kanker ini biasa di derita kalangan berumur, karena perlu kita ketahui bahwa usia semakin bertambah maka kegiatan seperti itu juga semakin banyak jika di total. nah apabila kita terbiasa menahan buang air besar hingga tua maka resiko terkena kanker usus ini semakin besar. pada saat kita menahan buang air otot – otot usus akan berkontraksi menahan dan lama-kelamaan otot ini akan edema ( bengkak ). jika hal ini terjadi didalam usus ini akan fatal akibatnya. Bengkak yang tidak di tangani secara cepat dan tepat akan dapat mengakibatkan radang dan infeksi pada usus. Sehingga Sel – Sel kanker dapat tumbuh di usus tersebut. Info Kesehatan

  1. Pengertian.

Adalah terputuisnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berubah trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berubah trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.

Akibat trauma pada tulang tergantuing pada jenis trauma,kekuatan, dan arahnya.Taruma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan  luka terbuka  sampai ketulang  yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang yang didekat sendi atau yang mengenai sendi dapat menyebabkan  patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.

III.       Patofisiologi.

Patah Tulang

Beban lama / Trauma ringan yang kontinyu

Terbuka                                                                                      Tertutup

Infeksi                                                      Potensial infeksi,adanya emboli lemak dari  fraktur tulang panjang & sindroma kompatemen .

Trauma Penetrasi

Perdarahan              Cidera Vaskuler                         Trombosis Pembuluh

Komplikasi

Penyebab kematian dini                                      Penyebab lambat kematian(Stl 3 hr)

Hemoragi & Cidera Kepala           Gangguan Organ Multipel       Sepsis

Terjadi ARDS &  DIC                                                              Pelepasan Toksin

Syok Hipovolemik                                                                    Dilatasi pemb. Darah

Penurunan Perfusi  organ                                                       Terkumpulnya Venosa

Peningkatan Curah jantung        Penurunan tahanan

Vaskular sistemik

Penurunan Curah Jantung,Tensi, Perfusi

Syok Sepsis

( Tirah baring, Ulkus, Emboli pulmunal, penyusutan Otot )

  1. Klasifikasi patah tulang.

Patah tulang dapat dibagi menurut  ada tidanya hubungan antara patahan tulang  denga dunia luar, yaitu patah tulang tertutup dan patah tulang terbuka yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk kedalam luka  sampai ke tulang yang patah.

Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya  luka dan berat ringannya patah tulang.

Patang tulang juga  dapat dibagi menurut garis fraktrunya misanya fisura, patah tulang sederhana, patah tulang kominutif ( pengecilan, patah tulang segmental,patah tulang impaksi ),  patah tulang kompresi,   impresi dan patah tulang patologis.

Derajat patah tulang  terbuka  terbagi atas 3 macam yaitu :

  1. laserasi < 2 cm bentuknya sederhana, dislokasi,fragmen, minimal.
  2. Laserasi > 2 cm  kontusi otot diserkitarnya bentuknya dislokasi, fragmen jelas
  3. Luka lebar, rusak hebat atau hilangnya jaringan disekitarnya bentuknya kominutif, segmental,fragmen tulang ada yang hilang

Jenis patah tulang dapat digolongkan  menjadi :

  1. Visura ( Diafisis metatarsal
  2. Serong sederhana ( Diaphisis metacarpal )
  3. Lintang sederhana ( diafisis tibia )
  4. Kominutif ( Diafisis femur )
  5. Segmental ( Diafisis tibia )
  6. Dahan hijau ( diafisis radius pada anak )
  7. Kompresi ( Korpus vertebral  th. XII )
  8. Impaksi ( epifisis radius distal,kolum femur lateral )
  9. Impresi ( tulang tengkorak )

10.  Patologis ( Tomur diafisi humerus,kurpus  vertebral)

  1. Komplikasi patah tulang .

Komplikasi patah tulang meliputi :

  1. Komplikasi segera

Lokal :

  • Kulit( abrasi l;acerasi, penetrasi)
  • Pembuluh darah ( robek )
  • Sistem saraf ( Sumssum tulang belakang, saraf tepi motorik dan   sensorik)
  • Otot
  • Organ dalam ( jantung,paru,hepar, limpha(pada Fr.kosta),kandung kemih (Fr.Pelvics)

Umum :

  • Ruda paksa multiple
  • Syok ( hemoragik, neurogenik )
  1. Komplikas Dini :

Lokal  :

  • Nekrosis kulit, gangren, sindroma kopartemen,trombosis vena, infeksi sendi,osteomelisis )

Umum :

  • ARDS,emboli paru, tetanus.
  1. Kompliasi lama

Lokal :

  • Sendi (ankilosis fibrosa, ankilosis osal )
  • Tulang ( gagal taut/lama dan salah taut,distropi reflek,osteoporosisi paskah    trauma,ggn pertumbuhan,osteomelisis,patah tulang ulang)
    • Otot atau tendon ( penulangan otot, ruptur tendon )
    • Saraf ( kelumpuhan saraf lambat

Umum :

  • Batu ginjal ( akibat mobilisasi lama ditempat tidur)
  1. Penatalaksanaan patah tulang.

Penatalaksanaan patah tulang mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada umumnya yang meliputi :

  1. Jangan ciderai pasien( Primum  Non Nocere).
  2. Pengobatan yang tepat berdasarkanb diagnosis dan prognosisnya
  3. Sesuai denga hokum alam
  4. Sesuai dengan kepribadian individu

Khusus untuk patah tulang meliputi :

  1. Reposisi
  2. Imobilisasi
  3. Mobilisasi berupa latihan seluruh system tubuh.
  1. Asuhan keperawatan.

ASUHAN KEPERAWATAN

  1. Riwayat perjalanan penyakit.
  2. Riwayat pengobatan sebelumnya.
  3. Pertolongan pertama yang dilakukan
  1. Pemeriksaan fisik :
  • Identifikasi fraktur
  • Inspeksi
  • Palpasi (bengkak, krepitasi, nadi, dingin)
  • Observasi spasme otot.
  1. Pemeriksaan diagnostik :
  • Laboratorium (HCt, Hb, Leukosit, LED)
  • CT-Scan
  1. Obat-obatan : golongan antibiotika gram (+) dan gram (-)
  • Penyakit yang dapat memperberat dan mempermudah terjadinya fraktur :
  1. Osteomyelitis acut
  2. Osteomyelitis kronik
  3. Osteomalacia
  4. Osteoporosis
  5. Gout
  6. Rhematoid arthritis

PENGKAJIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL

DATA SUBYEKTIF

  • Data biografi
  • Adanya nyeri, kekakuan, kram, sakit pinggang, kemerahan, pembengkakan, deformitas, ROM, gangguan sensasi.
  • Cara PQRST :
    • Provikatif (penyebab)
    • Quality (bagaimana rasanya, kelihatannya)
    • Region/radiation (dimana dan apakah menyebar)
    • Severity (apakah mengganggu aktivitas sehari-hari)
    • Timing (kapan mulainya)
  • Pengkajian pada sistem lain
    • Riwayat sistem muskuloskeletal, tanyakan juga tentang riwayat kesehatan masa lalu.
    • Riwayat dirawat di RS
    • Riwayat keluarga, diet.
    • Aktivitas sehari-hari, jenis pekerjaan, jenis alas kaki yang digunakan
    • Permasalahan dapat saja baru diketahui setelah klien ganti baju, membuka kran dll.

DATA OBYEKTIF

  • Inspeksi dan palpasi ROM dan kekuatan otot
  • Bandingakan dengan sisi lainnya.
  • Pengukuran kekuatan otot (0-5)
  • Duduk, berdiri dan berjalan kecuali ada kontra indikasi.
  • Kyposis, scoliosis, lordosis.

PROSEDUR DIAGNOSTIK

  1. X-ray dan radiography
  2. Arthrogram (mendiagnosa trauma pada kapsul di persendian atau ligamen). Anestesi lokal sebelum dimasukkan cairan kontras/udara ke daerah yang akan diperiksa.
  3. Lamnograph (untuk mengetahui lokasi yang mengalami destruksi atau mengevaluasi bone graf).
  4. Scanograph (mengetahui panjang dari tulang panjang, sering dilakukan pada anak-anak sebelum operasi epifisis).
  5. Bone scanning (cairan radioisotop dimasukkan melalui vena, sering dilakukan pada tumor ganas, osteomyelitis dan fraktur).
  6. MRI
  7. Arthroscopy (tindakan peneropongan di daerah sendi)
  8. Arthrocentesis (metode pengambilan cairan sinovial)

MASALAH-MASALAH YANG UMUM TERJADI

  1. Gangguan dalam melakukan ambulasi.
  • Berdampak luas pada aspek psikososial klien.
  • Klien membutuhkan imobilisasi → menyebabkan spasme otot dan kekakuan sendi
  • Perlu dilakukan ROM untuk menguragi komplikasi :

–  Kaki (fleksi, inverse, eversi, rotasi)

–  Pinggul (abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi)

–  Lutut (ekstensi)

–  Jari-jari kaki (ektensi, fleksi)

  1. Nyeri; tindakan keperawatan :
  • Merubah posisi pasien
  • Kompres hangat, dingin
  • Pemijatan
  • Menguragi penekanan dan support social
  • Apabila nyeri di sendi, perlu dikaji :

–          Kejadian sebelum terjadinya nyeri

–          Derajat nyeri pada saat nyeri pertama timbul

–          Penyebaran nyeri

–          Lamanya nyeri

–          Intensitas nyeri, apakah menyertai pergerakan

–          Sumber nyeri

–          Hal-hal yang dapat mengurangi nyeri.

  1. Spasme otot
  • Spasme otot (kram/kontraksi otot involunter)
  • Spasme otot dapat disebabkan iskemi jaringan dan hipoksia.
  • Tindakan keperawatan :
  1. Rubah posisi
  2. Letakkan guling kecil di bawah pergelangan kaki dan lutut
  3. Berikan ruangan yang cukup hangat
  4. Hindari pemberian obat sedasi berat → dapat menurunkan aktivitas pergerakan selama tidur
  5. Beri latihan aktif dan pasif sesuai program

INTERVENSI

  1. Istirahat
  • Istirahat adalah intervensi utama
  • Membantu proses penyembuhan dan meminimalkan inflamasi, pembengkakan dan nyeri.
  • Pemasangan bidai/gips.
  1. Kompres hangat
  • Rendam air hangat/kantung karet hangat
  • Diikuti dengan latihan pergerakan/pemijatan
  • Dampak fisiologis dari kompres hangat adalah :
    • Perlunakan jaringan fibrosa
    • Membuat relaks otot dan tubuh
    • Menurunkan atau menghilangkan nyeri
    • Meningkatkan suplai darah/melancarkan aliran darah.
  1. Kompres dingin
  • Metoda tidak langsung seperti cold pack
  • Dampak fisiologis adalah vasokonstriksi dan penerunan metabolic
  • Membantu mengontrol perdarahan dan pembengkakan karena trauma
  • Nyeri dapat berkurang, dapat menurunkan aktivitas ujung saraf pada otot
  • Harus hati-hati, dapat menyebabkan jaringan kulit nekrosis
  • Tidak sampai > 30 menit.

Asuhan Keperawatan  TRAUMA BLADDER

A.    Definisi

Trauma tumpul atau penetrasi perlukaan pada bladder yang mungkin dapat/tidak dapat menyebabkan ruptur bladder. Trauma bladder sering berhubungan dengan kecelakaan mobil saat sabuk pengaman menekan bladder, khususnya bladder yang penuh.

B.     Etiologi dan faktor resiko

Kandung kencing yang penuh dengan urine dapat mengalami rupture oleh tekanan yang kuat pada perut bagian bawah. Cidera ini umumnya terjadi karena pemakaian sabuk pengaman pada klitis.

Manifestasi klinik

Trauma bladder selalu menimbulkan nyeri pada abdomen bawah dan hematuria. Jika klien mempunyai riwayat trauma pada abdomen, itu merupakan faktor predisposisi trauma bladder. Klien dapat menunjukkan gejala kesulitan berkemih.

Test diagnostik  pada trauma bladder meliputi IVP dengan lateral views atau CT scan saat bladder kosong dan penuh, atau csytogram. Jika darah keluar dari meatus, disrupsi uretral mungkin telah terjadi. Pada kasus ini, klien tidak boleh dikateterisasi sampai dilitis.

C.    Manifestasi klinik

Trauma bladder selalu menimbulkan nyeri pada abdomen bawah dan hematuria. Jika klien mempunyai riwayat trauma pada abdomen, itu merupakan faktor predisposisi trauma bladder. Klien dapat menunjukkan gejala kesulitan berkemih.

Test diagnostik  pada trauma bladder meliputi IVP dengan lateral views atau CT scan saat bladder kosong dan penuh, atau csytogram. Jika darah keluar dari meatus, disrupsi uretral mungkin telah terjadi. Pada kasus ini, klien tidak boleh dikateterisasi sampai disrupsi tersebut teratasi.

D.    Manajemen medis

Tindakan pertama pada trauma bladder adalah insersi kateter foley atau kateter suprapubik untuk memonitor hematuria dan menjaga agar bladder tetap kosong sampai sembuh. Cidera karena contusio atau perforasi kecil dapat diperbaiki dengan pembedahan.

E.     Manajemen keperawatan

Pengkajian terhadap klien yang dicurigai mengalami trauma bladder merupakan hal yang penting. Perawat harus selalu memonitor urine output klien untuk mengetahui jumlah atau adanya hematuria. Perawat harus mencatat penurunan urine output yang berhubungan dengan intake cairan klien. Insersi kateter harus dilakukan secara hati-hati pada klien yang dicurigai mengalami trauma bladder.

F.     Manajemen keperawatan pada klien bedah

Pada pasien post operative, perawat harus mempertahankan drainase urine untuk mencegah tekanan pada jaritan kandung kemih. Karena klien memakai cateter uretra atau suprapubik maka penting diberikan informasi kepada klien tentang perawatan kateter. Kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya harus ditingkatkan sehingga mampu merawat dirinya di rumah. Rujuk untuk perawatan setelah keteter dicabut. Berikan pula informasi mengenai latihan untuk memulihkan fungsi otot-otot kandung kemih.

b. TRAUMA URETRA

Uretra, sama seperti bladder, dapat mengalami cidera/trauma karena fraktur pelvic. Terjatuh dengan benda membentur selangkangan (stradle injury) dapat menyebabkan contusio dan laserasi pada uretra. Misalnya saat jatuh dari sepeda. Trauma dapat juga terjadi saat intervensi bedah. Luka tusuk dapat pula menyebabkan kerusakan pada uretra.

Kerusakan uretra ini diindikasikan bila pasien tidak mampu berkemih, penurunan pancaran urine, atau adanya darah pada meatus. Karena kerusakan uretra, saat urine melewati uretra, proses berkemih dapat menyebabkan ekstravasasi saluran urine yang menimbulkan pembengkakan pada scrotum atau area inguinal yang mana akan menyebabkan sepsis dan nekrosis. Darah mungkin keluar dari meatus dan mengekstravasasi jaringan sekitarnya sehingga menyebabkan ekimosis. Komplikasi dari trauma uretra adalah terjadinya striktur uretra dan resiko impotent. Impotensi terjadi karena corpora kavernosa penis, pembuluh darah, dan suplay syaraf pada area ini mengalami kerusakan.

Penatalaksanaan trauma uretra meliputi pembedahan dengan pemakaian kateter uretra atau suprapubik sebelum sembuh, atau pemasangan kateter uretra/suprapubik dan membiarkan urethra sembuh sendiri selama 2 – 3 minggu tanpa pembedahan. Selama periode tersebut pasien dimonitor untuk terjadinya infeksi atau ekstravasasi urine.

TRAUMA URETER

Lokasi ureter berada jauh di dalam rongga abdomen dan dilindungi oleh tulang dan otot, sehingga cidera ureter karena trauma tidak umum terjadi. Cidera pada ureter kebanyakan terjadi karena pembedahan. Perforasi dapat terjadi karena insersi intraureteral kateter atau instrumen medis lainnya. Luka tusuk dan tembak juga dapat juga membuat ureter mengalami trauma. Dan meskipun tidak umum, tumbukan atau decelerasi tiba-tiba seperti pada kecelakaan mobil dapat merusak struktur ureter. Tindakan kateterisasi ureter yang menembus dinding ureter atau pemasukan zat asam atau alkali yang terlalu keras dapat juga menimbulkan trauma ureter.

Trauma ini kadang tidak ditemukan sebelum manifestasi klinik muncul. Hematuria dapat terjadi, tapi indikasi umum adalah nyeri pinggang atau manifestasi ekstravasasi urine. Saat urine merembes masuk ke jaringan, nyeri dapat terjadi pada abdomen bagian bawah dan pinggang. Jika ekstravasasi berlanjut, mungkin terjadi sepsis, ileus paralitik, adanya massa intraperitoneal yang dapat diraba, dan adanya urine pada luka terbuka. IVP dan ultrasound diperlukan untuk mendiagnose trauma ureter ini. Pembedahan merupakan tindakan utama untuk memperbaiki kerusakan, mungkin dengan membuat anastomosis. Kadang-kadang prosedur radikal seperti uterostomy cutaneus, transureterotomy, dan reimplantasi mungkin dilakukan.

DIAGNOSA PERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL (Post operatif)

  1. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya stoma, aliran/rembesan urine dari stoma, reaksi terhadap produk kimia urine.
  2. Gangguan body image berhubungan dengan adanya stoma, kehilangan kontrol eliminasi urine, kerusakan struktur tubuh ditandai dengan menyatakan perubahan terhadap body imagenya, kecemasan dan negative feeling terhadap badannya.
  3. Nyeri berhubungan dengan disrupsi kulit/incisi/drains, proses penyakit (cancer/trauma), ketakutan atau kecemasan ditandai dengan menyatakan nyeri, kelelahan, perubahan dalam vital signs.
  4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan inadekuatnya pertahanan tubuh primer (karena kerusakan kulit/incisi, refluk urine).
  5. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan trauma jaringan, edema postoperative ditandai dengan urine output sedikit, perubahan karakter urine, retensi urine.
  6. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan struktur body dan fungsinya, response pasangan yang tidak adekuat, disrupsi respon seksual misalnya kesulitan ereksi.
  7. Deficit pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk menangkap informasi, misinterpretasi terhadap informasi ditandai dengan menyatakan miskonsepsi/misinterpretasi, tidak mampu mengikuti intruksi secara adekuat.

KONSEP DASAR Benigne Prostat Hyperplasia

Pengertian Benigne Prostat Hyperplasia

Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD Dr Soetomo, 1994 : 193).

Etiologi/Penyebabnya

Penyebab yang pasti dari terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia sampai sekarang belum diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benigne Prostat Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.

Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya Benigne Prostat Hyperplasia antara lain :

  1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)

Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.

  1. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron

Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia stroma.

  1. Interaksi stroma – epitel

Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.

  1. Penurunan sel yang mati

Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

  1. Teori stem cell

Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.

(Roger Kirby, 1994 : 38).

Anatomi Dan Fisiologi Prostat

Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 – 6 cm, lebar 3 – 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 – 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.

Prostat terdiri dari :

  • Jaringan Kelenjar ®        50  –  70   %
  • 30  –  50  %

    Jaringan Stroma (penyangga)

  • Kapsul/Musculer

Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel – sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.

Patofisiologi

Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).

Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine.Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal (Sunaryo, H. 1999 : 11)

TESTIS USIA LANJUT

PADA FASE AWAL PROSTAT HYPERPLASIA

POLA DAN KUALITAS MIKSI BERUBAH

KONTRAKSI MUSKULUS DESTRUSSOR

TIDAK ADEKUAT (LEMAH)

RETENSIO URINE TOTAL                         RESIDUAL URINE

(FASE DEKOMPENSASI)

NYERI

OLEH TEKANAN TEKANAN INTRA VESIKA URINARIA

INKONTINENSIA PARADOKSA OVERFLOW INCONTINENSIA (TEKANAN INTRA VASKULER URINARIA DARI PADA TEKANAN SPINKTER BERSIFAT KRONIS)

Proses Miksi

Fase pengisian

Pves   :        <  20 cm H2O

Pup    :   60 – 100 cm H2O

Fase ekspulsi :

Isi blader 200 – 300 ml

Mulai terangsang ingin kencing

Reseptor Strecth

Syaraf Otonom PS S2 – 4

Tonus Bladder 60 – 120 cm H2O (ingin kencing)

Up membuka, sp. Eks masih menutup

BPH                    P up meningkat

Kontraksi Detrusor meningkat

Hipertropi

P Ves > P up                                                                 P Ves < P up

Fase Kompensata                                                                    Fase Decompensata

Kualitas miksi masih baik                                                       Retensio Urine

Gejala Benigne Prostat Hyperplasia

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :

  1. Gejala Obstruktif yaitu :
    1. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
    2. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
    3. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
    4. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
    5. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
  1. Gejala Iritasi yaitu :
    1. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
    2. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
    3. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

Derajat Benigne Prostat Hyperplasia

Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :

  1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
  2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.
  3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
  4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.

Pengkajian

Riwayat Keperawatan

  • Suspect BPH ® umur > 60 tahun
  • Pola urinari : frekuensi, nocturia, disuria.
  • Gejala obstruksi leher buli-buli : prostatisme (Hesitansi, pancaran, melemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa) Jika frekuensi dan noctoria tak disertai gejala pembatasan aliran non Obstruktive seperti infeksi.
  • BPH ® hematuri
  1. 1. Pemeriksaan Fisik
  • Perhatian khusus pada abdomen ; Defisiensi nutrisi, edema, pruritus, echymosis menunjukkan renal insufisiensi dari obstruksi yang lama.
  • Distensi kandung kemih
  • Inspeksi : Penonjolan pada daerah supra pubik ® retensi urine
  • Palpasi : Akan terasa adanya ballotement dan ini akan menimbulkan pasien ingin buang air kecil ® retensi urine
  • Perkusi : Redup ® residual urine
  • Pemeriksaan penis : uretra kemungkinan adanya penyebab lain misalnya stenose meatus, striktur uretra, batu uretra/femosis.
  • Pemeriksaan Rectal Toucher (Colok Dubur) ® posisi knee chest

Syarat          :           buli-buli kosong/dikosongkan

Tujuan         :           Menentukan konsistensi prostat

Menentukan besar prostat

  1. 2. Pemeriksaan Radiologi

Pada Pemeriksaan Radiologi ditujukan untuk

  1. Menentukan volume Benigne Prostat Hyperplasia
  2. Menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residual urine
  3. Mencari ada tidaknya kelainan baik yang berhubungan dengan Benigne Prostat Hyperplasia atau tidak

Beberapa Pemeriksaan Radiologi

  1. Intra Vena Pyelografi ( IVP ) : Gambaran trabekulasi buli, residual urine post miksi, dipertikel buli.

Indikasi         : disertai hematuria, gejala iritatif menonjol disertai urolithiasis

Tanda BPH   : Impresi prostat, hockey stick ureter

  1. BOF : Untuk mengetahui adanya kelainan pada renal
  2. Retrografi dan Voiding Cystouretrografi : untuk melihat ada tidaknya refluk vesiko ureter/striktur uretra.
  3. USG : Untuk menentukan volume urine, volume residual urine dan menilai pembesaran prostat jinak/ganas
  1. 3. Pemeriksaan Endoskopi.

  1. 4. Pemeriksaan Uroflowmetri

Berperan penting dalam diagnosa dan evaluasi klien dengan obstruksi leher buli-buli

Q max     : > 15 ml/detik ® non obstruksi

10 – 15 ml/detik ® border line

< 10 ml/detik ® obstruktif

  1. 5. Pemeriksaan Laborat
  • Urinalisis (test glukosa, bekuan darah, UL, DL, RFT, LFT, Elektrolit, Na,/K, Protein/Albumin, pH dan Urine Kultur)

Jika infeksi:pH urine alkalin, spesimen terhadap Sel Darah Putih, Sel Darah Merah atau PUS.

  • RFT ® evaluasi fungsi renal
  • Serum Acid Phosphatase ® Prostat Malignancy

Diagnosa Keperawatan Pre Operasi

  1. Gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi (retensio urine) baik akut maupun kronis berhubungan dengan obstruksi akibat pembesaran prostat/dekompresi otot detrussor ditandai dengan urine menetes, sering buang air kecil, buang air kecil sedikit-sedikit tidak bisa mengosongkan kandung kencing secara total, distensi kandung kencing.
  2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan iritasi mukosa/distensi kandung kencing/kolik renal/infeksi saluran kencing ditandai dengan keluhan nyeri spasme kandung kemih, perubahan tonus otot, merintih kesakitan.
  3. Cemas berhubungan dengan rencana pembedahan dan kehilangan status kesehatan serta penurunan kemampuan sexual ditandai dengan peningkatan tensi, ungkapan rasa takut
  4. Dysfungsi sexual berhubungan dengan obstrusi perkemihan.
  5. Kurang pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi /terbatasnya informasi/informasi yang keliru ditandai dengan pasien sering bertanya, perintah yang tidak dituruti dan perkembangan infeksi tidak dapat dicegah.
  6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering miksi pada malam hari
  7. Resiko injury dan resiko infeksi berhubungan dengan obstruksi perkemihan
  8. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan Dower Cateter yang lama

Diagnosa Keperawatan Post Operasi

  1. Terjadinya perdarahan berhubungan dengan tindakan bedah (reseksi).
  2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan akibat reseksi
  3. Cemas berhubungan dengan proses penyakitnya yang masih dapat kambuh lagi.
  4. Resiko terjadinya retensi urine berhubungan dengan obstruksi saluran kateter oleh bekuan darah/klot.
  5. Resiko terjadinya kelebihan cairan dalam tubuh (Syndroma TUR) berhubungan dengan adanya penyerapan cairan irigasi yang berlebihan.

Perencanaan/Penatalaksanaan

Tujuan: klien tidak akan mengalami berbagai komplikasi dari pengobatan retensi Urine.

Intervensi:

A     Non Pembedahan

  1. Memperkecil gejala obstruksi ® hal-hal yang menyebabkan pelepasan cairan prostat.
1)        Prostatic massage
2)        Frekuensi coitus meningkat
3)        Masturbasi
  1. Menghindari minum banyak dalam waktu singkat, menghindari alkohol dan diuretic mencegah oven distensi kandung kemih akibat tonus otot detrussor menurun.
  1. Menghindari obat-obat penyebab retensi urine seperti : anticholinergic, anti histamin, decongestan.
  1. Observasi Watchfull Waiting

Yaitu pengawasan berkala/follow – up tiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien

Indikasi       : BPH dengan IPPS Ringan

Baseline data normal

Flowmetri non obstruksi

  1. Terapi medikamentosa pada Benigne Prostat Hyperplasia

Terapi ini diindikasikan pada Benigne Prostat Hyperplasia dengan keluhan ringan, sedang dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi pembedahan, tetapi masih terdapat kontra indikasi atau belum “well motivated”. Obat yang digunakan berasal dari Fitoterapi, Golongan Supressor Androgen dan Golongan Alfa Bloker.

  1. Fito Terapi

a)         Hypoxis rosperi (rumput)

b)        Serenoa repens (palem)

c)         Curcubita pepo (waluh )

  1. Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :

a)         Inhibitor 5 alfa reduktase

b)        Anti androgen

c)         Analog LHRH

  1. Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretra-prostatika : Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin
  1. Bila terjadi retensi urine
    1. Kateterisasi ® Intermiten

Indwelling

  1. Dilakukan pungsi blass
  2. Dilakukan cystostomy
  1. Prostetron (Trans Uretral Microwave Thermoterapy/TUMT)

B.    Pembedahan

  1. Trans Uretral Reseksi Prostat           : 90    –   95   %
  2. Open Prostatectomy                         :   5    –   10   %

BPH yang besar (50 – 100 gram) ® Tidak habis direseksi dalam 1 jam.

Disertai Batu Buli Buli Besar (>2,5cm), multiple. Fasilitas TUR tak ada.

Mortalitas Pembedahan BPH

0  –  1  % KAUSA  :  Infark Miokatd

Septikemia dengan Syok

Perdarahan Massive

Kepuasan Klien  :  66 – 95  %

Indikasi Pembedahan BPH

ü        Retensi urine akut

ü        Retensi urine kronis

ü        Residual urine lebih dari 100 ml

ü        BPH dengan penyulit

v        Hydroneprosis

v        Terbentuknya Batu Buli

v        Infeksi Saluran Kencing Berulang

v        Hematuri berat/berulang

v        Hernia/hemoroid

v        Menurunnya Kualitas Hidup

v        Retensio Urine

v        Gangguan Fungsi Ginjal

ü        Terapi medikamentosa tak berhasil

ü        Sindroma prostatisme yang progresif

ü        Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif

v        Flow. Max kurang dari 10 ml

v        Kurve berbentuk datar

v        Waktu miksi memanjang

Kontra Indikasi

  • IMA
  • CVA akut

Tujuan  :

  • Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli
  • Memperbaiki kualitas hidup

1) Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 – 95  %

Dilakukan bila pembesaran pada lobus medial.

Keuntungan :

  • Lebih aman pada klien yang mengalami resiko tinggi pembedahan
  • Tak perlu insisi pembedahan
  • Hospitalisasi dan penyebuhan pendek

Kerugian :

  • Jaringan prostat dapat tumbuh kembali
  • Kemungkinan trauma urethra ® strictura urethra.

2) Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy

® Prostat terlalu besar tetapi tak ada masalah kandung kemih

3) Perianal Prostatectomy

ü        Pembesaran prostat disertai batu buli-buli

ü        Mengobati abces prostat yang tak respon terhadap terapi conservatif

ü        Memperbaiki komplikasi : laserasi kapsul prostat

4) Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy

PRE OPERATIF CARE

Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang pembedahan dan memberikan informasi yang akurat pada klien

  • Type pembedahan
  • Jenis anesthesi ® TUR – P, general / spina anesthesi
  • Cateter : folly cateter, Continuous Bladder Irigation (CBI).

Persiapan orerasi lainnya yaitu :

  • Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH, Gula darah, Elektrolit
  • Pemeriksaan EKG
  • Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG, APG.
  • Pemeriksaan Uroflowmetri ® Bagi penderita yang tidak memakai kateter.
  • Pemasangan infus dan puasa
  • Pencukuran rambut pubis dan lavemen.
  • Pemberian Anti Biotik
  • Surat Persetujuan Operasi (Informed Concern).

POST OPERATIF CARE

Post operatif care pada dasarnya sama seperti pasien lainnya yaitu monitoring terhadap respirasi, sirkulasi dan kesadaran pasien :

  1. Airway     :   Bebaskan jalan fafas

Posisi kepala ekstensi

Breathing            :   Memberikan O2 sesuai dengan kebutuhan

Observasi pernafasan

Cirkulasi : mengukur tensi, nadi, suhu tubuh, pernafasan, kesadaran dan produksi urine pada fase awal (6jam) paska operasi harus dimonitor setiap jam dan harus dicatat.

Bila pada fase awal stabil, monitor/interval bisa 3 jam sekali

Bila tensi turun, nadi meningkat (kecil), produksi urine merah pekat harus waspada terjadinya perdarahan ® segera cek Hb dan lapor dokter.

Tensi meningkat dan nadi menurun (bradikardi), kadar natrium menurun, gelisah atau delir harus waspada terjadinya syndroma TUR ® segera lapor dokter.

Bila produksi urine tidak keluar (menurun) dicari penyebabnya apakah kateter buntu oleh bekuan darah ® terjadi retensi urine dalam buli-buli ® lapor dokter, spoling dengan PZ tetesan tergantung dari warna urine yang keluar dari Urobag. Bila urine sudah jernih tetesan spoling hanya maintennens/dilepas dan bila produksi urine masih merah spoling diteruskan sampai urine jernih.

Bila perlu Analisa Gas Darah

Apakah terjadi kepucatan, kebiruan.

Cek lab : Hb, RFT, Na/K dan kultur urine.

  1. Pemberian Anti Biotika

ü        Antibiotika profilaksis, diberikan bila hasil kultur urine sebelum operasi steril. Antibiotik hanya diberikan 1 X pre operasi + 3 – 4 jam sebelum operasi.

ü        Antibiotik terapeutik, diberikanpada pasien memakai dower kateter dari hasil kultur urine positif. Lama pemberian + 2 minggu, mula-mula diberikan parenteral diteruskan peroral. Setiap melepas kateter harus diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah septicemia.

  1. Perawatan Kateter

Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3 lubang (treeway catheter) ukuran 24 Fr.

Ketiga lubang tersebut gunanya :

  1. untuk mengisibalon, antara 30 – 40 ml cairan
  2. untuk melakukan irigasi/spoling
  3. untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).

Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan merekatkan ke salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2 – 5 kg. Paha ini tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.

Paling lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter dipindahkan ke paha bagian proximal/ke arah inguinal agar tidak terjadi penekanan pada uretra bagian penosskrotal. Guna dari traksi adalah untuk mencegah perdarahan dari prostat yang diambil mengalir di dalam buli-buli, membeku dan menyumbat pada kateter.

Bila terlambat melepas kateter traksi, dikemudian hari terjadi stenosis leher buli-buli karena mengalami ischemia.

Tujuan pemberian spoling/irigasi :

  1. Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.
  2. Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter
  3. Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ

Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling dipercepat dan warna urine harus sering dilihat. Mobilisasi duduk dan berjalan urine tetap jernih, maka spoling dapat dihentikan dan pipa spoling dilepas.

Kateter dilepas pada hari kelima. Setelah kateter dilepas maka harus diperhatikan miksi penderita. Bisa atau tudak, bila bisa berapa jumlahnya harus diukur dan dicatat atau dilakukan uroflowmetri.

Sebab-sebab terjadinya retensio urine lagi setelah kateter dilepas :

  1. Terbentuknya bekuan darah
  2. Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga masih terdapat obstruksi.
  1. TUR – P

Setelah TUR – P klien dipasang tree way folley cateter dengan retensi balon 30 – 40 ml. Kateter di tarik untuk membantu hemostasis

Intruksikan klien untuk tidak mencoba mengosongkan bladder Otot bladder kontraksi ® nyeri spasme

CBI (Continuous Bladder Irigation) dengan normal salin ® mencegah obstruksi atau komplikasi lain CBI – P. Folley cateter diangkat 2 – 3 hari berikutnya

Ketika kateter diangkat timbul keluhan : frekuensi, dribbling, kebocoran ® normal

Post TUR – P : urine bercampur bekuan darah, tissue debris ® meningkat ® intake cairan minimal 3000 ml/hari ® membantu menurunkan disuria dan menjaga urine tetap jernih.

  1. OPEN PROSTATECTOMY

Resiko post operative bleeding pada 24 jam pertama oleh karena bladder spsme atau pergerakan

Monitor out put urine tiap 2 jam dan tanda vital tiap 4 jam

Arterial bleeding ® urine kemerahan (saos) + clotting

Venous bleeding ® urine seperti anggur ® traction kateter

Vetropubic prostatectomy

Observasi : drainage purulent, demam, nyeri meningkat ® deep wound infection, pelvic abcess

Suprapubic prostatectomy

ü        Perlu Continuous Bladder Irigation via suprapubic ® klien diinstruksikan tetap tidur sampai Continuous Bladder Irigation dihentikan

ü        Kateter uretra diangkat hari 3 – 4 post op

ü        Setelah kateter diangkat, kateter supra pubic di clamp dan klien disuruh miksi dan dicek residual urine, jika residual urine ± 75 ml, kateter diangkat

EVALUASI

Kreteria yang diharapkan terhadap diagnosis yang berhubungan dengan obstruksi urinari adalah  :

  1. Mengatasi obstruksi urine tanpa infeksi atau komplikasi yang permanen
  2. Tidak mengalami tekanan atau nyeri berkepanjangan
  3. Mengungkapkan penurunan atau tak adanya kecemasan tentang retensio urine.
  4. Menunjukan tingkat fungsi sexual kembali sebagaimana sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press. Surabaya

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

TINJAUAN KASUS

  1. I. PENGKAJIAN

Waktu                     : 2 April 2002

Tempat                    : Ruang Bedah D Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo.

1.         IDENTITAS PASIEN

Nama                                         : Tn. Ramlan Siswandi

Umur                                         : 66 Tahun

Jenis Kelamin                            : Laki-laki

Suku/Bangsa                             : Jawa/Indonesia

Agama                                       : Islam

Pekerjaan                                   : Wiraswasta

Pendidikan                                : SR

Alamat                                      : Tambak Segaran Wetan Gang Buntu No. 32 Surabaya.

Tanggal MRS                            : 1 April 2002 jam 10.30 WIB.

Cara Masuk                               : Lewat Poliklinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Diagnosa Medis                        : Benigne Prostat Hyperplasia Grade II

Alasan Dirawat                         : Akan dioperasi/tidak dapat buang air kecil

Keluhan Utama                         : Sulit buang air kecil

Upaya yang telah dilakukan     : Tanggal 18 Maret Dibawa ke IRD Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya

Terapi/operasi yang pernah dilakukan : Dipasang Dower Kateter

  1. 2. RIWAYAT KEPERAWATAN (NURSING HISTORY)

1) Riwayat Penyakit Sekarang

Karena tidak dapat buang air kecil kemudian dipasang Dower Catheter Tanggal 18 Maret 2002 (dua minggu sebelum MRS) sampai sekarang menunggu rencana operasi tanggal 8 April 2002.

2) Riwayat Penyakit Dahulu

Dahulu pernah menderita asthma bronchiale, serangan terakhir + 1 tahun yang lalu. Sejak + 1 tahun yang lalu keluar benjolan di lipatan paha kanan dan kiri. Sebelah kanan lebih besar, terutama bila mengejan, tetapi masih bisa keluar-masuk. Tanggal 18 Maret 2002 (dua minggu sebelum MRS) Klien datang ke IRD dengan keluhan tidak bisa buang air kecil, kemudian di sana dipasang Dower Catheter sampai sekarang.

3) Riwayat Kesehatan Keluarga

Klien mengatakan bahwa tidak ada keluarganya yang mengalami penyakit seperti yang dideritanya sekarang ini

4) Keadaan Kesehatan Lingkungan

Klien mengatakan bahwa Lingkungan rumah tempat tinggal cukup bersih

5) Riwayat Kesehatan Lainnya

Alat bantu yang dipakai ® Lensa kontak

  1. 3. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK

1) Keadaan Umum baik

2) Tanda-tanda vital

Suhu                  : 36,8 0C

Nadi                  : 120 X/menit. Kuat dan teratur

Tekanan darah   : 140/80 mmHg.

Respirasi            : 20 x/menit

3) Body Systems

(1) Pernafasan (B 1 : Breathing)

Frekuensi 20 x/menit, Irama teratur, tidak terlihat gerakan cuping hidung, tidak terlihat Cyanosis, tidak terlihat keringat pada dahi, hasil thorax foto KP dengan curiga multipel bulla paru kanan serta efusi pleura kanan/minimal

(2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)

Nadi 120 X/menit kuat dan teratur, tekanan darah 140/80 mmHg, Suhu 36,8 0C, perfusi hangat. Cor S1 S2 tunggal reguler, ekstra sistole/murmur tidak ada

Hasil ECG : RBBB ® tapi tidak perlu terapi

(3) Persyarafan (B 3 : Brain)

Tingkat kesadaran (GCS) Membuka mata : Spontan (4)

Verbal : Orientasi baik (5)

Motorik : Menurut perintah (6)

Compos Mentis : Pasien sadar baik

(4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B.4 : Bladder)

Terpasang polly kateter, Jumlah urine 1200 cc/24 jam, warna urine kuning pekat, kateter tidak terawat, Kateter belum diganti sejak 14 hari yang lalu,

Genital Hygiene cukup bersih.

Hasil BOF :Tak tampak batu radiopague sepanjang tractus urinarius

(5) Perkemihan-Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)

Peristaltik normal, tidak kembung, tidak terdapat obstipasi maupun diare, klien buang air besar 1 X/hari

(6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)

Tidak terdapat kontraktur maupun dikubitus

Hasil BOF : Spondilitis lumbalis dan skoliosis ringan vertebra lumbalis.

Pola aktivitas sehari-hari

(1) Pola Persepsi Dan Tata Laksana Hidup Sehatan

Klien jarang menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan, kecuali bila sangat terpaksa Klien terbiasa meminum jamu-jamuan dan obat-obat tradisional.

(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Klien dirumah biasa makan 3 X/hari dengan lauk yang cukup.Klien tidak alergi makanan tertentu. Saat ini klien selalu menghabiskan porsi makanan yang diberikan dan minum air putih sekitar 2 – 3 liter perhari.

(3) Pola Eliminasi

Klien buang air besar 1 X/hari.

Klien buang air kecil saat ini dengan menggunakan polly kateter, Jumlah urine 1200 cc/24 jam, warna urine kuning pekat.

(4) Pola Aktivitas dan latihan

Klien biasanya bekerja diluar rumah, tapi saat ini klien hanya beristirahat di Rumah Sakit sambil menunggu rencana operasi.

(5) Pola tidur.dan Istirahat

Klien kurang tidur baik pada waktu siang maupun malam hari. Klien tampak terganggu dengan kondisi ruang perawatan yang ramai.

(6) Pola Kognitif dan Persepual

Klien mampu melihat dan mendengar dengan baik, klien tidak mengalami disorientasi.

(7) Pola Persepsi Dan Konsep Diri

Klien mengalami cemas karena Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

(8) Pola Hubungan dan Peran

Hubungan dengan keluarga, teman kerja maupun masyarakat di sekitar tempat tinggalnya biasa sangat baik dan akrab.

(9) Pola Reproduksi Seksual

Selama terpasang Dower Cateter Klien tidak dapat melakukan hubungan seksual seperti biasanya.

(10) Pola Penanggulangan Stress

Klien merasa sedikit stress menghadapi tindakan operasi. karena kurangnya pengetahuan tentang Type pembedahan dan Jenis anesthesi.

(11) Pola Tata Nilai dan Kepercayaan

Terpasangnya kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya.

(12) Personal Higiene

Kebiasaan di rumah klien mandi 2 X/hari, gosok gigi 2 X/hari, dan cuci rambut 1 X/minggu.

(13) Ketergantungan

Klien tidak perokok, tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.

Aspek Psikologis

Klien terkesan takut akan penyakitnya, merasa terasing dan sedikit stress menghadapi tindakan operasi.

Aspek Sosial/Interaksi

Hubungan dengan keluarga, teman kerja maupun masyarakat di sekitar tempat tinggalnya biasa sangat baik dan akrab. Saat ini klien terputus dengan dunia luar, kehilangan pencari nafkah (bagi keluarganya), biaya mahal.

Aspek Spiritual

Klien dan keluarganya sejak kecil memeluk agama islam, ajaran agama dijalankan setiap saat. Klien sangat aktif menjalankan ibadah sholat 5 waktu sehari dan aktif mengikuti kegiatan agama yang diselenggarakan oleh masjid di sekitar rumah tempat tinggalnya maupun oleh masyarakat setempat.

Saat ini klien merasa tergangguan pemenuhan kebutuhan spiritualnya

4.         DIAGNOSTIC TEST

Laboratoriun

Hb                               : 15,3 mg/dl             (>13,4 mg/dl)

Leukosit                      : 12.000

BSN                            : 98 mg/dl                (< 140 mg/dl)

2 jam pp                      : 200

BUN                           : 21 mg/dl                (10 – 20)

Serum Creatinin          : 0,7 mg/dl               (0,6 – 1,3)

Kalium                        : 4 mmol/l                (3,5 – 5,2 mmol/l)

Natrium                       : 140 mmol/l            (135 – 146 mmol/l)

Albumin                      : 3,4 gr/dl                 (3,2 – 3,5 gr/dl)

SGOT                          : 21 U/L

SGPT                          : 12 U/L

Bilirubin Direk            : 0,14

Bilirubin Total             : 0,32

  1. 5. ANALISA DAN SINTESA DATA

dATA ETIOLOGI MASALAH
S : Klien mengatakan sedikit stress menghadapi tindakan operasi

Klien mengatakan kurang tidur baik pada waktu siang maupun malam hari.

Klien tampak terganggu tegang dan gelisah dengan kondisi ruang perawatan yang ramai

O : Tensi 140/80 mmHg

Nadi = 120 X/mt.

rencana pembedahan dan kehilangan status kesehatan. Kecemasan
S : Pasien menyatakan belum memahami tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

O : Pasien bertanya-tanya tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

kurangnya informasi yang akurat pada klien Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.
S : Klien mengatakan sudah dua minggu dipasang Dower Kateter

O : Terdapat Kateter yang tersambung dengan urinebag.

pemasangan Dower Cateter yang lama. Resiko tinggi terhadap Infeksi Saluran Kencing.

II.                DIAGNOSA KEPERAWATAN (Berdasarkan Prioritas

  1. Kecemasan berhubungan dengan rencana pembedahan dan kehilangan status kesehatan ditandai dengan

S : Klien mengatakan sedikit stress menghadapi tindakan operasi

Klien mengatakan kurang tidur baik pada waktu siang maupun malam hari.

Klien tampak terganggu tegang dan gelisah dengan kondisi ruang perawatan yang ramai

O : Tensi 140/80 mmHg

Nadi = 120 X/mt.

  1. Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan berhubungan dengan kurangnya informasi yang akurat pada klien ditandai dengan

S : Pasien menyatakan belum memahami tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

O : Pasien bertanya-tanya tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

  1. Resiko tinggi terhadap Infeksi Saluran Kencing.berhubungan dengan pemasangan Dower Cateter yang lama ditandai dengan :

S : Klien mengatakan sudah dua minggu dipasang Dower Kateter.

O : Terdapat Kateter yang tersambung dengan urinebag.

III.     PERENCANAAN TINDAKAN PERAWATAN

Tgl. Diagnosa Keperawatan/Data Penunjang TUJUAN DAN HASIL YANG DIHARAPKAN RENCANA TINDAKAN rasional NAMA PERAWAT / MAHASISWA
2 April 2002 Kecemasan berhubungan dengan rencana pembedahan dan kehilangan status kesehatan.

Data Penunjang :

–            Klien mengatakan sedikit stress menghadapi tindakan operasi. Klien mengatakan kurang tidur baik pada waktu siang maupun malam hari. Klien tampak terganggu tegang dan gelisah dengan kondisi ruang perawatan yang ramai

–            Tensi 140/80 mmHg

–            Nadi = 120 X/mt

Tujuan :

Rasa cemas dapat diatasi/berkurang.

Kriteria :

–            Pasien dapat menyatakan kecemasan yang dirasakan.

–            Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

–            Tensi dan Nadi dalam batas normal.

–            Ekspresi wajah ceria/rileks.

–            Berikan dorongan terhadap tiap-tiap proses kehilangan status kesehatan yang timbul.

–            Berikan privacy dan lingkungan yang nyaman.

–            Batasi staf perawat/petugas kesehatan yang menangani pasien.

–            Observasi bahasa non verbal dan bahasa verbal dari gejala-gejala kecemasan.

–            Temani pasien bila gejala-gejala kecemasan timbul.

–            Berikan kesempatan bagi pasien untuk mengekspresikan perasaannya .

–            Hindari konfrontasi dengan pasien.

–            Berikan informasi tentang program pengobatan dan hal-hal lain yang mencemaskan pasien.

–            Lakukan intervensi keperawatan dengan hati-hati dan lakukan komunikasi terapeutik.

–            Anjurkan pasien istirahat sesuai dengan yang diprogramkan.

–            Berikan dorongan pada pasien bila sudah dapat merawat diri sendiri untuk meningkatkan harga dirinya sesuai dengan kondisi penyakit.

–            Hargai setiap pendapat dan keputusan pasien.

–            Untuk mengurangi rasa cemas

–            privacy dan lingkungan yang nyaman dapat mengurangi rasa cemas.

–            Untuk dapat lebih memberikan ketenangan.

–            Untuk mendeteksi dini terhadap masalah

–            Untuk mengurangi rasa cemas

–            Kemampuan pemecahan masalah pasien meningkat bila lingkungan nyaman dan mendukung diberikan.

–            Untuk mengurangi ketegangan pasien

–            Informasi yang diberikan dapat membantu mengurangi kecemasan/ansietas

–            Untuk menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan

–            Untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan pasien

–            Untuk mengurangi ketergantungan pasien

–            Untuk meningkatkan harga diri pasien.

S  u  b  h  a  n

3 April 2002 Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan berhubungan dengan kurangnya informasi yang akurat pada klien.

Data Penunjang :

–            Pasien menyatakan belum memahami tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

–            Pasien bertanya-tanya tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

Tujuan :

Pengetahuan pasien tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan meningkat

Kriteria

–            Pasien dapat menjelaskan kembali tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan diagnostik.

–            Pasien tidak bertanya lagi tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

–            Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

–            Berikan penjelasan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

–            Berikan kesempatan pasien dan keluarga untuk mengekspresikan perasaannya dan mengajukan pertanyaan terhadap hal-hal yang belum dipahami.

–            Diskusikan pentingnya banyak minum air putih 3 – 4 liter perhari selama tidak ada kontra indikasi.

–            Batasi aktifitas fisik yang berat.

–            Pengetahuan membantu mengembangkan kepatuhan pasien dan keluarga terhadap rencana terapeutik

–            Untuk menambah pengetahuan pasien

–            Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalah

–            Untuk menambah pengetahuan pasien bahwa cairan dapat membantu pembersihan ginjal

–            Untuk mencegah kekambuhan Hernia yang juga dideritanya

S  u  b  h  a  n

4 April 2002 Resiko tinggi terhadap Infeksi Saluran Kencing berhubungan dengan pemasangan Dower Cateter yang lama Tujuan :

Infeksi dapat dicecah

Kriteria hasil :

–          Mencapai waktu operasi tidak mengalami tanda infeksi.

–            Pertahankan sistem kateter steril, Berikan betadine pada kateter dan ujung uretra kemudian tutup dengan kasa

–            Observasi tanda dan gejala Infeksi Saluran Kencing

–            Kolaborasi dengan dokter untuk penggantian Dower Kateter atau pemberian obat Antibiotika

–            Mencegah masuknya bakteri dan infeksi/sepsis lanjutan

–            Mendeteksi infeksi sejak dini

–            Untuk mengurangi kemungkinan reseko Infeksi Saluran Kencing.

S  u  b  h  a  n

IV.     IMPLEMENTASI/TINDAKAN KEPERAWATAN

Tgl. Jam TINDAKAN KEPERAWATAN NAMA PERAWAT / MAHASISWA
2 April 2002 18.00 WIB –            Memberikan dorongan terhadap tiap-tiap proses kehilangan status kesehatan yang timbul.

–            Memberikan privacy dan lingkungan yang nyaman.

–            Membatasi staf perawat/petugas kesehatan yang menangani pasien.

–            Mengobservasi bahasa non verbal dan bahasa verbal dari gejala-gejala kecemasan.

–            Menemani pasien bila gejala-gejala kecemasan timbul.

–            Memberikan kesempatan bagi pasien untuk mengekspresikan perasaannya .

–            Menghindari konfrontasi dengan pasien.

–            Memberikan informasi tentang program pengobatan dan hal-hal lain yang mencemaskan pasien.

–            Melakukan intervensi keperawatan dengan hati-hati dan lakukan komunikasi terapeutik.

–            Menganjurkan pasien istirahat sesuai dengan yang diprogramkan.

–            Memberikan dorongan pada pasien bila sudah dapat merawat diri sendiri untuk meningkatkan harga dirinya sesuai dengan kondisi penyakit.

–            Menghargai setiap pendapat dan keputusan pasien.

S  u  b  h  a  n

3 April 2002 10.00 WIB –            Mengkaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

–            Memberikan penjelasan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

–            Memberikan kesempatan pasien dan keluarga untuk mengekspresikan perasaannya dan mengajukan pertanyaan terhadap hal-hal yang belum dipahami.

–            Mendiskusikan pentingnya banyak minum air putih 3 – 4 liter perhari selama tidak ada kontra indikasi.

–            Membatasi aktifitas fisik yang berat.

S  u  b  h  a  n

4 April 2002 10.00 WIB –            Mempertahankan sistem kateter steril, memberikan betadine pada kateter dan ujung uretra kemudian tutup dengan kasa

–            Mengobservasi tanda dan gejala Infeksi Saluran Kencing

–            Mengkolaborasi dengan dokter untuk penggantian Dower Kateter atau pemberian obat Antibiotika

S  u  b  h  a  n


V.        EVALUASI

Tgl. Diagnosa Keperawatan Evaluasi NAMA PERAWAT / MAHASISWA
2 April 2002 Kecemasan berhubungan dengan rencana pembedahan dan kehilangan status kesehatan. Rasa cemas dapat diatasi/berkurang.

Kriteria :

–            Pasien dapat menyatakan kecemasan yang dirasakan.

–            Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

–            Tensi dan Nadi dalam batas normal.

–            Ekspresi wajah ceria/rileks.

S  u  b  h  a  n

3 April 2002 Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan berhubungan dengan kurangnya informasi yang akurat pada klien. Pengetahuan pasien tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.meningkat

Kriteria

–            Pasien dapat menjelaskan kembali tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

–            Pasien tidak bertanya lagi tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.

S  u  b  h  a  n

4 April 2002 Resiko tinggi terhadap Infeksi Saluran Kencing berhubungan dengan pemasangan Dower Cateter yang lama Infeksi dapat dicecah

Kriteria hasil :

–            Mencapai waktu operasi tidak mengalami tanda infeksi.

S  u  b  h  a  n

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian

HIV adalah virus yang mengakibatkan AIDS. AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain itu penderiat aids sering kali menderita keganasan, khususnya sarkoma kaposi dan limfoma yang hanya menyerang otak.

2. Etiologi

HIV, yang dahulu disebut virus limfotrofik sel-T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk ke dalam sel pejamu. HIV-1 dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan HIV-1 menjadi penyebab utama AIDS di seluruh dunia.

Genom HIV mengode sembilan protein yang esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus (Gbr. 15-1). Dari segi struktur genomik, virus-virus memiliki perbedaan yaitu bahwa protein HIV-1,Vpu, yang membantu pelepasan virus, tampaknya diganti oleh protein Vpx pada HIV-2. Vpx meningkatkan infeksi-vitas (daya tular) dan mungkin merupakan duplikasi dari protein lain, Vpr. Vpr diperkirakan meningkatkan transkripsi virus. HIV-2, yang pertama kali diketahui dalam serum dari para perempuan Afrika Barat (warga Senegal) pada tahun 1985, menyebabkan penyakit klinis tampaknya kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1 (Marlink, 1994).

3. Cara Penularan

1.Cara penularan HIV  ada tiga :

Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral, ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi,. Lebih mudah terjadi penularan bila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis, gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Resiko pada seks anal lebih besar disbanding seks vaginal dan resiko juga lebih besar pada yang reseptive dari pada yang insertive.

2.Kontak langsung dengan darah / produk darah / jarum suntik.

a. Transfusi darah yang tercemar HIV

b.Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan sempritnya pada para pencandu narkotik suntik.

c. Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan.

3.Secara vertical dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selam hamil, saat melahirkan ataupun setelah melahirkan.

4. Gejala klinis dan kriteria diagnosis

Gejala penderita AIDS dapat ringan sampai berat. Pembagian tingkat klinis penyakit infeksi HIV. Dibagi sebagai berikut:

I Tingkat klinis 1 (asimptomatik / Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP)).

1. Tanpa gejala sama sekali.

2. LGP

Pada tingkat ini penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan aktivitas normal.

II Tingkat klinis 2 (dini)

  1. Penurunan berat badan kurang dari 10%.
    1. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya delmatitis seboroid, prurigo, onikomikosis, ulkus pada mulut yang berulang dan keilitis angularis.
  2. Helpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir.
  3. Infeksi saluran bagian atas berulang, misalnya sinositi

Pada tingkat ini penderita sudah menunjukkan gejala, tetapi aktivitas tetap normal.

III. Tingkat klinis 3 (menengah)

1. Penurunan berat badan lebih dari 10 %.

2. Diare kronik lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui sebabnya.

3. Demam yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang timbul maupun terus menerus.

4. Kandidosis mulut.

5. Bercak putih berambut di mulut (Hairy Leukoplakia).

6. Tuberkulosis paru setahun terakhir.

7. Infeksi bakterial berat, misalnya Pneumonia.

IV Tingkat klinis 4 (lanjut)

  1. Badan menjadi kurus.
    1. Pnemonia Pneumocystis carinii.
    2. Toksoplasmosis.
    3. Kriptokokosis dengan diare lebih dari 1 bulan.
    4. Kriptokokosis di luar paru.
    5. Infeksi sitomegalo virus pada organ tubuh kecuali di limfa, hati atau kelenjar getah bening.
    6. Infeksi virus herpes simpleks di mukokutans lebih dari 1 bulan atau di alat dalam (viseral) lamanya tidak dibatasi.
    7. Mikosis apa saja (misalnya histoplasmosis, koksidiomikosis) yang endemik, yang menyerang banyak organ tubuh (diseminata).
  2. Kandidosis esofagus, trakea, bronkus / paru.

10.  Mikobakteriosis atipik diseminata.

11.  Septikemia salmonella non tifoid.

12.  Tuberkulosis di luar paru.

13.  Limfoma.

14.  Sarkoma kaposi.

15.  Ensefalopati HIV, sesuai dengan kriteria CDC, yaitu gangguan kognitif atau motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari, progresif sesudah beberapa minggu atau bulan, tanpa dapat ditemukan penyebab lain kecuali HIV.

5. Perlekatan Virus

Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat (Gbr. 15-3). Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis-ganda yang mengandung banyak tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein : gp120 dan gp41. Gp mengacu kepada glikoprotein, dan angka mengacu kepada masa protein dalam ribuan dalton. Gp120 adalah selubung permukaan eksternal duri, dan gp41 adalah bagian transmembran.

Terdapat suatu protein matriks yang disebut p17 yang mengelilingi segmen bagian dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut p24. Di dalam kapsid, p24, terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed reverse transckiptase, integrase, dan protease yang sudah terbentuk. HIV adalah suatu retrovirus, sehingga materi genetik berada dalam bentuk RNA bukan DNA, Reverse transcriptase adalah enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk de sel sasaran. Enzim-enzim lain yang menyertai RNA adalah integrase dan protease.

HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki molekul reseptor membran CD4 (Gbr. 15-4). Sejauh ini, sasaran yang disukai oleh HIV adalah limfosit T penolong positif-CD4, atau sel T4 (limfosit CD4+). Gp120 HIV berikatan dengan kuat dengan limfosit CD4+ sehingga gp41 dapat memerantarai fusi membran virus ke membran sel. Baru-baru, ini ditemukan bahwa dua koreseptor permukaan sel, CCR5 atau CXCR4 diperlukan, agar glikoprotein gp120 dan gp41 dapat berikatan dengan reseptor CD4+ (Doms, Peiper, 1997). Koreseptor ini menyebabkan perubahan-perubahan konformasi  sehingga gp41 dapat masuk ke membran sel sasaran. Individu yang mewarisi dua salinan defektif gen reseptor CCR5 (homozigot) resisten terhadap timbulnya AIDS, walaupun berulang kali terpajan HIV (sekitar 1% orang Amerika keturunan Caucasian). Individu yang heterozigot untuk gen defektif ini (18 sampai 20%) tidak terlindungi dari AIDS, tetapi awitan penyakit agak melambat.  Belum pernah ditemukan homozigot pada populasi Asia atau Afrika, yang mungkin dapat membantu menerangkan mengapa mereka lebih rentan terhadap infeksi HIV (O’Brien, Dean, 1997).

Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monosit dan makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi sebagai reservaor untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia (Levy, 1994), seperti sel natural killer (NK), limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel Langerhans, sel dendritik (yang  terdapat di permukaan mukosa tubuh), sel mikroglia, dan berbagai jaringan   tubuh.

Setelah virus berfungsi dengan limfosit CD4+, maka berlangsung serangkaian proses klompleks yang, apabila berjalan lancar, menyebabkan terbentuknya partikel-partikel virus baru dari sel yang terinfeksi. Limfosit CD4+ yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau mungkin mengalami siklus-siklus replikasi sehingga menghasilkan banyak virus. Infeksi limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan sipatogenisitas melalui beragam mekanisme, termasuk apoptosis (kematian sel terprogram), anergi (pencegahan fusi sel lebih lanjut), atau pembentukan sinsitium (fusi sel).

6. Replikasi Virus

Setelah terjadi fusi sel-virus (Gbr. 15-5), RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma limfosit CD4+. Setelah mukleokapsid dilepas, maka terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai-tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. Integrase HIV membantu insersi cDNA virus ke dalam inti sel pejamu, maka dua untai DNA sekarang menjadi provirus (Greene, 1993). Provirus menghasilkan RNA massenger (mRNA), yang meninggalkan inti sel dan masuk ke dalam sitoplasma. Protein-protein virus dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan yang telah mengalami splicing (penggabungan) setelah RNA genom dibebaskan ke dalam sitoplasma. Tahap akhir produksi virus membutuhkan suatu enzim virus yang disebut HIV protease, yang memotong dan menata protein virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus, membentuk partikel virus menular yang menonjol dari sel yang terinfeksi. Sewaktu menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel virus tersebut akan terbungkus oleh sebagian dari membran sel yang terinfeksi. HIV yang baru terbentuk sekarang dapat menyerang sel-sel rentan lainnya di seluruh tubuh.

Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat hanya terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam darah (Embretson et al., 1993; Pantaleo et al., 1993). HIV ditemukan dalam jumlah besar di dalam limfosit CD4+ dan makrofag di seluruh sistem limfoid pada semua tahap infeksi. Partikel-partikel virus juga telah dihubungkan dengan sel-sel dendritik folikular, yang mungkin memindahkan infeksi ke sel-sel selama migrasi melalui folikel-folikel limfoid.

Walaupun selama masa latensi klinis tingkat viremia dan replikasi virus di sel-sel mononukleus darah parifer rendah, namun pada infeksi ini tidak ada latensi yang sejati. HIV secara terus menerus terakumulasi dan bereplikasi di organ-organ limfoid. Sebagian data menunjukan bahwa terjadi replikasi dalam jumlah sangat besar dan pertukaran sel yang sangat cepat, dengan waktu paruh virus dan sel penghasil virus di dalam plasma sekitar 2 hari (Wei et. al., 1995; Ho et al., 1995). Aktivitas ini menunjukkan bahwa terjadi pertempuran terus menerus antara virus dan sistem imun pasien.

7. Respon Imun Terhadap Infeksi HIV

Untuk mengetahui ringkasan respon tubuh terhadap tantangan imunologik, lihat Bab 5. Pada infeksi HIV, baik respons imun humoral maupun selular ikut berperan.

Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein virus. Ditemukan antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya, enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di dalam darah dijumpai kelas antibodi imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi seiring dengan menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi  utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian besar orang yang terinfeksi HIV dalam 6 bulan setelah pajanan. Namun, antibodi HIV tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan perlindungan terhadap infeksi lebih lanjut.

Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+. Seperti dibahas dalam Bab 5, limposit T CD+ diaktifkan oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti interleukin-2 (IL-2), yang membantu merangsang sel B untuk membelah dan berdiferensiasi  menjadi sel plasma. Sel-sel plasma ini kemudian menghasilkan imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang merangsangnya. Sitokin IL-2 hanyalah salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi respons imun baik humoral maupun selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi fungsi sitokin dalam infeksi HIV masih terus diteliti, namun sitokin jelas penting dalam aktivitas intrasel. Sebagai contoh, penambahan sitokin IL-12 (faktor stimulasi sel NK) tampaknya melawan penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang terjadi pada infeksi HIV. Sel-sel NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel inilah yang mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.

Riset-riset terakhir menunjang peran sitotoksik dan supresor sel CD8 dalam infeksi HIV. Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8 sangat hebat pada awal infeksi HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di dalam limfosit CD4+. Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di antara orang yang berbeda tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan perkembangan penyakit. Aktivitas antivirus sel CD8 menurun seiring dengan perkembangannya penyakit. Dengan semakin beratnya penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai hipotesis tentang penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas berikut ini :

Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak terbantahkan. Seperti dibahas sebelumnya dan di Bab 5, limfosit CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar proses-proses misalnya produksi imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon gama berperan penting dalam imunitas selular. Pada kondisi normal, limfosit CD4+ mengeluarkan interferon gama yang menarik makrofag dan mengintensifkan reaksi imun terhadap antigen. Namun, apabila limfosit CD4+ tidak berfungsi dengan benar maka produksi interferon gama akan menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak saja produksi sel plasma tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan replikasi-diri populasi limfosit CD4+.

Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui, namun dapat diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis, anergi, pembentukan sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-mediated cytotoxicity (ADCC, sitotoksisitas yang dependen antibodi dan diperantarai oleh komplemen) mungkin salah satu efek imun humoral yang membantu menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi oleh HIV. Antibodi terhadap dua glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel seperti sel NK kemudian bertindak untuk  mematikan sel yang terinfeksi.

Apoptosis adalah salah satu dari beberapa teori yang diajukan untuk menjelaskan berkurangnya secara mencolok limfosit CD4+ dalam darah sepanjang perjalanan penyakit HIV. Banyak limfosit CD4+ tampaknya melakukan ‘bunuh diri’ saat dirangsang oleh suatu bahan pengaktif atau oleh gangguan pada sinyal pengaktif (Gougeon, Montagnier, 1993).  Limfosit CD4+ juga mungkin tidak mampu membelah diri sehingga timbul fenomena yang disebut  anergi. Teori lain menyatakan adanya peran pembentukan sinsitium. Pada  pembentukan sinsitium terinfeksi berfusi dengan sel-sel yang terinfeksi “the bystander effect” (“efek peluru nyasar”; Weiss,  1993) sehingga mengeliminasi banyak sel yang tidak terinfeksi. Akhirnya, menurunnya jumlah limfosit CD4+ mungkin disebabkan oleh terbentuknya virus-virus baru melalui proses pembentukan tunas; virus-virus tersebut menyebabkan rupturnya membran limfosit CD4+, yang secara efektif mematikan sel tersebut.

Apapun teori yang menjelaskan berkurangnya  limfosit CD4+, gambaran utama pada infeksi tetaplah deplesi sel-sel tersebut. Deplesi limfosit CD4+ tersebut bervariasi di antara para pengidap infeksi HIV. Sebagian dari faktor yang memengaruhi variasi ini adalah fungsi sistem imun penjamu, adanya faktor lain di pejamu (misal, penyakit kongenital atau metabolik, defisiensi gizi, patogen lain), atau perbedaan strain virus (Schattner, Laurence, 1994).

8. PERKEMBANGAN KLINIS

Fase Infeksi

AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV” (Gbr. 15-6, Tabel 15-2, Kotak 15-2). Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun, pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain. Fase ini disebut “window period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.

Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif. Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer (Levy, 1994). Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien yang bersangkutan.

Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik. Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun, kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten.

Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah turun di bawah 300 sel /µl (Levy, 1994). Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini (lihat Tabel 15-2 dan Kotak 15-2)

CDC telah menambahkan hitung limfosit CD4+ yang kurang dari 200/µl sebagai kriteria tunggal untuk diagnosis AIDS, apapun kategori klinisnya, asimtomatik atau simtomatik. Adanya salah satu dari penyakit-penyakit indikator-AIDS, sesuai definisi CDC, menunjukkan kasus AIDS yang harus dilaporkan. Saat CDC memperluas definisi ini pada tahun 1993, tiga penyakit klinis ditambahkan : tuberkulosis paru, pneumonia rekuren, dan kanker seviks invasif. Penyakit-penyakit ini menyertai 23 penyakit lain yang termasuk dalam definisi kasus yang dipublikasikan tahun 1987.

9. Manifestasi Klinis

AIDS memiliki beragam manifestasi klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi oportunistik yang khas.

10. Keganasan

Sarkoma Kaposi (SK) adalah jenis keganasan yang tersering dijumpai pada laki-laki homoseks atau biseks yang terinfeksi oleh HIV (26%), tetapi jarang pada orang dewasa lain (kurang dari 2%) dan sangat jarang pada anak. SK adalah manifestasi proliferasi berlebihan sel gelondong yang diperkirakan berasal dari sistem vaskular dan memiliki kesamaan gambaran dengan sel endotel dan sel otot polos. SK umumnya timbul secara multisentrik berupa nodus-nodus asimtomatik (yaitu, suatu angiosarkoma). Bukti kuat mengisyaratkan bahwa SK disebabkan oleh suatu nikroorganisme menular seksual, virus herpes manusia tipe 8 (HHV8) atau virus herpes terkait-sarkoma Kaposi, dan bukan HIV. HHV8 menyebabkan orang yang terinfeksi rentan mengalami SK (serupa dengan virus papiloma manusia yang mempermudah timbulnya kanker seviks pada orang yang terinfeksi). Lesi berupa bercak-bercak merah keunguan di kulit, tetapi warna juga mungkin bervariasi dari ungu tua, merah muda, merah, sampai merah-coklat (lihat Gambar Berwarnha 1 sampai 3). Selain di kulit, SK juga ditemukan di tempat lain misalnya saluran cerna (GI), kelenjar getah bening, dan paru. SK dapat menyebabkan kerusakan struktural dan fungsional, misalnya limfedema dan malabsorpsi. Apabila SK terlokalisir terutama di kulit, maka bedah beku, bedah laser, dan eksisi bedah mungkin bermanfaat, tetapi radioterapi adalah terapi pilihan untuk penyakit lokal. Obat kemoterapi seperti vinblastin, vinkrestin, bleomisin, dan doksorubisin memberikan angka keberhasilan yang bervariasi. Dari berbagai zat stimulan imun yang bersedia, interferon adalah yang paling efektif karena memiliki efek antivirus, antiproliferasi, dan imunostimulasi.

Sebagian besar limfoma maligna adalah tumor sel B dengan stadium patologik tinggi, termasuk small noncleaved lymphoma dan limfoma Burkitt atau limfoma mirip Burkitt (lihat Gambar Berwana 4). Temuan umum adalah timbulnya gejala-gejala berupa demam, penurunan berat, dan keringat malam, yang mungkin disebabkan oleh keganasan. Pasien yang mengidap limfadenopati genelirasata persisten (PGL) berisiko besar mengalami limfoma maligna.

Gejala dan tanda awal limfoma sistem saraf pusat (SPP) primer mencakup nyeri kepala, berkurangnya ingatan jangka-pendek, kelumpuhan saraf kranialis, hemiparesis, dan perubahan kepribadian. Gangguan-gangguan ini dapat disebabkan oleh letak tumor, edema, atau adanya penyakit penyerta. Lesi desak- ruang harus dibedakan dari lesi lain, terutama toksoplasmosis.

Kanker servis invasif adalah suatu keganasan ginekologik yang berkaitan dengan penyakit HIV kronik yang dimasukkan dalam definisi kasus sejak tahun 1993. Displasia serviks mengenai 40% perempuan yang terinfeksi oleh HIV (Fauci, Lane, 1998). Displasia serviks disebabkan oleh virus papiloma manusia yang berkorelasi dengan timbulnya kanker invasif di kemudian hari. Dengan demikian, pada perempuan yang terinfeksi oleh HIV harus dilakukan apusan Papa nicolaou atau pemeriksaan kolposkopik setiap 6 bulan untuk mendeteksi kanker seviks pada stadium dini. Pada perempuan dengan AIDS, kanker serviks menjadi sangat agresif.

Keganasan-keganasan lain yang pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV adalah mieloma multipel, leukemia limfositik akut sel B, limfoma limfoblastik T, penyakit Hodgkin, karsinoma anus, karsinoma sel skuamosa di lidah, karsinoma adenoskuamosa paru, adenokarsinoma kolon dan pankreas, dan kanker testis. Harus dilakukan lebih banyak riset untuk mengetahui secara umum dampak infeksi HIV pada perjalanan penyakit keganasan atau penyakit kronik lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.

11. Infeksi

AIDS menyebabkan destruksi progresif fungsi imun. Namun, morbiditas dan mortalitas terutama disebabkan oleh infeksi oportunistik yang timbul karena gagalnya surveilans dan kerja sistem imun. Pasien dengan AIDS rentan terhadap beragam infeksi protozoa, bakteri, fungus, dan virus, dan sebagian dari mikroorganisme ini relatif jarang dijumpai, misalnya Cryptosporidium dan Mycobacterium avium-intracellulare (MAI). Infeksi-infeksi ini bersifat menetap, parah, dan sering kambuh. Pasien biasanya mengidap lebih dari satu infeksi pada suatu saat.

Pneumonia Pncumocystis carinii (PPC) adalah infeksi serius yang paling sering didiagnosis pada pasien dengan AIDS. Gambaran penyakit ini sering atipikal dibandingkan dengan PPC pada pasien kanker. Pada AIDS, gejalanya mungkin hanya demam; gejala lain misalnya intoleransi olah raga, batuk kering nonproduktif, rasa lemah, dan sesak napas bersifat indolen atau berkembang bertahap. Dalam mengevaluasi secara klinis setiap pasien yang terbukti atau dicurigai positif HIV, tingkat kecurigaan akan PPC harus tinggi. Terapi profilaktik atau supresif sangat penting karena keparahan dan kekerapan PPC pada pasien AIDS. Trimetoprim-sulfamatoksazol (Bactrim, Septrim) merupakan obat pilihan. Pentamidin adalah obat alternatif yang dapat diberikan secara parenteral atau dalam bentuk aerosol pada kasus yang ringan.

Pada orang sehat, infeksi oleh Toxoplasma gondii umumnya asimtomatik, walaupun sebagian mengalami limfadenopati. Belum ada profilaksis untuk infeksi ini. Pasien dengan AIDS memiliki risiko 30% terjangkit toksoplasmosis dalam masa 2 tahun, biasanya sebagai reaktivasi infeksi sebelumnya. Agen spesifik yang menentukan reaktivasi tidak diketahui. Pada pasien AIDS, terjadi penyakit SSP yang ditandai dengan lesi tunggal atau jamak yang dapat diamati dengan CT scan.(Gbr. 15-7).

Cryptosporidium, Microsporidium,dan Isospora belli merupakan protozoa yang tersering menginfeksi saluran cerna dan menimbulkan diare pada pasien HIV. Infeksi menular melalui rute feses-oral; kontak seksual, makanan, minuman, atau hewan. Infeksi dapat menimbulkan gejala beragam, dari diare swasirna atau intermiten pada tahap-tahap awal infeksi HIV sampai diare berat yang mengancam nyawa pada pasien dengan gangguan kekebalan yang parah. Berbeda dengan kriptosporidiosis atau mikrosporidiosis, isosporiasis berespons baik terhadap terapi trimetoprim-sulfametoksazol (Bactrim).

Infeksi oleh MAI terjadi secara merata pada semua kelompok risiko dan merupakan penyulit tahap lanjut pada AIDS. Walaupun infeksi ini jelas memberi kontribusi pada morbiditas,namun hubungannya dengan mortalitas masih belum jelas. Gejala mencakup demam, rigor, diare, dan kejang perut. Profilaksis yang dianjurkan untuk MAI masih diperdebatkan, tetapi obat yang paling sering disarankan adalah rifabutin.

Mycobacterium tuberculosis, penyebab tuberculosis (TB), bersifat endemik di lokasi-lokasi geografik tertentu, dan sebagian besar kasus TB-AIDS merupakan reaktivasi infeksi sebelumnya. TB-AIDS biasanya merupakan tanda awal AIDS, terjadi saat sel T relatif masih tinggi (lebih dari 200/µl). Manifestasi TB-AIDS serupa dengan TB normal, dengan 60 sampai 80% pasien mengidap penyakit di paru. Namun, penyakit ekstraparu dijumpai pada 40 sampai 75% pasien dengan infeksi HIV, yaitu terutama dalam bentuk TB limfatik dan TB milier. Pasien berespons baik terhadap regimen obat tradisional yaitu isoniazid (INH), rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Pasien yang berisiko tinggi terjangkit TB mungkin dapat memperoleh manfaat dari pemberian INH profilaksis. Seiring dengan timbulnya AIDS yang disertai menurunnya imunokompetensi, banyak pasien menjadi anergik; dengan demikian uji kulit PPD memiliki masalah tersendiri. Uji PPD yang positif pada orang yang terinfeksi HIV didefinisikan sebagai daerah indurasi dengan garis tengah sama atau lebih besar daripada 5mm, dan uji negatif tidak menyingkirkan infeksi TB. Selain itu, pasien yang terinfeksi HIV dengan biakan sputum positif dan BTA sputum positif mungkin memperlihatkan gambaran radiografi toraks yang normal.

Infeksi fungus mencakup kandidiasis, kriptokokosis, dan histoplasmosis. Kandidiasis oral sering terjadi pada pasien AIDS dan menyebabkan kekeringan dan iritasi mulut (lihat Gambar Berwarna 5 sampai 7). Kandidiasis bronkus, paru, trakea, atau esofagus patognomonik untuk diagnosis AIDS. Pasien jarang mengalami penyakit sistemik. Infeksi Cryptococcus neoformans terjadi pada 7% pasien AIDS, dengan gambaran utama berupa meningitis. Terapi dengan flukonazol hanya menghasilkan profilaksis terbatas baik untuk infeksi Cryptococcus neoformans maupun kandidiasis oral. Pada pasien AIDS, gejala-gejala infeksi Histoplasma capsulatum bervariasi dengan nonspesifik, termasuk demam, menggigil, berkeringat, penurunan berat, mual, muntah, diare, lesi kulit, pneumonitis, dan depresi sumsum tulang. Amfoterisin B digunakan sebagai terapi induksi, dengan dosis yang lebih rendah sebagai pemeliharaan.

Infeksi oportunistik yang disebabkan oleh invasi virus sangat beragam dan merupakan penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi. Infeksi oleh virus herpes simpleks (HSV) pada pasien AIDS biasanya menyebabkan ulkus genital atau perianus yang mudah didiagnosis dengan biakan virus. HSV dapat menyebar melalui kontak kulit langsung. HSV juga menyebabkan esofagitis serta dapat menimbulkan pneumonia dan ensefalitis. Asiklovir adalah obat pilihan untuk HSV dan herpes zoster.

Pada seseorang yang terinfeksi oleh HIV, timbulnya herpes zoster (shingles) dapat menandakan perkembangan penyakit. Infeksi di kulit dan mata mungkin mendahului infeksi-infeksi oportunistik. Setomegalo virus (CMV) sering ditemukan pada pasien AIDS; virus ini menyebabkan penyakit diseminata dengan empat penyakit yang batasannya jelas: korioretinistis (Gmb. 15-8 dan 15-9), enterokolitis, pneunomia, dan adrenalitis. Individu asimtomatik dapat mengeluarkan CMV. Pneumonia CMV sulit dibedakan dari pneumonia lain dan dapat timbul secar simultan dengan patogen lain seperti Pneumocystis carinii. Mungkin terdeteksi gejala-gejala insufisiensi adrenal. Untuk penyakit-penyakit terkait CVM, diindikasikan terapi dengan gansiklovir atau foskarnet (Goldschmidt, Dong, 1995).

Leukoensefalopati miltifokus progresif adalah suatu penyakit yang berkembang secara cepat yang disebabkan oleh suatu papovavirus. Secara klinis, pasien mengalami perubahan kepribadian serta defisit motorik dan sensorik. Gejala-gejala mungkin mencakup nyeri kepala, tumor, gangguan koordinasi dan keseimbangan, kelemahan, dan tanda-tanda lain disfungsi serebelum. Virus Epstein-Barr (EBV) diperkirakan berperan menyebabkan timbulnya leukoplakia oral berambut (lihat Gambar Berwarna 8), pneumonitis pada anak, dan limfoma serta sering ditemukan dari bilasan tenggorok pasien AIDS.

12. Pemeriksaan Laboratorium

Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV. Yang pertama, enzymelinked immunosorbent assay (ELISA), bereaksi terhadap adanya antibodi dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar. Karena hasil positif-palsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif diulang, dan apabila keduanya positif, maka dilakukan uji yang lebih spesifik, Western blot. Uji Western blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinannya memberi hasil positif-palsu atau  negatif-palsu. Juga dapat terjadi hasil uji yang tidak konklusif, misalnya saat ELISA atau Western blot bereaksi lemah dan agak mencurigakan. Hal ini dapat terjadi pada awal infeksi HIV, pada infeksi yang sedang berkembang (sampai semua pita penting pada uji Western blot tersedia lengkap), atau pada reaktivitas-silang dengan titer retrovirus tinggi lain, misalnya HIV-2 atau HTLV-1. Setelah konfirmasi, pasien dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini, dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha-usaha untuk mengendalikan infeksi.

HIV juga dapat dideteksi dengan uji lain, yang memeriksa ada tidaknya virus atau komponen virus sebelum ELISA atau Western blot dapat mendeteksi antibodi. Prosedur-prosedur ini mencakup biakan virus, pengukuran antigen p24, dan pengukuran DNA dan RNA HIV yang menggunakan reaksi berantai polimerase (PCR) dan RNA HIV-1 plasma. Uji-uji semacam ini bermanfaat dalam studi mengenai imunopatogenesis, sebagai penanda penyakit, pada deteksi dini infeksi, dan pada penularan neonatus. Bayi yang lahir dari ibu positif-HIV dapat memiliki antibodi anti-HIV ibu dalam darah mereka sampai usia 18 bulan, tanpa bergantung apakah mereka terinfeksi atau tidak.

13. INTERVENSI TERAPETIK

ANTIRETROVIRUS

Uji-uji yang lebih baru dan sensitif memperlihatkan bahwa replikasi virus HIV berlangsung sepanjang perjalanan infeksi dan dengan tingkatan yang jauh lebih tinggi daripada yang diperkirakan sebelumnya (CDC, 1998d). Banyak peneliti percaya bahwa intervensi terapik dan terapi antiretrovirus (TAR) harus dimulai sedini mungkin. Namun, waktu optimal untuk memulai TAR masih belum diketahui. Terapi yang sekarang berlaku menghadapi masalah membidik berbagai tahapan dalam proses masuknya virus ke dalam sel dan replikasi virus, memanipulasi gen virus untuk mengendalikan produksi protein virus, membangun kembali sistem imun, mengkombinasikan terapi, dan mencegah resistensi obat. Dua pemeriksaan laboratorium, hitung sel T CD4+ dan kadar RNA HIV serum, digunakan sebagai alat untuk memantau risiko perkembangan penyakit dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai atau memodifikasi regimen obat (Gbr. 15-10). Hitung sel T CD4+ memberikan informasi mengenai status imunologik pasien yang sekarang, sedangkan kadar RNA HIV serum (viral load) memperkirakan prognosis klinis (status hitung sel T CD4+ dalam waktu dekat). Hitung RNA HIV sebesar 20.000 salinan /ml (2 x 104) dianggap oleh banyak pakar sebagai indikasi untuk memberikan terapi antiretrovirus berapa pun hasil hitung sel T CD4+. Pengukuran serial kadar RNA HIV dan sel T CD4+ serum sangat bermanfaat untuk mengetahui laju perkembangan penyakit, angka pergantian virus, hubungan antara pengaktivan sistem imun dan replikasi virus, dan saat terjadinya resistensi obat antiretrovirus. Semua bentuk efektif terapi antiretrovirus disebabkan oleh penurunan kadar RNA HIV (Fauci, Lane, 1998).

Di Amerika Serikat (2001), US Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui tiga golongan obat untuk infeksi HIV : (1) inhibitor reverse transcriptase nukleosida (NRTI); (2) inhibitor reverse transcriptase nonnukleosida (NNRTI); dan (3) inhibitor protease (PI) (Tabel 15-3). NRTI menghambat enzim DNA polimerase dependen RNA HIV (reverse transcriptase) dan menghentikan pertumbuhan unti DNA. Contoh-contoh NRTI adalah zidovudin, didanosin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, dan abakavir. NNRT menghambat transkripsi RNA HIV-1 menjadi DNA, suatu langkah penting dalam proses replikasi virus. Obat tipe ini menurunkan jumlah HIV dalam darah (viral load) dan meningkatkan limfosit CD4+. Nevirapin, delaviridin, dan efavirenz adalah contoh-contoh NNRTI. PI menghambat aktivitas protease HIV dan mencegah pemutusan poliprotein HIV yang esensial untuk pematangan HIV. Yang akan terbentuk bukan HIV matang tetapi partikel virus imatur yang tidak menular. Indinavir, ritonavir, nelfinavir, sakuinavir, amprenavir, dan lopinavir adalah contoh-contoh PI. Kelima belas obat antitrovirus ini diberikan dalam dua sampai tiga kombinasi berbeda sesuai temuan riset dan petunjuk spesifik yang dikembangkan oleh the Panel on Clinical Practice and Treatment of HIV Infection yang dibuat oleh US Department of Health and Human Services (DHHS) dan Kaiser Family Foundation (CDC, 1998b) tercantum di Kotak 15-3. Prinsip-prinsip HAART yang sama juga berlaku bagi anak, remaja, atau orang dewasa yang terinfeksi HIV faktor tumbuh kembang dan perubahan dalam parameter-parameter farmakokinetik perlu dipertimbangkan. Pertimbangan lain adalah: (1) akuisisi infeksi melalui pajanan perinatal dan perbedaan dalam evaluasi diagnostik, (2) pajanan ke zidovudin dan obat antiretrovirus lain inutero, dan (3) perbedaan dalam penanda imunologik (yaitu, hitung sel T CD4+ pada anak.

Pengembangan vaksin HIV yang efektif merupakan tantangan yang besar karena HIV memiliki karakteristik yang kompleks dan adanya mutasi genetik. Vaksin ideal seyogyanya dapat memicu imunitas humoral dan selular. Saat ini sudah dimulai (Bolognesi, 1994) dan sedang (CDC, 2001e) dilakukan uji-uji klinis terhadap efektivitas vaksin seiring dengan semakin banyaknya informasi mengenai HIV yang diketahui. Namun, program pencegahan HIV yang terpadu mencakup tidak saja pengembangan vaksin tetapi juga riset dan pendidikan yang ditujukan untuk mencegah penularan virus.

Wadung Indah Permai – Ereksi itu adalah anugerah Yang Maha Kuasa, berbagai cara dilakukan untuk         mendapatkan sebuah ereksi yang maksimal. Mulai dari Berolah raga secara rutin, Makan makanan yang bergizi hingga mengkonsumsi Obat-obatan semacam viagra. Namun apa jadinya kalau “Si Adek” jadi ereksi selamanya dan tidak bisa tidur lagi. Mungkin banyak dari kita yang belum mengetahui gangguan semacam ini. Pripismus, ya, Menurut ilmu kedokteran priapismus merupakan gangguan yang disebabkan oleh adanya gangguan sistem saraf yang berada pada tulang belakang. Hal biasa terjadi pada kejadian kecelakaan lalu lintas, jatuh dari pohon, terpeleset ( yang jatuh terlebih dahulu pada bagian pantat ) dan lain sebagainya. Jadi, mari kita jaga tubuh ini dan berlalu lintas yang baik, karena sebagian besar para priapismus ini merupakan korban kecelakaan lalu lintas yang salah dalam pertolongan pertama. Bisa jadi ketika terjadi fractur tulang belakang cara mengangkat korban ini salah hingga terjadi krepitasi pada sendi tulang belakang yang disitu terdapat berjuta juta sistem syaraf.

Adapun cara pengangannya, seperti yang di ungkapkan www.airahospital.org adalah sebagai berikut :

Priapismus adalah penyakit sudah berjalan lama ereksi abnormal yang disebabkan oleh menghambat aliran keluar dari darah yang penuh kavernosum (dua pembengkakan tubuh dari penis). Hal ini dapat disebabkan oleh abnormal pembekuan darah seperti penyakit ganas seperti leukemia, tetapi sering tidak ada penyebab yang jelas.

Sayangnya pasien datang terlambat ke rumah sakit dengan masalah ini karena hal itu menyebabkan rasa malu yang mendalam kepada orang yang menderita. Lebih disayangkan adalah terlalu umum penundaan oleh profesional medis yang membuang-buang waktu dengan berbagai pengobatan yang tidak efisien sebelum merujuk ke rumah sakit.

Ketika melihat awal – jam setelah debut – kondisi dapat disembuhkan dengan obat sendiri. Namun pasien di sini paling sering minta bantuan medis hanya setelah beberapa hari – atau seminggu – dan kemudian operasi adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan kondisi menyakitkan ini. Prosedur ini sangat sederhana, tetapi tidak dilakukan oleh banyak orang.

Prinsip dasar dari prosedur adalah menciptakan aliran darah untuk terjebak dengan membuat sinus buatan (pembuka) antara dua kavernosum dan korpus spongiosum melalui glans penis. Sinus dibuat dengan menyisipkan pisau No 11 ke dalam kelenjar dan lebih jauh lebih dalam corpus cavernosum didirikan yang menonjol seperti torpedo ke dalam kelenjar di kedua belah pihak. Setelah itu lubang kecil ditutup dengan jahitan.

Bila prosedur ini dilakukan pada kasus-kasus diabaikan gumpalan darah harus dievakuasi dari korporasi dengan suction dan irigasi dengan garam. Saya menggunakan tabung sedotan yang sederhana dan jarum suntik yang besar untuk tujuan itu. ( di terjemahkan melalui google translate )

untuk melihat gambar operasi klik disini

Glomerulonephritis akut

Nefritis atau peradangan ginjal, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering ditemui. Gejala utamanya adalah tampaknya elemen seperti albumin di dalam air seni. Kondisi ini disebut albuminuria. Sel-sel darah merah dan darah putih dan serpihan granular yang kesemuanya tampak dalam pemeriksaan mikroskopik pada air seni.

Gejala ini lebih sering nampak terjadi pada masa kanak-kanak dan dewasa dibanding pada orang-orang setengah baya. Bentuk yang paling umum dijumpai dari nefritis adalah glomerulonefritis. Seringkali terjadi dalam periode 3 sampai 6 minggu setelah infeksi streptokokus.

Penderita biasanya mengeluh tentang rasa dingin, demam, sakit kepala, sakit punggung, dan udema (bengkak) pada bagian muka biasanya sekitar mata (kelopak), mual dan muntah-muntah. Sulit buang air kecil dan air seni menjadi keruh.

Prognosis biasanya dapat menyembuhkan dan penderita sembuh total. Namun pada beberapa orang gejala ini berkembang menjadi kronis. Pada keadaan ini proses kerusakan ginjal terjadi menahun dan selama itu gejalanya tidak tampak. Akan tetapi pada akhirnya orang-orang tersebut dapat menderita uremia (darah dalam air seni.Red) dan gagal ginjal.

Ginjal merupakan salah satu organ paling vital dimana fungsi ginjal sebagai tempat membersihkan darah dari berbagai zat hasil metabolisme tubuh dan berbagai racun yang tidak diperlukan tubuh serta dikeluarkan sebagai urine dengan jumlah setiap hari berkisar antara 1-2 liter. Selain fungsi tersebut, ginjal berfungsi antara lain mempertahankan kadar cairan tubuh dan elektrolit (ion-ion), mengatur produksi sel-darah merah. Begitu banyak fungsi ginjal sehingga bila ada kelainan yang mengganggu ginjal, berbagai penyakit dapat ditimbulkan.

Glomerulonefritis merupakan berbagai kelainan yang menyerang sel-sel penyerang ginjal (sel glomerulus). Glomerulonefritis menahun adalah penyakit paling sering menimbulkan gagal ginjal dikemudian hari. Kelainan ini terjadi akibat gangguan utama pada ginjal (primer) atau sebagai komplikasi penyakit lain (sekunder), misalnya komplikasi penyakit diabetes mellitus, keracunan obat, penyakit infeksi dan lain-lain. Pada penyakit ini terjadi kebocoran protein atau kebocoran eritrosit

Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa. Sebagian besar glomerulonefritis bersifat kronik dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar tampak bersifat imunologis.Glomerulonefritis menunjukkan kelainan yang terjadi pada glomerulus,bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain seperti misalnya tubulus, jaringan interstitial maupun sistem vaskulernya.

Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. Hasil penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.

A. Definisi

Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis.

B. Etiologi

Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe 12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alas an timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina,diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman streptococcus.
Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik akut yang ditandai dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Gejala-gejala ini timbul setelah infeksi kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit. Glomerulonefritis akut pasca streptococcus terutama menyerang pada anak laki-laki dengan usia kurang dari 3 tahun. Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5 % diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga pencegahan dan pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan kejadian penyakit ini. Dengan perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit ini dapat dikurangi.
Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis, keracunan seperti keracunan timah hitam tridion, penyakitb amiloid, trombosis vena renalis, purpura anafilaktoid dan lupus eritematosus.

C. Patogenesis

Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut. Beberapa ahli mengajukan hipotesis sebagai berikut :

1.  Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.

2.  Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan auto-imun yang merusak glomerulus.

3.  Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis ginjal.

D. Klasifikasi

a.  Congenital (herediter)

1.  Sindrom Alport

Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya glomerulonefritis progresif familial yang seing disertai tuli syaraf dankelainan mata seperti lentikonus anterior. Diperkirakan sindrom alport merupakan penyebab dari 3% anak dengan gagal ginjal kronik dan 2,3% dari semua pasien yang mendapatkan cangkok ginjal. Dalam suatu penelitian terhadap anak dengan hematuria yang dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal, 11% diantaranya ternyata penderita sindrom alport. Gejala klinis yang utama adalah hematuria, umumnya berupa hematuria mikroskopik dengan eksasarbasi hematuria nyata timbul pada saat menderita infeksi saluran nafas atas. Hilangnya pendengaran secara bilateral dari sensorineural, dan biasanya tidak terdeteksi pada saat lahir, umumnya baru tampak pada awal umur sepuluh tahunan.

2.  Sindrom Nefrotik Kongenital
Sinroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum lahir. Gejala proteinuria massif, sembab dan hipoalbuminemia kadang kala baru terdeteksi beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian. Proteinuria terdapat pada hamper semua bayi pada saat lahir, juga sering dijumpai hematuria mikroskopis. Beberapa kelainan laboratories sindrom nefrotik (hipoproteinemia, hiperlipidemia) tampak sesuai dengan sembab dan tidak berbeda dengan sindrom nefrotik jenis lainnya.

b.  Glomerulonefritis Primer

1.  Glomerulonefritis membranoproliferasif

Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan gejala yang tidak spesifik, bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien menunjukkan hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya menunjukkan gejala glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata dan sembab, sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala sindrom nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan bagian atas, sehingga penyakit tersebut dikira glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.

2.  Glomerulonefritis membranosa

Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau setelah pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus eritematosus sistemik. Glomerulopati membranosa jarang dijumpai pada anak, didapatkan insiden 2-6% pada anak dengan sindrom nefrotik. Umur rata-rata pasien pada berbagai penelitian berkisar antara 10-12 tahun, meskipun pernah dilaporkan awitan pada anak dengan umur kurang dari 1 tahun. Tidak ada perbedaan jenis kelamin. Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik merupakan 80% sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan hematuria terdapat pada 50-60%, dan hipertensi 30%.

3.  Nefropati IgA (penyakit berger)
Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis akut, sindroma nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada kasus dengan gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati IgA asimtomatis dan terdiagnosis karena kebetulan ditemukan hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria makroskopik biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau non infeksi misalnya olahraga dan imunisasi.

c.  Glomerulonefritis sekunder
Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu glomerulonefritis pasca streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah streptococcus beta hemolitikus grup A yang nefritogenik terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah. Glomerulonefritis pasca streptococcus datang dengan keluhan hematuria nyata, kadang-kadang disertai sembab mata atau sembab anasarka dan hipertensi.

E. Manifestasi Klinis

Penyakit ginjal biasanya dibagi menjadi kelainan glomerulus dan non glomerulus berdasarkan etiologi, histology, atau perubahan faal yang utama. Dari segi klinis suatu kelainan glomerulus yang sering dijumpai adalah hipertensi, sembab, dan penurunan fungsi ginjal. Meskipun gambaran klinis biasanya telah dapat membedakan berbagai kelainan glomerulus dan non glomerulus, biopsi ginjal masih sering dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis pasti.
Tanda utama kelainan glomerulus adalah proteinuria, hematuria, sembab, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal, yang dapat terlihat secara tersendiri atau secara bersama seperti misalnya pada sindrom nefrotik, gejala klinisnya terutama terdiri dari proteinuria massif dan hipoalbuminemia, dengan atau tanpa sembab.

Riwayat Penyakit
Sebagian besar anak dengan kelainan glomrulus menunjukkan proteinuria atau hematuria yang ditemukan pada saat pemeriksaan urine atau hipertensi yang ditemukan pada saat pemeriksaan fisik. Sebagian kecil pasien menunjukkan tanda sembab sebagai gejala awal, sehingga diperlukan perhatian riwayat penyakit pasien dan keluarganya.
Gejala yang sering ditemukan adalah hematuria atau kencing seperti merah daging, kadang-kadang disertai sembab ringan disekitar mata atau seluruh tubuh. Umumnya sembab berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan glomerulonefritis akut pada hari pertama, kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Hipertensi timbul karena vasospasme atau iskemia ginjal, suhu badan tidak tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama.
Riwayat yang spesifik pada anak dengan proteinuria, misalnya sembab periorbital, pratibial, skrotum atau anasarka pada sindroma nefrotik yang pada awalnya berupa sembab muka pada waktu bangun tidur dan menghilang pada siang hari, tetapi kemudian sembab akan menetap bila bertambah hebat atau menjadi anasarka. Hal ini sering dikira sebagai reaksi alergi, bertambahnya berat badan dengan cepat akibat ekspansi cairan ekstraseluler (dengan keluhan pakaian menjadi sempit atau perut buncit) jumlah urine berkurang. Pada kasus yang lebih berat terdapat anoreksia, sakit kepala, muntah dan bahkan kejang kadang disertai tanda penurunan fungsi ginjal seperti anoreksia, apatis, mudah lelah, lambat tumbuh, dan anemia.

Pemeriksaan Fisik
Pada pasien glomerulonefritis akut sangat dianjurkan untuk melakukan pengukuran berat dan tinggi badan, tekanan darah, adanya sembab atau asites. Melakukan pemeriksaan kemungkinan adanya penyakit sistemik yang berhubungan dengan kelainan ginjal seperti atritis, ruam kulit, gangguan kardiovaskular, paru dan system syaraf pusat.
Selama fase akut terdapat vasokonstriksi arteriola glomerulus yang mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi glomerulus juga berkurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat-zat lainnya berkurang dan sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin dalam darah meningkat. Fungsi tubulus relative kurang terganggu, ion natrium dan air diresorbsi kembali sehingga diuresis berkurang (timbul oliguria dan anuria) dan ekskresi natrium juga berkurang. Ureum diresorbsi kembali lebih dari pada biasanya, sehingga terjadi insufiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hidrema dan asidosis metabolik.

Pemeriksaan Laboratorium
Bila ditemukan proteinuria tersendiri (isolated proteinuria), hematuria mikroskopik atau ipertensi ringan pada anak yang tampak sehat, harus dilakukan evaluasi lebih lanjut. Hematuria mikroskopik dan hipertensi ringan biasanya hanya bersifat sementara. Hematuria nyata tanpa gejala lain biasanya berasal dari glomerulus dan bila telah diketahui adanya kelainan yang bermakna, harus segera dilakukan pemeriksaan selanjutnya.
Laju enap darah meninggi, kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air). Pada pemeriksaan urine didapatkan jumlah urine berkurang dan berat jenis urine meninggi. Hematuria makroskopik ditemukan pada 50% penderita, ditemukan juga adanya albumin, eritrosit leukosit, silinder leokosit dan hialin.
Albumin serum sedikit menurun demikian juga komplemen serum (globulin beta-1C) serta ureum dan kreatinin darah meningkat. Anemia sering dijumpai pada gagal ginjal akut atau gagal ginjal kronik. Hematuria harus diukur pada semua anak. Sebanyak 90% anak dengan glomerulonefritis akut menunjukkan peningkatan streptozim dan penurunan komplemen C3. Kadar C3 biasanya normal kembali dalam waktu 4-8 minggu dan steptozim dalam waktu 4-6bulan. Uji fungsi ginjal normal pada 50% penderita.
Biopsi ginjal diperlukan untuk menegakkan diagnosis penyakit glomerulus, sebelum biopsy dilakukan pengukuran besar ginjal dan strukturnya untuk memastikan adanya dua buah ginjal dan menyingkirkan kemungkinan tumor dan kelainan lain yang merupakan indikasi kontra biopsy ginjal.

F. Pengobatan

Pengobatan terpenting adalah suportif, hipertensi dapat diatasi secara efektif dengan vasodilator perifer (hidralasin, nifedipin). Diuretik diperlukan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. Sebagian pasien hanya memerlukan terapi anti hipertensi jangka pendek (beberapa hari sampai beberapa minggu). Pemberian cairan dikurangi, pemberian sedative untuk menenangkan pasien sehingga dapat cukup beristirahat. Pasien dengan gejala encelopati hipertensif memerlukan terapi anti hipertensi yang agresif, diberikan reserpin sebanyak 0,07 mg/kgBB secara intramuskuler. Bila terjadi diuresis 5-10 jam kemudian maka selanjutnya reserpin diberikan per oral dengan dosis 0,03 mg/kgBB/hari.
Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus dikeluarkan dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialysis peritoneum atau hemodialisis. Diuretikum dulu tidak diberikan pada glomeruloefritis akut tetapi akhir-akhir ini pemberian furosemid (lasix) 1mg/kgBB/kali secara intra vena dalam 5-10 menit berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
Pemberian penicillin pada fase akut akan mengurangi menyebarnya infeksi streptococcus yang mungkin masih ada. Pemberian antibiotika ini dianjurkan hanya untuk 10 hari. Pasien glomerulonefritis akut dengan gagal ginjal akut memerlukan terapi yang tepat, pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kortikosteroid dan imunosupresan tidak diberikan oleh karena tidak terbukti berguna untuk pengobatan.
Pada Fase akut diberikan makanan rendah protein (1g/kgBB/hari) dan rendah garam (1g/hari). Makanan lunak diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah normal. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi, dan oliguria maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.

G. Komplikasi

  1. Glomerulonefritis kronik sebagai kelanjutan dari glomerulonefritis akut yang tidak mendapat pengobatan secara tuntas.
  2. Gagal ginjal akut dengan manifestasi oliguria sampai anuria yang dapat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufiiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hiperkalemia. Walaupun oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, jika hal ini terjadi diperlukan peritoneum dialysis (bila perlu).
  3. Enselopati hipertensi merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan karena spasme pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak.
  4. Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya ronkhi basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang buka saja disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium.
  5. Anemia yang timbul karena adanya hipovolemia disamping sintesis eritropoetik yang menurun.

H. Prognosis

Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% diantaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal(ureum dan kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu.
Potter dan kawan-kawan menemukan kelainan sediment urine yang menetap (proteinuria dan hematuria) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di Trinidad.Gejala fisis menghilang dalam minggu ke 2 atau ke 3, kimia darah menjadi normal pada minggu ke 2 dan hematuria mikroskopik atau makroskopik dapat menetap selama 4-6 minggu. LED meninggi terus sampai kira-kira 3 bulan, protein sedikit dalam urine dan dapat menetap untuk beberapa bulan.
Eksaserbasi kadang-kadang terjadi akibat infeksi akut selama fase penyembuhan, tetapi umumnya tidak mengubah proses penyakitnya. Penderita yang tetap menunjukkan kelainan urine selama 1 tahun dianggap menderita penyakit glomerulonefritis kronik, walaupun dapat terjadi penyembuhan sempurna. LED digunakan untuk mengukur progresivitas penyakit ini, karena umumnya tetap tinggi pada kasus-kasus yang menjadi kronis. Diperkirakan 95 % akan sembuh sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari penyakit ini dan 2% menjadi glomerulonefritis kronis.

DAFTAR PUSTAKA

Staf Pengajar IKA UI., Ilmu Kesehatan Anak. Buku 2, Jakarta, Fak Kedokteran UI., 1985

1.  Staf Pengajar IKA UGM., Standar Pelayanan Medis RSUP DR. SARDJITO., Yogyaskarta , Fak Kedokteran UGM, 1999

2.  Dr.Merdias Alinatsir, Buku Saku Segi-Segi Praktis IKA, Jakarta, 1984

3.  Ikatan Dokter Anak Indonesia, Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2, Jakarta, 2002

4.  Staf Pengajar IKA UI, Standar Pelayanan Medis IDAI, Jakarta, 2004

5.  Mansjoer dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Jakarta, 2000

6.  Nini Soemyarso dan kawan kawan, lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RSU Dr.Soetomo, Surabaya. http://www.yahoo.com

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.  LATAR BELAKANG

Sectio cesarea merupakan pembedahan obstetik untuk melahirkan janin yang viabel melalui abdomen. Tindakan yang dilakukan tersebut bertujuan untuk melahirkan bayi dengan membuka dinding rahim ( Hellen Farrer, 2001 ). Ada beberapa indikasi dilakukan sectio cesarea diantaranya distress janin posisi sungsang, distosia dan persalinan sebelumnya. Sectio cesarea memiliki dua sampai empat kali angka kematian ibu dibanding dengan persalinan pervagina, sehingga sectio cesarea menjadi hal yang menakutkan dikalangan masyarakat dahulu (Persis Mary Hamilton, 1995 ).

Seiring berjalannya waktu serta perkembangan ilmu kedokteran khususnya kebidanan, pandangan tersebut kemudian bergeser. Kini, sectio cesarea sering dilakukan tanpa ada indikasi medis sehingga mereka memilih persalinan dengan cara sectio cesarea daripada alami. Hal diatas menyebabkan angka persalinan dengan cara cesarea mengalami peningkatan hingga 25% dari semua angka kelahiran yang tercatat pada tahun 1999-2000   ( Dini Kasdu, 2003 ).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh ahli terhadap 64 rumah sakit di Jakarta terdapat 17.665 kelahiran yang diantaranya sebanyak 35.7-55.5% melahirkan dengan operasi cesarea. Sebanyak 19.5%-21% diantaranya karena ada Cephalopelvis disproportion ( CPD), 11.9%-21% karena perdarahan yang hebat, 4.3-8.7% karena kelainan letak janin. Sedangkan di Banyuwangi khususnya di RSUD Blambangan, pada tahun 2005 terdapat 404 kelahiran yang diantaranya sebanyak 28.5% melahirkan dengan sectio cesarea dan di RSI Fatimah pada bulan Agustus  sampai dengan Nopember 2005 terdapat 154 kelahiran yang diantaranya sebanyak 9.6% melahirkan dengan sectio cesarea. Miskipun data tersebut tidak bisa mencerminkan seluruh kondisi yang ada di Indonesia, tetapi dapat menggambarkan bahwa angka persalinan operasi cesarea cukup tinggi terjadi di Indonesia. Apabila sebagian diantaranya dilakukan tanpa ada pertimbangan medis. Apa yang menyebabkan kecenderungan ini? ( Dini Kasdu, 2003 ).

Beberapa alasan yang mendasari kecenderungan melahirkan dengan operasi cesarea semakin meningkat ( terutama di kota-kota besar ), karena para ibu banyak yang bekerja, mereka sangat terikat dengan waktu. Alasan lainnya, masih terkait dengan masalah kepercayaan yang masih berkembang di masyarakat Indonesia. Masih banyak diantara penduduk kota-kota besar yang mengaitkan waktu melahirkan dengan peruntungan nasib anak dilihat dari faktor ekonomi. Tentunya tindakan ini dilakukan dengan harapan apabila anak dilahirkan pada tanggal dan jam tertentu maka akan memperoleh rezeki dan kehidupan yang lebih baik. Alasan yang paling banyak adalah anggapan yang salah bahwa dengan operasi, ibu tidak akan mengalami rasa sakit seperti halnya persalinan alami pada kala I,II. Masalah keperawatan yang sering pada klien pre operasi cesarea adalah kecemasan ( Dini Kasdu, 2003 ).

Beberapa faktor penyebab kecemasan diantaranya kurangnya pengetahuan klien tentang prosedur pre operasi, faktor ekonomi klien dan kecemasan atas keberhasilan operasi. Mereka cemas apakah operasi cesarea tersebut berhasil atau tidak dan apakah bayi mereka akan lahir dengan sempurna atau tidak sehingga seringkali kecemasan yang berlebihan akan menghambat proses persalinan alami atau cesarea. Masalah kecemasan apabila tidak dilakukan intervensi keperawatan untuk mengurangi kecemasan diantaranya tehnik relaksasi, diskrasi, informed consent. Tehnik relaksasi terutama latihan nafas dalam selama 15-30 menit sering dilakukan di rumah sakit dan dapat dilakukan dimana saja baik dengan posisi duduk atau berbaring dalam posisi yang menyenangkan sehingga dapat mengurangi kecemasan saat ibu menjalani operasi.

Dari uraian diatas, menarik minat peneliti untuk menganalisa pengaruh latihan nafas dalam terhadap penurunan tingkat kecemasan pada klien pre operasi cesarea di BPKM RSUD Blambangan dan RSI Fatimah Banyuwangi.

1.2.  RUMUSAN MASALAH.

Adakah pengaruh latihan nafas dalam terhadap penurunan tingkat kecemasan pada klien pre operasi cesarea di BPKM RSUD Blambangan dan RSI Fatimah Banyuwangi.

1.3.  TUJUAN PENELITIAN

1.3.1.      Tujuan umum.

Mengetahui pengaruh antara latihan nafas dalam dengan penurunan tingkat kecemasan pada klien pre operasi cesarea di BPKM Blambangan dan RSI Fatimah Banyuwangi tahun 2006.

1.3.2.      Tujuan khusus

  1. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan umur dengan tingkat kecemasan klien pre operasi cesarea di BPKM Blambangan dan RSI Fatimah Banyuwangi.
  2. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dengan tingkat kecemasan pada klien pre operasi cesarea di BPKM Blambangan dan RSI Fatimah Banyuwangi.
  3. Mengidentifikasi penurunan tingkat kecemasan setelah dilakukan latihan nafas dalam pada klien pre operasi cesarea di BPKM Blambangan dan RSI Fatimah Banyuwangi.
  4. Menganalisa adanya pengaruh latihan nafas dalam terhadap penurunan tingkat kecemasan pada klien pre operasi cesarea di BPKM Blambangan dan RSI Fatimah Banyuwangi.

1.4.  Manfaat penelitian

1.4.1.      Secara teoritis.

Dengan diadakannya penelitian tentang pengaruh latihan nafas dalam terhadap penurunan tingkat kecemasan pada klien pre operasi cesarea dapat diketahui pengaruh sehingga dapat menentukan langkah penanganan selanjutnya.

1.4.2.      Secara praktis

  1. Meningkatkan pelayanan mutu pada klien mengenai manfaat nafas dalam terhadap penurunan tingkat kecemasan..
  2. Memberi gambaran mengenai pengaruh dan manfaat latihan nafas dalam terhadap penurunan tingkat kecemasan.

1.5.  Relevansi.

Latihan nafas dalam merupakan sala satu tehnik relaksasi dalam penurunan kecemasan yang terjadi pada klien pre operasi cesarea, dilakukan 15-30 menit dalam posisi duduk atau berbaring. Untuk itu peneliti mencoba meneliti apakah pengaruh latihan nafas dalam terhadap penurunan tingkat kecemasan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.      Konsep dasar.

2.1.1.      Sectio cesarea.

Istilah cesarea telah dirumuskan oleh beberapa ahli kedokteran dalam berbagai pengertian, tergantung pada sudut pandang masing-masing. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tersebut.

Thomas Rabe (2003) mengatakan bahwa sectio cesarea merupakan persalinan dengan laparatomi dan histerotomi. Persis Mary Hamilton (1995 : 196 ) mengatakan bahwa sectio cesarea adalah suatu persalinan kelahiran bayi melalui abdomen dan insisi uterus sedangkan Arif Mansjoer (2001 : 344 ) juga mengatakan bahwa sectio cesarea merupakan pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim.

Ada beberapa indikasi untuk dilakukan sectio cesarea diantaranya placenta pravia, preeklampsi, solutio placenta. Dari ketiga indikasi diatas, memungkinkan untuk dilakukan sectio cesarea setelah dipertimbangkan dengan seksama ( Arif Mansjoer, 2001 ).

Arif Mansjoer ( 2001 : 276 ) mengemukakan bahwa placenta pravia merupakan plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir dan preeklampsi merupakan timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan sedangkan solutio placenta merupakan lepasnya placenta dari insersi sebelum waktunya.

Dari ketiga indikasi, dilakukan pembedahan pada ibu yang usia kehamilan berkisar antara 20 minggu atau sesudahnya memungkinkan seorang ibu tersebut mengalami suatu permasalahan keperawatan diantaranya gangguan psikologis cemas dengan adanya pembedahan, resiko infeksi dengan adanya pembedahan, gangguan personal hygiene dengan adanya kelemahan fisik. Dari ketiga permasalahan diatas, gangguan psikologis cemas sering terjadi pada ibu yang akan mengalami operasi cesarea.

2.1.2.      Kecemasan

  1. Pengertian.

Cemas adalah suatu keadaan dimana individu atau kelompok mengalami perasaan yang sulit (ketakuta) dan aktifasi saraf otonom dalam berespon terhadap ketidakjelasan, ancaman tidak spesifik ( Lynda Juall Carpenito, 2000 ).

  1. Faktor predisposisi.

Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal cemas ( Gail Wiscarz Stuart, 1995 ).

  1. Dalam pandangan psiko analitik kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian dan super ego. Iq mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan super ego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang Ego atau aku berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
  2. Menurut pandangan inter personal kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan inter personal. Cemas juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan fisik orang dengan harga diri rendah terutama mudah mengalami cemas yang berat.
  3. Menurut pandangan perilaku cemas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pakar prilaku lain menganggap cemas sebagai suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam menghindari kepedihan.
  4. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan kecemasan dan antara gangguan cemas dan depresi.
  5. Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodia zepines. Reseptor ini mungkin membantu mengatur cemas. Penghambat asam amino butirik gama neroregulator ( GABA ) juga mungkin memainkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan cemas, sebagaimana halnya dengan endorfin. Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap cemas. Cemas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stresor. ( Gail Wiscarz Stuart, 1995 ).
  6. Tingkat kecemasan
    1. Cemas ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Cemas dapat memotivasi belajar dan menghabiskan pertumbuhan dan kreativitas.

  1. Cemas sedang

Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan seseuatu yang lebih terarah.

  1. Cemas berat.

Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua prilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.

  1. Panik

Berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dario proporsinya karena mengalami kehilangan kendali orang yang mengalaminya ( Gail Wiscarz Stuart, 1995 ).

  1. Tanda dan gejala kecemasan
    1. Cemas ringan.
      1. Respon fisiologis

–          Sesekali nafas pendek.

–          Nadi dan tekanan darah naik.

–          Gejala ringan pada lambung.

–          Muka berkerut dan bibir bergetar

  1. Respon kognitif

–          Lapang persepsi meluas

–          Mampu menerima rangsangan yang komplex

–          Konsetrasi pada masalah.

–          Menyelesaikan masalah secara efektif.

  1. Respon prilaku dan emosi

–          Tidak dapat duduk tenang.

–          Tremor halus pada tangan.

–          Suara kadang-kadang meninggi

  1. Cemas sedang.
    1. Respon fisiologis

–          Suara nafas pendek.

–          Nadi dan tekanan darah naik.

–          Mulut kering

–          Anorexia

–          Diare atau konstipasi

–          Gelisah

  1. Respon kognitif

–          Lapangan persepsi yang menyempit.

–          Rangsangan luar tidak mampu diterima.

–          Berfokus pada apa yang menjadi perhatian.

  1. Respon perilaku dan emosi

–          Gerakan tersentak-sentak.

–          Bicara banyak dan lebih  cepat.

–          Susah tidur.

–          Perasaan tidak aman.

  1. Cemas berat
    1. Respon fisiologis

–          Nafas pendek.

–          Nadi dan tekanan darah naik.

–          Berkeringat dan sakit kepala

–          Penglihatan kabir

–          Ketegangan

2.   Respon kognitif

–          Lapangan persepsi sangat sempit.

–          Tidak mampu menyelesaikan masalah

3.    Respon perilaku dan emosi

–          Perasaan ancaman meningkat

–          Verbalisasi cepat

–          Blocking

  1. Panik
    1. Respon fisiologis

–          Nafas pendek.

–          Nadi dan tekanan darah naik.

–          Rasa tercekik dan palpitasi

–          Sakit dada

–          Pucat.

–          Hipotensi

2.   Respon kognitif

–          Lapangan persepsi sangat sempit.

–          Tidak berfikir logis

3.    Respon perilaku dan emosi

–          Mengamuk dan marah

–          Ketakutan dan marah

–          Kehilangan kendali

–          Persepsi kacau

  1. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kecemasan pada klien pre operasi cesarea.
    1. Umur.

Usia ± 20-21 tahun mencapai keseimbangan psikis, kepribadian sudah terbentuk. Berfikir, merasa dan berbuat sudah teringrasi dan harmonis. Banyak tenggang rasa, teman hidup sudah mulai tetap dan sudah mampu menilai orang. Berani menetapkan diri dan bertanggung jawab atas segala keputusannya ( Suryanah, 1996 ).

Ibu yang melahirkan dengan operasi akan merasa bingung dan cemas terutama jika operasi tersebut dilakukan karena keadaan yang darurat. Ketidakstabilan emosi bisa meningkat atau berlangsung lebih lama, apabila muncul perasaan lain     ( Dini Kasdu, 2003 : 85 ). Kedewasaan seorang istri sebagai calon ibu biasanya berkembang seiring umur yang cukup matang. Semakin cukup umur tingkat kematangan seseorang lebih matang dalam berfikir. ( Nursalam, 2000 ).

  1. Pendidikan

Pndidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan kamampuan, sikap dan bentuk-bentuk prilaku lainnya di masyarakat dimana ia hidup ( Ihsan, 2001 ).

Pendidikan berpenagruh secara tidak langsung melalui peningkatan status sosial dan kedudukan seseorang, peningkatan pilihan terhadap kehidupan sehingga juga mempengaruhi tingkat kecemasan seseorang pendidikan menengah biasanya lebih mengerti dan lebih dapat menerima adanya perubahan dalam masalah kehidupan seseorang yang tidak berpendidikan akan rentan terhadap penjelasan yang tidak rasional ( Erica, 1998 ).

  1. Informasi pre operasi

Gangguan kecemasan akan meningkat apabila penjelasan tentang prosedur suatu tindakan tidak atau kurang jelas diterima oleh klien dan keluarga. Hal ini terjadi bila suatu keterangan atau penjelasan yang sederhana tidak diberikan oleh petugas kesehatan yang berkomentensi atau tidak menjelaskan maksud dan tujuan atau dijelaskan tapi menggunakan istilah yang tidak dimengerti oleh klien dan keluarga ( Eisemberg, 1996 ).

  1. Tempat tinggal

Suasana rumah yang dihuni oleh klien akan menpengaruhi tingkat kecemasan yang dialami klien. Tempat tinggal klien akan berpengaruhi terhadap tingkat stresorr yang dirasakan klien. ( Ramaiah, 2003).

  1. Herediter.

Sekalipun gangguan emosi ada yang ditemukan dalam keluarga-keluarga tertentu, ini bukan merupakan penyebab penting dari kecemasan ( Ramaiah, 2003 ).

  1. Emosi yang ditekan

Kecemasan bisa terjadi jika anda tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaan dalam hubungan personal. Hal tersebut terjadi jika menekan rasa marah dan frustasi dalam jangka waktu yang lama sekali ( Ramaiah, 2003 ).

2.1.3.      Cara-cara latihan nafas dalam.

Dalam berbagai tehnik relaksasi yang ada, latihan nafas dalam menjadi metode relaksasi yang termudah. Metode ini mudah dilakukan karena pernafasan itu sendiri merupakan tindakan yang kita lakukan secara normal tanpa perlu berfikir atau merasa ragu        ( National Safety Council, 2004 : 70)

Ada beberapa cara latihan nafas dalam diantaranya :

  1. Pernafasan dalam.
    1. Walaupun latihan ini dapat dilakukan dalam berbagai sikap direkomedasikan sikap tersebut : rebahkan diri diatas permadani atau tikar dilantai. Tekuk kedua lutut dan renggangkan kaki anda lebih kurang 8 inchi dengan jari mengarah sedikit keluar. Pastikan bahwa tulang belakang anda lurus.
    2. Amati tubuh anda yang tegang.
    3. Letakkan satu tangan di atas perut dan satu tangan di atas dada.
    4. Tarik nafas pelan-pelan dan dalam melalui hidung masuk ke dalam perut mendorong tangan anda sekuat-kuatnya selama anda merasa nyaman. Dada anda harus sedikit bergerak dan bersamaan dengan pergerakan perut.
    5. Jika anda merasa mudah dengan langkah ke-4, tersenyum sedikit, tarik nafas melalui hidung dan hembuskan melalui mulut, ciptakan ketanangan, relaks, desingkan udara seperti angin, mulut, hidung, rahang anda akan relaks. Ambil nafas panjang, pelan, dalam yang membesarkan dan mengecilkan perut.
    6. Lanjukan nafas dalam selama 5 atau 10 menit setiap kali, satu atau dua kali sehari, selama dua minggu.
    7. Pada akhir setiap kali pernafasan dalam, gunakan waktu sejenak untuk sekali lagi mengamati tubuh anda yang tegang. Bandingkan tegangan yang anda rasakan pada akhir latihan dengan yang anda alami pada awal latihan.
    8. Bila anda telah terbiasa dengan pernafasan perut, lakukan setiap saat anda menginginkannya sepanjang hari saat anda duduk atau berdiri. Konsentrasikan pada gerakan perut ke atas dan ke bawah, udara keluar masuk paru-paru anda dan persaan relaks yang dihasilkan dengan nafas dalam.
    9. Bila anda telah belajar merilakskan diri dengan menggunakan nafas dalam, lakukanlah setiap kali anda tegang. ( Martha Davis, Ph D, 1995 : 30 ).
    10. Pernafasan diafragma

Langkah-langkah memulai pernafasan diafragma :

  1. Posisikan tubuh secara nyaman. Untuk mendapatkan manfaat penuh, pelajari tehnik ini dalam posisi nyaman, baik posisi duduk atau berbaring terlentang dengan mata tertutup.
  2. Konsentrasi, seperti halnya tehnik relaksasi lain, pernafasan diafragma memerlukan perhatian penuh dari anda. Apabila mungkin melakukan langkah-langkah untuk meminimalkan gangguan dengan mencari tempat yang tenang untuk berlatih.
  3. Visualisasi, penggunaan imajinasi dalam pernafasan diafragma dapat bermanfaat. Ada banyak imajinasi yang dapat digabunkan dengan tehnik pernafasan ini. ( Nasional Safety Coucil, 2004 : 70).

2.2.      Konsep variabel yang akan diteliti.

2.2.1.      Pengaruh latihan nafas dalam terhadap penurunan tingkat kecemasan.

Pernafasan penting untuk kehidupan. Pernafasan yang tepat merupakan penawar stres. Pada saat kita bernafas, udara dihirup ke dalam melalui hidung dan menyaring kotoran yang dikeluarkan pada saat menghembuskan nafas. Kedua paru dihubungkan bronkus yang membawa oksigen ke dalam pembuluh vena dan nadi, warnanya merah cerah karena mengandung oksigen yang tinggi ( ±25%). Darah dipompa keluar oleh jantung melalui pembuluh darah nadi ke kapiler, mencapai semua bagian tubuh.

Jika jumlah udara segar yang masuk paru-paru tidak mencukupi, darah tidak dioksigenasi sebagaimana mestinya. Hasil pembakaran yang seharusnya dibuang tetap ada dalam sirkulasi darah. Jika kekurangan oksigen, darah akan berwarna kebiruan serta dapat dilihat melalui warna kulit yang buruk. Kurangnya oksigen dalam darah memperbesar kemungkinan terjadinya kecemasan, depresi dan lelah yang sering membuat setiap situasi stres menjadi lebih sukar diatasi. Latihan nafas dalam penting untuk kesehatan fisik dan mental. Oleh karena itu, latihan nafas dalam telah diketahui efektif menurunkan kecemasan, depresi, sifat cepat marah atau cepat tersinggung ( Martha Davis, Ph. D, 1995 ).

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan berhubungan dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat. Keadaan gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektipok terganggu.

Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang dapat di hadapi oleh setiap dokter , karena sangat beragamnya gambaran klinik kehamilan ektopik terganggu itu. Tidak jarang yang menghadapi penderita untuk pertama kali adalah dokter umum atau dokter ahli lainnya, maka dari itu, perlu di ketahui oleh setiap dokter klinik kehamilan ektopik tergangguserta diagnosis difernsialnya. Hal yang perlu diingat ialah, bahwa setiap pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah, perlu di fikirkan kehamilan ektopik terganggu

Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi terjadi diluar rongga uterus, Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun,frekwensi kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0%-14,6%. apabila tidak diatasi atau diberikan penanganan secara tepat dan benar akan membahayakan bagi sipenderita. (Sarwono Prawiroharjho, Ilmu Kebidanan, 2005)

B. Batasan Masalah

Batasan makalah yang kami pakai dalam makalah ini adalah tentang

” Kehamilan Ektopik Terganggu ”

C. Tujuan

  1. Agar mahasiswi dapat mengetahui dan memahami tanda dan gejala kehamilan ektopik
  2. Dapat mengetahui cara-cara penanganan kehamilan ektopik.
  3. Untuk mengatahui sebab dan faktor pencetusnya.

D. Manfaat

Sebagai bacaan bagi mahasiswi agar dapat menambah pengetahuan mengenai kehamilan ektopik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.   KONSEP DASAR PENYAKIT

1.    Pengertian

Kehamilan Ektopik Terganggu adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar endometrium (Mansjoer A, 2000 ; 267).

Kehamiian Ektopik Terganggu adalah kehamilan yang terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri (Prawiroharjo S, 2002 ; 323).

Kehamiian Ektopik Terganggu adalah kehamilan dimana setelah fertilisasi, implantasi terjadi di luar endometrium kavum uteri (Prawiroharjo S, 1999, ; 1J2).

Kehamilan Ektopik Terganggu adalah kehamilan yang terjadi di luar rongga rahim (kavum uteri) (www.indosiar.com/idh)

2.    Etiologi

Etiologi kehamilan ektopik telah banyak diselidiki,tetapi sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. faktor-faktor yang memegang peranan dalam hal ini ialah sebagai berikut :

  1. Faktor tuba, yaitu salpingitis,perlekatan tuba,kelainan konginetal tuba,pembedahan sebelumnya,endometriosis,tumor yang mengubah bentuk tuba dan kehamilan ektopik sebelumnya.
  2. Kelainan zigot,yaitu kelainan kromosomdan malformasi.
  3. Faktor ovarium,yaitu migrasi luar ovum dan pembasaran ovarium.
  4. Penggunaan hormone eksogen.
  5. Faktor lain,antara lain aborsi tuba dan pemakaian IUD
    ( Dr.Rustam Mochtar, sinopsis Obstetri, 2000).

3.    Gejala Minis

a. Amenore

b. Gejala kehamilan muda

c.  Nyeri perut bagian bawah, pada ruptur tuba nyeri terjadi tiba-tiba dan hebat, menyebabkan penderita pingsan sampai shock. Pada Abortus tuba nyeri mula-mula pada satu sisi, menjalar ke tempat lain. Bila darah sampai diafragma bisa menyebabkan nyeri bahu dan bila terjadi hematokel retrouterina terdapat nyeri defekasi,

d.  Perdarahan pervapina berwarna cokelat tua.

e.  Pada pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila serviks digerakkan, nyeri pada perabaan dan kavum douglasi menonjol karena ada bekuan darah (Mansjoer A, 2000 ; 267).

4.    Patofisiologi

Proses Implantsi ovum yang dibuahi

Pembuahan telur diampula tuba

Kurangnya volume

cairan

Perjalanan ke uterus telur

mengalami hambatan

Nyeri                        Bernidasi di tuba                       Perdarahan pervagina

Kehamilan Ektopik

Resiko terjadi infeksi

Post Operasi

Nyeri                                       Gangguan Mobilisasi Fisik

5.    Pemeriksaan Penunjang

a.  Pemeriksaan laboratorium

1)    Pemeriksaan darah lengkap

2)    Pemeriksaan kadar hormon progesteron

3)    Pemeriksaan kadar HCG serum

4)    Pemeriksaan golongan darah

b.  Kuldosentesis (Pengambilan cairan peritoneal dari ekstra vasio rektou terina (ruang Douglas), melalui tindakan pungsi melalui dinding vagina).

c.  Ultrasonografi (USG)

6.    Diagnosa Banding

a.  Usus buntu ( Apendisitis akut )

b.  Peradangan daerah panggul (www.klinikku.com/idh)

7.    Prognosis

Penderita kehamilan ektopik mempunyai kemungkinan yang lebih besar, untuk mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain itu kemungkinan untuk mengalami kehamilan akan menurun.

8.    Komplikasi

Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya mudigah. Misalnya bila terjadi kehamilan tuba, komplikasi yang sering adalah pecahnya tuba falopii (www.klinikku.com/idh)

B.   TINJAUAN KEPERAWATAN

1.    Pengkajian

a.    Biodata

1)    Nama Sebagai identitas bagi pelayanan kesehatan/Rumah Sakit/ Klinik atau catat apakah klien pernah dirawat disini atau tidak.

2)    Umur

Digunakan sebagai pertimbangan dalam memberikan terapi dan tindakan, juga sebagai acuan pada umur berapa penyakit/kelainan tersebut terjadi. Pada keterangan sering terjadi pada usia produktif 25 – 45 tahun (Prawiroharjo S, 1999 ; 251).

3)    Alamat

Sebagai gambaran tentang lingkungan tempat tinggal klien apakah dekat atau jauh dari pelayanan kesehatan khususnya dalam pemeriksaan kehamilan.

4)    Pendidikan.

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan klien sehingga akan memudahkan dalam pemberian penjelasan dan pengetahuan tentang gejala / keluhan selama di rumah atau Rumah Sakit.

5)    Status Perkawinan

Dengan status perkawinan mengetahui berapa kali klien mengalami kehamilan (KET) atau hanya sakit karena penyakit lain yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan

6)    Agama

Untuk mengetahui gambaran dan spiritual klien sehingga memudahkan dalam memberikan bimbingan keagamaan.

7)    Nama Suami

Agar diketaui siapa yang bertanggung jawab dalam pembiayaan dan pemberian persetujuan dalam perawatan.

8)    Pekerjaan

Untuk mengetahui keadaan aktivitas sehari-hari dari klien, sehingga memungkinkan menjadi faktor resiko terjadinya KET.

b.    Keluhan Utama

Nyeri hebat pada perut bagian bawah dan disertai dengan perdarahan selain itu klien ammeorrhoe.

c.    Riwayat Penyakit Sekarang

Awalnya wanita mengalami ammenorrhoe beberapa minggu kemudian disusul dengan adanya nyeri hebat seperti disayat-sayat pada mulanya nyeri hanya satu sisi ke sisi berikutnya disertai adanya perdarahan pervagina :

1)    Kadang disertai muntah

2)    Keadaan umum klien lemah dan adanya shock

3)    Terkumpulnya darah di rongga perut:

a)    Menegakkan dinding perut                 Nyeri

b)    Dapat juga menyebabkan nyeri hebat sehingga klien pingsan

4)    Perdarahan           terus menerus             kemungkinan terjadi shock hipovolemik.

d.    Riwayat Penyakit Masa lalu

1)    Mencari faktor pencetus misalnya adanya riwayat endomatritis, addresitis                 menyebabkan perlengkapan endosalping.

Tuba menyempit / membantu.

2)    Endometritis             endometritis tidak baik bagian nidasi.

e.    Status Obstetri Genekologi

1)    Usia perkawinan

Sering terjadi pada usia produktif 25 – 45 tahun, berdampak bagi psikososial, terutama keluarga yang masih mengharapkan anak.

2)    Riwayat persalinan yang lalu.

Apakah klien melakukan proses persalinan di petugas kesehatan atau di dukun

3)    Grade multi.

4)    Abortus yang sering                  curettage yang sering.

5)    Riwayat penggunaan alat kontrasepsi.

Seperti penggunaan IUD

6)    Adanya keluhan haid, keluarnya darah haid dan bau yang menyengat. Kemungkinan adanya infeksi.

f.     Riwayat kesehatan keluarga

1)    Hal yang perlu dikaji            kondisi kesehatan suami

2)    Suami mengalami infeksi system urogenetalia, dapat menular pada istri dan dapat mengakibatkan infeksi pada celvix.

g.    Riwayat psikososial

Tindakan salpingektomi menyebabkan infertile. Mengalami gangguan konsep diri, selain itu menyebabkan kekhawatiran atau ketakutan.

h.    Pada kebiasaan sehari-hari

Pola aktivitas sehari-hari yang perlu dikaji pada kehamilan ektopik adalah :

1)    Pola Nutrisi

Pada rupture tube keluhan yang paling menonjol selain nyeri adalah Nausea dan vomiting karena banyaknya darah yang terkumpul di rongga abdomen

2)    Eliminasi

Pada BAB klien ini dapat menimbulkan resiko terhadap konstipasi itu diakibatkan karena penurunan peristaltik usus, imobilisasi, obat nyeri, adanya intake makanan dan cairan yang kurang. Sehingga tidak ada rangsangan dalam pengeluaran faeces.

Pada BAK klien mengalami output urine yang menurun < 1500 ml/hr, karena intake makanan dan cairan yang kurang.

3)    Personal Hygiene

Luka operasi dapat mengakibatkan pembatasan gerak, takut untuk melakukan aktivitas karena adanya kemungkinan timbul nyeri, sehingga dalam personal hygiene tergantung pada orang lain.

4)    Pola Aktivitas (istirahat tidur)

Terjadi gangguan istirahat, nyeri pada saat infeksi/defekasi akibat hematikei retropertonial          menumpuk pada cavum Douglas

i.     Pemeriksaan Fisik

1)    Keadaan Umum

Tergantung banyaknya darah yang keluar dan tuba, keadaan umum ialah kurang lebih normal sampai gawat dengan shock berat dan anemi (Prawiroharjo, 1999 ; 255).

2)    Pemeriksaan kepala dan leher

Muka dan mata pucat, conjungtiva anemis (Prawiroharjo, 1999 ; 155)

3)    Pemeriksaan leher dan thorax

a)    Tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu tidak dapat diidentifikasikan melalui leher dan thorax

b)    Payudara pada KET, biasanya mengalami perubahan.

4)    Pemeriksaan Abdomen

Pada abortus tuba terdapat nyeri tekan di perut bagian bawah disisi uterus, dan pada pemeriksaan luar atau pemeriksaan bimanual ditemukan tumor yang tidak begitu padat, nyeri tekan dan dengan batas-batas yang tidak rata disamping uterus.

Hematokel retrouterina dapat ditemukan. Pada repture tuba perut menegang dan nyeri tekan, dan dapat ditemukan cairan bebas dalam rongga peritoneum. Kavum Douglas menonjol karena darah yang berkumpul ditempat tersebut baik pada abortus tuba maupun pada rupture tuba gerakan pada serviks nyeri sekali (Prawiroharjo S, 1999, hal 257).

5)    Pemeriksaan Genetalia

a)    Sebelum dilakukan tindakan operasi pada pemeriksaan genetalia eksterna dapat ditemukan adanya perdarahan pervagina. Perdarahan dari uterus biasanya sedikit- sedikit, berwarna merah kehitaman.

b) Setelah dilakukan tindakan operasi pada pemeriksaan genetalia dapat ditemukan adanya darah yang keluar sedikit.

6)    Pemeriksaan Ekstrimitas

Pada ekstrimitas atas dan bawah biasanya ditemukan adanya akral dingin akibat syok serta tanda-tanda cyanosis perifer pada tangan dan kaki

j.     Pemeriksaan Penunjang

1)    Pemeriksaan umum Penderita tampak kesakitan dan pucat, pada perdarahan dalam rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan pada jenis tidak mendadak perut bagian bawah hanya sedikit mengembung dan nyeri tekan.

2)    Pemeriksaan Genekologi

Tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan, pergerakan serviks menyebakan rasa nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor disamping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas yang menonjol dan nnyeri raba merunjukkan adanya hematokel retrouterina, suhu kadang-kadang naik, sehingga menyukarkan perbedaaan dengan infeksi serviks.

3)    Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosisi kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pada kasus jenis tidak mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam (Prawiroharjo S, 2002 ; 330).

2.    Analisa Data

Analisa data adalah kemampuan menggabungkan data dan mengkaitkan data tersebut dengan konsep yang relevan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan keperawatan.

Dalam analisa data ini pengelompokan data dilakukan berdasarkan reaksi baik subyektif maupun obyektif yang digunakan untuk menentukan masalah dan kemungkinan penyebab.

3.    Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah (Carpenito, 2000).

Diagnosa yang mungklin timbul pada kehamilan ektopik terganggu adalah sebagai berikut :

a.    Gangguan pemenuhan kebutuhan cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan.

Rasional :      Adanya darah yang keluar dari vagina dan perdarahan intra abdominal dapat mengakibatkan kurangnya cairan tubuh.

b.    Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan adanya rupture tuba atau robekan lapisan pelvis.

Rasinal :        Adanya pemutusan jaringan dalam tubuh akan menimbulkan rangsangan saraf meningkat sehingga timbul rasa nyeri yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman pada klien.

c.    Porensial shock berhubungan dengan perdarahan yang hebat

Rasional :      Rupture tuba mengakibatkan terjadinya perdarahan yang banyak sehingga volume darah dalam tubuh berkurang. Adanya darah kurang dapat terjadi penurunan cardiac output sehingga menimbulkan.

d.    Gangguan psikologis (cemas) berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kesuburan yang terancam.

Rasional:    Setiap orang berbeda pandangan dalam menghadapi tindakan pembedahan yang akan dilaksanakan sehingga responnya berbeda pula, cemas merupakan respon emosi klien adalah kejadian normal ketika klien dihadapkan pada hal yang asing baginya.

4.    Perencanaan

Perencanaan merupakan bagian dari fase pengorganisasian dalam proses keperawatan yang meliputi tujuan perawatan penetapan pencegahan masalah dan menentukan tujuan perencanaan untuk mengatasi masalah klien (Hidayat A. Azis Alimul, 2001 ; 30).

Rencana keperawatan pada klien kehamilan ektopik terganggu adalah sebagai berikut :

a.    Gangguan pemebuhan kebutuhan cairan tubuh sehubungan dengan perdarahan.

Tujuan                    :    Perdarahan terhenti

Kriteria evaluasi     :    Tidak ada tanda-tanda shock

Intervensi               :

1)    Kaji perdarahan (jumlah, warna, gumpalan)

Rasional   :    Untuk mengetahui adanya gejala shock.

2)    Cek Hemoglobin

Rasional   :    Mengetahui adanya enemi atau tidak

3)    Anjurkan klien untuk banyak minum

Rasional :      Dengan banyak minum maka dapat membantu mengganti cairan tubuh yang hilang.

4)    Kolaborasi dengan tim medis tentang pemberian tranfusi darah

Rasional   :    Untuk mengganti perdarahan yang banyak keluar.

b.    Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan adanya tuba atau robekan lapisan pelvis.

Tujuan                    :    Nyeri berkurang sampai hilang

Kriteria evaluasi     :    Ekspresi wajah klien tidak menyeringai menahan nyeri

Intervensi

1)    Kaji tingkat nyeri klien

Rasional   :    Untuk mengetahui tingkat nyeri klien dar mengetahui tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.

2)    Kaji durasi, lokasi, frekuensi, jenis nyeri (akut, kronik, mendadak, terus – menerus)

Rasional :      Dengan mengetahui hal tersebut diatas dapat mengetahui tingkat dan jenis nyeri sehingga mempermudah intervensi selanjutnya.

3)    Ciptakan lingkungan yang nyaman bagi klien.

Rasional   :    Dengan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi klien akan dapat mengurangi rasa nyeri klien, karena lingkungan yang tidak menambah persepsi nyeri klien.

4)    Anjurkan tehnik relaksasi, distraksi

Rasional :      Dengan mengajarkan tehnik relaksasi, distraksi dapat meringankan nyeri.

5)    Kompres Dingin

Rasional : Dengan memberikan kompres dingin akan memberikan rasa nyaman pada klien sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.

6)    Berikan support system

Rasional   :    Dengan memberikan support system agar ibu dapat mengerti tentang perubahan bentuk tubuhnya yang cepat karena ada kelainan pada tubuhnya sehingga ibu dapat tenang pada saat dilakukan tindakan.

7)    Lakukan massage pada klien

Rasional   :    Dengan melakukan massage akan memberikan rasa nyaman pada ibu.

8)    Atur posisi yang nyaman bagi klien

Rasional :      Dengan mengatur posisi yang nyaman bagi klien akan mengurangi rasa nyeri

9)    Kolaborasi dengan tim medis

Rasional   :    Berkolaborasi akan membantu di dalam memberikan terapi analgesic.

c.    Potensial Shock sehubungan dengan perdarahan yang hebat

Tujuan                    :    Perdarahan berhenti

Kriteria evaluasi     :    Hb klien normal ( 11 – 13 ) gr %

Intervensi

1)    Monitor tanda – tanda vital

Rasional : Monitor tanda-tanda vital akan mengetahui keadaan dan perkembangan klien.

2)    Kaji perdarahan (jumlah, warna, gumpalan)

Rasional   :    Mengkaji perdarahan, jumlah, warna, gumpalan akan mengetahui gejala-gejala shock.

3)    Cek Hemoglobin

Rasional   :    Cek Hb akan mengetahui keadaan Hb klien.

4)    Pasang infus

Rasional   :    Memberikan infus akan menggantikan cairan yang keluar.

5)    Lakukan pemeriksaan rhesus golongan darah

Rasional   :    Pemeriksaan tersebut memudahkan melakukan transfusi

6)    Berikan transfusi darah

Rasional   :    Memberikan transfusi darah akan menggantikan banyaknya darah yang keluar

7)    Observasi tanda-tanda shock

Rasional   :    Mengobservasi tanda-tanda shock akan dapat segera mengetahui adanya kemungkinan shock.

d.    Gangguan psikologis (cemas) berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kesuburan yang terancam

Tujuan                    :    Rasa cemas klien hilang

Kriteria evaluasi     .    Klien       dapat   mengungkapkan          perasaannya secara terbuka

Intervensi :

1)    Kaji tingkat kecemasan

Rasional :      Mengetahui tingkat kecemasan akan mengetahui tingkat cemas klien.

2)    Kaji tingkat pengetahuan klien

Rasional :      Mengkaji tingkat pengetahuan klien akan dapat mengetahui latar belakang kehidupan klien.

3)    Ajak klien untuk lebih terbuka

Rasional   :    Sikap terbuka akan mudah mengungkap masalah yang dihadapi klien yang dapat membantu penyembuhan.

4)    Berikan penjelasan tentang proses penyakit yang sedang diderita.

Rasional   :    Memberikan penjelasan pada klien akan membantu menenangkan jiwa klien.

5)    Anjurkan pada keluarga untuk memberikan support system.

Rasional : Memberikan support sistem akan membantu memberikan semangat bagi klien.

5.    Pelaksanaan

Pelaksanaan merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik (Iyar et. al., 1996).

Dari pernyataan diatas dapat diungkapkan bahwa pelaksanaan realisasi dari rencana asuhan keperawatan yang telah disusun. Dalam pelaksanaan ini harus disesuaikan dengan sumber data, sarana dan prasarana yang ada. Partisipasi dari klien dan keluarganya sangat diperlukan dalam pelaksanaan ini serta peran dan fungsi perawatan harus dapat dijalankan dengan komprehensif, selain itu perawat juga berkolaborasi dengan anggota tim kesehatan yang lain.

6.    Evaluasi

Evaluasi adalah sebagai sesuatu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematik pada status kesehatan klien (Nursalam, 2001 ; 71).

Yang dimaksud tujuan tercapai jika klien menunjukkan perubahan sesuai kriteria yang ditetapkan. Tujuan tercapai sebagian bila klien hanya menunjukkan perubahan sebagian dari kriteria yang ditetapkan. Sedang tujuan tidak tercapai jika klien tidak menunjukkan perubahan / kemajuan sama sekali. Adapun untuk mengetahui itu berhasil / tidak dapat menggunakan metode dengan catatan perkembangan (Subyektif data, obyektif data, Analisa data, plan / SOAP).

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar endometrium kavun uteri.hamil ini ditandai dengan amenore,gejala kehamilan muda dan perdarahan yang berwarna cokelat dan pemeriksaan vagina terdapat nyeri goyang bila serviks digoyangkan,nyeri pada perabaan dan kavum douglasi menonjol karena ada pembekuan darah.pada kasus seperti ini perlu segera ditangani dan di ambil tindakan.

B. SARAN

1. Diharapkan kepada kita semua tenega kesehatan apabila merasakan dan mengetahui gejala seperti yang telah di jelaskan / dituliskan oleh pembuat makalah ini agar segera menanganinya dengan cepat jangan di tunda karena dapat menimbulkan resiko tinggi.
2. Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

o                   ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL

A.  Pengertian

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Gagal ginjal kronis biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang dan berat. Azotemia adalah peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat.

B.  Etiologi

Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab. Sebab-sebab gagal ginjal kronik yang sering ditemukan dapat dibagi menjadi delapan kelas.

Klasifikasi sebab-sebab gagal ginjal kronik

  1. Infeksi :  Pielonefritis kronik
  2. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis

3.   Penyakit vascular hipertensi : Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis

4.   Gangguan jaringan penyambung : Lupus eritematosus sistemik, Poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.

5.   Gangguan kongerital dan hereditas : Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal.

6.   Penyakit metabolic : Diabetes militus, gout, hiperpara tiroidisme, amiloidosis.

7.   Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgesik, nefropati timbale

8.   Nefropati obstruktif : Saluran kemih bagian atas kalkuli , neoplasma, fibrosisretroperitoneal.

Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostate, struktur urea, anomaly kongetal pada lehar kandung kemih dan uretra.

C.  Tanda dan gejala

Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifestasi klinik mengenai dihampir semua sistem  tubuh manusia, seperti:

a.   Gangguan pada Gastrointestinal

Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya zat toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90 % kasus Gagal Ginjal Kronik, bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik.

b.   Kulit

Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada  kulit.

c.    Hematologi

Anemia merupakan gejala yang hampr selalu ada pada Gagal Ginjal Kronik. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu dipikirkan apakah suatu Gagal Ginjal Akut atau Gagal Ginjal Kronik dengan penyebab polikistik ginjal yang disertai polistemi. Hemolisis merupakan sering timbul anemi, selain anemi pada Gagal Ginjal Kronik sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita Gagal Ginjal Kronik mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun.

d.   Sistem Saraf Otot

Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.

e.   Sistem Kardiovaskuler

Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya hipertensi pada Gagal Ginjal Kronik oleh karena penimbunan garam dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit.

f.    Sistem Endokrin

Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai pada Gagal Ginjal Kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan menstruasi  sampai aminore. Toleransi glukosa sering tergangu paa Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan metabolik vitamin D.

g.   Gangguan lain

Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik, hiperkalemia, hiperforfatemi, hipokalsemia.

D.  Pemerikasaan Penunjang

Urine

Volume                  :     Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)

Warna                    :     Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.

Berat jenis             :     Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat).

Osmolalitas           :     Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio urine/serum sering 1:1

Klirens keratin       :     Mungkin agak menurun

Natrium                 :     Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium

Protein                   :     Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.

Darah

BUN / Kreatin      :     Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi  kadar kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)

Hitung darah lengkap : Ht :  Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari 78 g/dL

SDM                     :     Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.

GDA : pH             :     Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun,  PCO2 menurun .

Natrium Serum      :     Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal (menunjukan status dilusi hipernatremia).

Kalium                  :     Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.

Magnesium/Fosfat                :  Meningkat

Kalsium                     :  Menurun.

Protein (khususnya Albumin) :  Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.

Osmolalitas Serum  :   Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.

KUB fota                :   Menunujukkan ukuran ginjal / ureter /  kandung kemih dan adanya obstruksi (batu)

Piolegram Retrograd   :  Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.

Arteriogram Ginjal      :  Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular massa.

Sistouretrogram Berkemih   :  Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.

Ultrasono Ginjal                 : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.

Biopsi Ginjal        :   Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histoligis.

Endoskopi Ginjal, Nefroskopi :  Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.

EKG                     :  Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.

Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dn Tangan : Dapat menunjukan demineralisasi, klasifikasi.

(Rencana Askep, Marilyn E Doenges dkk)

E.  Pencegahan

Pemeliharaan kesehatan umum dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi insufisiensi. Sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan masalah medis dengan sempurna dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu mengalami stress (infeksi, kehamilan)

(Perawatan Medikal Bedah, Barbara C Long).

F.   Pengobatan / Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Adapun penatalaksaannya sebagai berikut :

Tentukan dan tatalaksana penyebabnya

–    Diet tinggi kalori dan rendah protein

Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Hindari masukan berlebihan dari kalium dan garam.

–    Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam

Biasanya diusahakan hingga tekanan vena juga harus sedikit meningkat dan terdapat edema betis ringan. Pada beberapa pasien, furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretic 100p (bumetanid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan, sementara pasien lain mungkin memerlukan suplemen natrium klorida atau natrium bikarbonat oral. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine, dan pencatatan keseimbangan cairan (masukan melebihi keluaran sekitar 500 ml).

–    Kontrol hipertensi

Bila tidak terkontrol dapat terakselerasi dengan hasil akhir gagal kiri pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung tekanan darah, sering diperlukan diuretik loop, selain obat anti hipertensi.

–    Kontrol ketidaksemibangan elektrolit

Yang sering ditemukan adalah hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah hiperkalemia, dihindari masukan kalium yang besar (batasi hingga 60 mmol/hari), diuretik hemat kalium, obat-obatan yang berhubungan dengan eksresi kalium (misalnya penghambat ACE dan obat anti inflamasi non steroid), asidosis berat, atau kekurangan garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kadar kalium plasma dan EKG.

Gejala-gejala asidosis baru jelas bila bikarbonat plasma kurang dari 15 mmol/liter biasanya terjadi pada pasien yang sangat kekurangan garam dan dapat diperbaiki secara spontan dengan dehidrasi. Namun perbaikan yang cepat dapat berbahaya.

–    Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal

Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti alumunium hidroksida (300-1800 mg) atau kalsium karbonat (500-3000mg) pada setiap makan. Namun hati-hati dengan toksisitas obat tertentu. Diberikan supplemen vitamin D dan dilakukan paratiroidektomi atas indikasi.

–    Deteksi dini dan terapi infeksi

Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imuosupresif dan diterapi lebih ketat.

–    Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal

Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena metabolitnya toksik dan dikeluarkan oleh ginjal. Misalnya digoksin, aminoglikosid, analgesic opiat, amfoterisin dan alupurinol. Juga obat-obatan yang meningkatkan katabolisme dan ureum darah, misalnya tetrasiklin, kortikosteroid dan sitostatik.

–    Deteksi dan terapi komplikasi

Awasi denagn ketat kemungkinan ensefelopati uremia, perikarditis, neurepati perifer, hiperkalemia yang meningkat, kelebihan cairan yang meningkat, infeksi yang mengancam jiwa, kegagalan untuk bertahan, sehingga diperlukan dialysis.

–   Persiapan dialysis dan program transplantasi

Segera dipersiapkan setelah gagal ginjal kronik dideteksi. Indikasi dilakukan dialysis biasanya adalah gagal ginjal dengan klinis yang jelas meski telah dilakukan terapi konservatif atau terjadi komplikasi.

G.  Pengkajian

  • Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan sebelumnya

Berapa lama klien sakit, bagaimana penanganannya, mendapat terapi apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.

  • Aktifitas / istirahat :

Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise

Gangguan tidur (insomnia / gelisah atau somnolen)

Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak

  • Sirkulasi

Adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpatasi, nyeri dada (angina)

Hipertensi, DUJ, nadi kuat, edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak , tangan.

Nadi lemah, hipotensi ortostatikmenunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir.

Pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.

Kecenderungan perdarahan

  • Integritas Ego :

Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.

Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.

  • Eliminasi :

Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (pada gagal ginjal tahap lanjut)

Abdomen kembung, diare, atau konstipasi

Perubahan warna urine, contoh kuning pekat, merah, coklat, oliguria.

  • Makanan / cairan :

Peningkatan berat badan cepat (oedema), penurunan berat badan (malnutrisi).

Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak sedap pada mulut (pernapasan amonia)

Penggunaan diurotik

Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir)

Perubahan turgor kulit/kelembaban

Ulserasi gusi, pendarahan gusi/lidah.

  • Neurosensori

Sakit kepala, penglihatan kabur

Kram otot / kejang, syndrome “kaki gelisah”, rasa terbakar pada telapak kaki, kesemutan dan kelemahan, khususnya ekstremiras bawah.

Gangguan status mental, contah penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor.

Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang.

Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis

  • Nyeri / kenyamanan

Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/ nyeri kaki

Perilaku berhati-hati / distraksi, gelisah

  • Pernapasan

Napas pendek, dispnea, batuk dengan / tanpa sputum kental dan banyak

Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi / kedalaman.

Batuk dengan sputum encer (edema paru)

  • Keamanan

Kulit gatal

Ada / berulangnya infeksi

Pruritis

Demam (sepsis, dehidrasi), normotermia dapat secara aktual terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal

Ptekie, area ekimosis pada kulit

Fraktur tulang, keterbatasan gerak sendi

  • Seksualitas

Penurunan libido, amenorea, infertilitas

  • Interaksi sosial

Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga.

  • Penyuluhan / Pembelajaran

Riwayat DM (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefritis heredeter, kalkulus urenaria, maliganansi.

Riwayat terpejan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan.

Penggunaan antibiotic nefrotoksik saat ini / berulang.

H.  Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan ditegakkan atas dasar data dari pasien. Kemungkinan diagnosa keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal kronis adalah sebagai berikut :

  • Kelebihan volume cairan  berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet berlebih dan retensi cairan serta natrium.
  • Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah, pembatasan diet, dan perubahan membrane mukosa mulut.
  • Intoleran aktivitas  berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi, produk sampah.
  • Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik, dan rencana tindakan.

I.    Rencana Intervensi

Diagnosa I

  • Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet berlebihan dan retensi cairan serta natrium.

Tujuan : mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.

Kriteria hasil :

  • Menunjukkan pemasukan dan pengeluaran mendekati seimbang
  • Turgor kulit baik
  • Membran mukosa lembab
  • Berat badan dan tanda vital stabil
  • Elektrolit dalam batas normal

Intervensi

1.   Kaji status cairan :

a.    Timbang berat badan harian

b.    Keseimbangan masukan dan haluaran

c.    Turgor kulit dan adanya oedema

d.    Distensi vena leher

e.    Tekanan darah, denyut dan irama nadi

Pengkajian merupakan dasar dan data dasar berkelanjutan untuk memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi. (Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1452)

2.   Batasi masukan cairan :

Pembatasan cairan akan menentukan berat badan ideal, haluaran urine dan respons terhadap terapi. (Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1452)

Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi. (Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1452)

3.   Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan

Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan (Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1452)

4.   Pantau kreatinin dan BUN serum

Perubahan ini menunjukkan kebutuhan dialisa segera. (Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, vol 1, Barbara Ensram, hal 156).

Diagnosa II

  • Perubahan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual dan muntah, pembatasan diet perubahan membran mukosa mulut.

Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat

Kriteria hasil :

  • Mempertahankan/meningkatkan berat badan seperti yang diindikasikan oleh situasi individu.
  • Bebas oedema

Intervensi

1.   Kaji / catat pemasukan diet

Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet. Kondisi fisik umum gejala uremik dan pembatasan diet multiple mempengaruhi pemasukan makanan. (Rencana Asuhan Keperawatan, Marylinn E. Doenges, hal 620)

2.   Kaji pola diet nutrisi pasien

a.  Riwayat diet

b.  Makanan kesukaan

c.  Hitung kalori

Pola diet dahulu dan sekarang dapat dipertimbangkan dalam menyusun menu. (Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1452)

3.   Kaji faktor yang berperan dalam merubah masukan nutrisi

a.   Anoreksia, mual dan muntah

b.  Diet yang tidak menyenangkan bagi pasien

c.  Depresi

d.  Kurang memahami pembatasan diet

Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah atau dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.

4.   Berikan makan sedikit tapi sering

Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik/menurunnya peristaltik. (Rencana Asuhan Keperawatan, Marylinn E. Doenges, hal 620)

5.   Berikan pasien / orang terdekat daftar makanan / cairan yang diizinkan dan dorong terlibat dalam pilihan menu.

Memberikan pasien tindakan kontrol dalam pembatasan diet. Makanan dan rumah dapat meningkatkan nafsu makan. (Rencana Asuhan Keperawatan, Marylinn E. Doenges, hal 620)

6.   Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet

Mendorong peningkatan masukan diet

7.   Tinggikan masukan protein yang mengandung nilai biologis tinggi : telur, susu, daging.

Protein lengkap diberikan untuk mencapai keseimbangan nitrogen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan penyembuhan. (Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1452)

8.   Timbang berat badan harian.

Untuk membantu status cairan dan nutrisi.

Diagnosa III

Intoleran aktifitas berhubungan dengan kelelahan, anemia dan retensi produk sampah

Tujuan : Berpartisipasi dalam aktifitas yang dapat ditoleransi

Kriteria hasil :

  • Berkurangnya keluhan lelah
  • Peningkatan keterlibatan pada aktifitas social
  • Laporan perasaan lebih berenergi
  • Frekuensi pernapasan dan frekuensi jantung kembali dalam rentang normal setelah penghentian aktifitas.

Intervensi

1.   Kaji faktor yang menimbulkan keletihan

a.  Anemia

b.  Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

c.  Retensi produk sampah

d.  Depresi

Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan

(Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1454)

2.   Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi.

Meningkatkan aktivitas ringan/sedang dan memperbaiki harga diri. (Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1454)

3.   Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.

Mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang dapat ditoleransi dan istirahat yang adekuat. (Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1454)

4.   Anjurkan untuk beristirahat setelah dialisis

Istirahat yang adekuat dianjurkan setelah dialisis, yang bagi banyak pasien sangat melelahkan. (Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 2, Brunner & Suddart, hal 1454)

Diagnosa IV

Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondis, pemeriksaan diagnostic, rencana tindakan dan prognosis.

Tujuan : Ansietas berkurang dengan adanya peningkatan pengetahuan tentang penykit dan pengobatan.

Kriteria hasil :

  • Mengungkapkan pemahaman tentangkondisi, pemeriksaan diagnostic dan rencana tindakan.
  • Sedikit melaporkan perasaan gugup atau takut.

Intervensi

1.   Bila mungkin atur untuk kunjungan dari individu yang mendapat terapi.

Indiviodu yang berhasil dalam koping dapat pengaruh positif untuk membantu pasien yang baru didiagnosa mempertahankan harapan dan mulai menilai perubahan gaya hidup yang akan diterima. (Rencana Asuhan Keperawatan vol 1, Barbara Engram hal 159)

2.   Berikan informasi tentang :

a.   Sifat gagal ginjal. Jamin pasien memahami bahwa gagal ginjal kronis adalah tak dapat pulih dan bahwa lama tindakan diperlukan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal.

b.   Pemeriksaan diagnostic termasuk :

  • Tujuan
  • Diskripsi singkat
  • Persiapan yang diperlukan sebelum tes
  • Hasil tes dan kemaknaan hasil tes.

Pasien sering tidak memahami bahwa dialisa akan diperlukan selamanya bila ginjal tak dapat pulih. Memberi pasien informasi mendorong partisipasi dalam pengambilan keputusan dan membantu mengembangkan kepatuhan dan kemandirian maksimum. (Rencana Asuhan Keperawatan vol 1, Barbara Engram hal 159)

3.   Sediakan waktu untuk pasien dan orng terdekat untuk membicarakan tentang masalah dan perasaan tentang perubahan gaya hidup yang akan diperlukan untuk memiliki terapi.

Pengekspresian perasaan membantu mengurangi ansietas. Tindakan untuk gagal ginjal berdampak pada seluruh keluarga. (Rencana Asuhan Keperawatan vol 1, Barbara Engram hal 160)

4.   Jelaskan fungsi renal dan konsekuensi gagal ginjal sesuai dengan tingkat pemahaman dan kesiapan pasien untuk belajar.

Pasien dapat belajar tentang gagal ginjal dan penanganan setelah mereka siap untuk memahami dan menerima diagnosis dan konsekuensinya.

5.   Bantu pasien untuk mengidentifikasi cara-cara untuk memahami berbagai perubahan akibat penyakit dan penanganan yang mempengaruhi hidupnya.

Pasien dapat melihat bahwa kehidupannya tidak harus berubah akibat penyakit.

J.    Implementasi

Asuhan Keperawatan bagi klien dengan kegagalan ginjal kronis

1.   Membantu Meraih Tujuan Terapi

a.   Mengusahakan agar orang tetap menekuni pantangan air yang sudah dipesankan.

b.   Mengusahakan agar orang menekuni diet tinggi karbohidrat disertai pantangan sodium, potassium, phosphorus dan protein.

c.   Menekuni makanan bahan yang mengikat fosfat.

d.   Memberikan pelunak tinja bila klien mendapat aluminium antacid.

e.   Memberikan suplemen vitamin dan mineral menurut yang dipesankan.

f.    Melindungi pasien dari infeksi

g.   Mengkaji lingkungan klien dan melindungi dari cedera dengan cara yang seksama.

h.   Mencegah perdarahan saluran cerna yang lebih hebat dengan menggunakan sikat gigi yang berbulu halus dan pemberian antacid.

2.   Mengusahakan Kenyamanan

a.   Mengusahakan mengurangi gatal, memberi obat anti pruritis menurut kebutuhan.

b.   Mengusahakan hangat dan message otot yang kejang dari tangan dan kaki bawah.

c.   Menyiapkan air matol buatan untuk iritasi okuler.

d.   Mengusahakan istirahat bila kecapaian

e.   Mengusahakan agar klien dapat tidur dengan cara yang bijaksana

f.    Mengusahakan kebersihan oral beberapa kali sehari terutama sebelum makan.

3.   Konsultasi dan Penyuluhan

a.   Menyiapkan orang yang bisa memberi kesempatan untuk membahas berbagai perasaan tentang kronisitas dari penyakit.

b.   Mengusahakan konsultasi bila terjadi penolakan yang mengganggu terapi

c.   Membesarkan harapan orang dengan memberikan bantuan bagaimana caranya mengelola cara hidup baru.

d.   Memberi penyuluhan tentang sifat dari CRF, rasional terapi, aturan obat-obatan dan keperluan melanjutkan pengobatan. (Keperawatan Medikal Bedah, Barbara C. Long).

E.  Evaluasi

Pertanyaan-pertanyaan yang umum yang harus diajukan pada evaluasi orang dengan kegagalan ginjal kronis terdiri dari yang berikut.

1.   Apakah terdapat gejala-gejala bertambahnya retensi cairan?

2.   Apakah orang menekuni pesan diet dan cairan yang diperlukan?

3.   Apakah terdapat gejala-gejala terlalu kecapaian?

4.   Apakah orang tidur nyenyak pada malam hari?

5.   Apakah orang dapat menguraikan tentang sifat CRF, rasional dan terapi, peraturan obat-obatan dan gejala-gejalayang harus dilaporkan?

(Kapita Selekta Kedokteran, Arif Mansjoer dkk)

(Keperawatan Medikal Bedah, Barbara C. Long)